Selasa, April 1, 2025

Lady Liberty Pulang Kampung?

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Di kancah politik Eropa, seorang tokoh Prancis baru-baru ini memicu diskusi hangat dan bahkan kontroversi dengan usulannya yang mengejutkan: agar Amerika Serikat mengembalikan Patung Liberty kepada Prancis. Argumen di balik permintaan ini berakar pada keyakinan bahwa Amerika Serikat di bawah kepemimpinan tertentu telah menyimpang dari nilai-nilai fundamental yang selama ini diasosiasikan dengan patung ikonik tersebut.

Raphaël Glucksmann, politisi yang melontarkan gagasan ini, secara terbuka menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump secara fundamental merongrong prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi—nilai-nilai luhur yang justru menjadi esensi dari simbolisme Patung Liberty. Pernyataan ini tidak hanya menggemparkan opini publik di Prancis, tetapi juga memicu perdebatan sengit yang melintasi Samudra Atlantik, hingga akhirnya mendapatkan tanggapan keras dan tegas dari pihak Gedung Putih.

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah: apakah usulan Glucksmann ini sekadar retorika politik belaka, sebuah manuver untuk menarik perhatian, ataukah argumennya memiliki dasar yang lebih substansial dan layak dipertimbangkan? Lebih jauh lagi, spekulasi pun berkembang mengenai kemungkinan—sekecil apapun—bahwa Lady Liberty, simbol kebebasan yang mendunia itu, benar-benar dapat kembali ke tanah kelahirannya, Prancis. Untuk memahami lebih dalam polemik ini, mari kita telusuri lebih lanjut latar belakang dan perkembangan ceritanya.

Hampir satu setengah abad lamanya, tepatnya selama kurang lebih 140 tahun, Patung Liberty telah berdiri tegak dan megah di Pelabuhan New York, menjadi penanda visual yang kuat untuk nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Patung ini, sebuah hadiah bersejarah dari rakyat Prancis pada tahun 1886, telah menjadi pemandangan selamat datang bagi jutaan imigran yang mencari kehidupan baru di Amerika Serikat. Namun, narasi yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini kini diusik oleh seorang politisi Prancis yang secara terbuka menyatakan bahwa Amerika Serikat saat ini tidak lagi pantas menyandang simbol agung tersebut.

Raphaël Glucksmann, seorang tokoh terkemuka sebagai anggota Parlemen Eropa yang mewakili Prancis, baru-baru ini menarik perhatian media internasional dengan seruannya yang kontroversial. Ia secara terbuka mendesak agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembalikan Patung Liberty ke Prancis, negara asalnya. Argumen yang mendasari permintaan Glucksmann ini adalah keyakinannya yang mendalam bahwa arah kebijakan Amerika Serikat dalam beberapa waktu terakhir, terutama di bawah kepemimpinan tertentu, telah menyimpang secara signifikan dari nilai-nilai fundamental yang secara historis diasosiasikan dengan simbol ikonik tersebut. Ia berpendapat bahwa tindakan dan keputusan politik Amerika baru-baru ini justru bertentangan dengan esensi kebebasan dan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh sebuah negara yang menjadi rumah bagi monumen tersebut.

Penting untuk diingat bahwa Patung Liberty bukanlah sekadar artefak artistik, melainkan sebuah simbol persahabatan dan cita-cita bersama antara Prancis dan Amerika Serikat. Patung megah ini merupakan hadiah yang tulus dari rakyat Prancis kepada rakyat Amerika, dipersembahkan untuk memperingati seratus tahun Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat—sebuah tonggak sejarah yang menandai kelahiran sebuah bangsa yang didirikan atas dasar kebebasan dan pemerintahan oleh rakyat. Dirancang dengan visi artistik oleh pematung terkenal Frédéric Auguste Bartholdi, Patung Liberty sejak awal dimaksudkan untuk menjadi representasi visual yang kuat dari nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang diyakini dan diperjuangkan bersama oleh kedua negara.

Namun, dalam sebuah pidato yang penuh semangat dan retorika yang tajam pada akhir pekan lalu, Raphaël Glucksmann dari Prancis menyampaikan pandangannya yang keras. Ia mengklaim bahwa sebagian elemen di Amerika Serikat saat ini secara sadar, atau setidaknya melalui tindakan mereka, “memilih untuk beralih ke pihak tirani”—sebuah tuduhan serius yang mengindikasikan adanya kemunduran dari nilai-nilai demokrasi. Lebih lanjut, Glucksmann secara eksplisit menuduh pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengambil arah yang menjauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap tindakan dan kebijakan negara.

Dengan nada yang tegas dan pesan yang lugas, Glucksmann menyampaikan keyakinannya: jika Amerika Serikat tidak lagi berdiri teguh dalam membela dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, maka mungkin Patung Liberty akan lebih tepat dan bermakna jika dikembalikan ke Prancis, tempat di mana nilai-nilai tersebut pertama kali diabadikan dalam bentuk simbolis yang monumental ini.

Dengan nada retoris yang kuat dan penuh sindiran, Raphaël Glucksmann melontarkan tantangan terbuka kepada Amerika Serikat. Ia seolah-olah berbicara langsung kepada “orang Amerika yang memilih untuk berpihak pada tirani”—merujuk pada mereka yang, menurutnya, menindas kebebasan, seperti “orang Amerika yang memecat para peneliti karena menunjukkan kebebasan ilmiah.” Dengan nada mencibir, ia menuntut, “Pertama-tama, kembalikan Patung Liberty kepada kami! Kami memberikannya kepada Anda sebagai hadiah yang tulus, namun tampaknya, kalian tidak menghargainya. Oleh karena itu, patung itu akan lebih aman dan bermakna di sini, di tanah kelahirannya.” Pernyataan ini bukan hanya sekadar permintaan, melainkan sebuah tuduhan pedas yang mempertanyakan komitmen Amerika terhadap nilai-nilai yang disimbolkan oleh hadiah tersebut.

Namun, tuduhan dan tuntutan Glucksmann tidak dibiarkan tanpa respons. Gedung Putih, melalui Sekretaris Pers Karoline Leavitt, memberikan balasan yang tegas dan tidak kalah pedas. Leavitt dengan jelas menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak memiliki niat sedikit pun untuk menyerahkan kembali patung ikonik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap dan identitas nasional mereka. Lebih lanjut, ia menggunakan argumen sejarah yang kuat, mengingatkan Prancis akan peran krusial Amerika dalam membebaskan mereka selama berkecamuknya Perang Dunia I dan II.

- Advertisement -

Dengan nada merendahkan, Leavitt memberikan “saran” kepada politisi Prancis yang ia sebut “tingkat rendah yang tak disebutkan namanya” untuk mengingat kembali bahwa kelangsungan hidup dan kebebasan Prancis dari pendudukan Jerman di masa lalu sangat bergantung pada intervensi Amerika Serikat. Oleh karena itu, menurutnya, alih-alih melontarkan tuntutan yang tidak berdasar, Prancis seharusnya menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam kepada “negara besar” Amerika.

Pertukaran pernyataan yang tajam dan sarat akan muatan politis ini sontak memicu pertanyaan mendasar di benak banyak orang: dengan adanya retorika yang begitu kuat dan klaim kepemilikan yang implisit, apakah Prancis sebenarnya memiliki landasan hukum atau politis untuk mengklaim kembali Patung Liberty? Jawaban singkat dan tegas untuk pertanyaan ini adalah: tidak.

Otoritas tertinggi dunia dalam pelestarian warisan budaya, UNESCO, dengan tegas menyatakan bahwa Patung Liberty adalah aset yang secara sah dimiliki oleh pemerintah Amerika Serikat. Implikasinya jelas: wacana tentang Prancis “mengambil kembali” patung tersebut hanyalah sebuah gagasan retoris tanpa kekuatan hukum. Seiring berjalannya waktu, Raphaël Glucksmann tampaknya merefleksikan lebih dalam tentang implikasi dari seruannya. Ia kemudian menarik kembali interpretasi literal dari permintaannya, mengklarifikasi bahwa niatnya bukanlah untuk memindahkan secara fisik monumen bersejarah itu.

Dengan kata-kata yang sarat makna, Glucksmann menulis secara daring, “Secara de jure, patung itu adalah milik kalian, Amerika. Akan tetapi, makna mendalam dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya—semangat kebebasan, idealisme demokrasi, dan harapan akan masa depan yang lebih baik—adalah milik seluruh komunitas global.” Pernyataan ini menunjukkan pergeseran fokus dari sengketa kepemilikan ke perenungan filosofis tentang makna simbol.

Menariknya, Prancis sendiri memiliki versi mini dari Lady Liberty yang berdiri dengan tenang di sebuah pulau di jantung Sungai Seine, Paris, seolah menjadi pengingat abadi akan ikatan sejarah dan nilai-nilai bersama. Meskipun patung raksasa di New York Harbor dipastikan akan tetap berdiri di tempatnya, polemik yang dipicu oleh Glucksmann telah membuka ruang diskusi yang lebih luas dan krusial: dalam konteks politik dan sosial Amerika Serikat saat ini, terutama di bawah kepemimpinan yang kontroversial seperti era Trump, bisakah negara tersebut terus merepresentasikan dan menghidupi cita-cita luhur yang sesungguhnya diwakili oleh Patung Liberty bagi mata dunia?

 

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.