Jumat, April 26, 2024

La Nyalla dan Kegagalan Hakim Memahami Kewenangan Praperadilan

Shinta Agustina
Shinta Agustina
Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

La_NyallaLa Nyalla Mattalitti (kedua dari kanan). ANTARA/Wahyu Putro

Dalam putusannya di Pengadilan Negeri Surabaya dua pekan lalu (12/4), Hakim tunggal Ferdinandus menyatakan menerima permohonan praperadilan La Nyalla Mattalitti, tersangka korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur. Dengan putusan itu penetapan tersangka La Nyalla dinyatakan tidak sah dan penyidikan terhadapnya harus dihentikan.

Putusan praperadilan ini kembali menimbulkan kontroversi, karena telah melampaui kewenangan, didasarkan pada pertimbangan yang keliru, serta memasuki pokok perkara. Seperti putusan praperadilan sebelumnya, putusan ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dan menggerus upaya pemberantasan korupsi.

Praperadilan dan Keadilan Prosedural
Pranata hukum ini diperkenalkan oleh KUHAP, sebagai alat kontrol horizontal (sesama penegak hukum) dan perlindungan terhadap tersangka/terdakwa dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum selama proses peradilan pidana.

Oleh karena itu, kewenangan hakim praperadilan dibatasi hanya pada memeriksa keabsahan penangkapan dan penahanan, keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan, serta permohonan ganti rugi dan rehabilitasi dari mereka yang perkaranya tidak sampai ke pengadilan, atau mengalami tindakan lain seperti penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan ini oleh Mahkamah Konstitusi kemudian diperluas dengan menguji keabsahan penetapan seseorang sebagai tersangka.

Meski ada silang pendapat di antara para ahli tentang penambahan kewenangan tersebut dan manfaatnya bagi proses peradilan pidana, faktanya semakin sering Pengadilan Negeri memeriksa permohonan praperadilan dari para tersangka, terutama tersangka korupsi. Di antaranya adalah praperadilan Hadi Poernomo, Dahlan Iskan, Ilham Arief Siradjudin, dan lain-lain.

Putusan hakim terhadap permohonan tersebut juga berbeda, sebagian menerima, tapi tak sedikit pula yang menolak. Terlepas dari bentuk putusan hakim praperadilan tersebut, hal yang lebih penting untuk dikritisi adalah dasar pertimbangan hakim dalam memutus permohonan tersebut.

Dalam putusan MK yang memperluas kewenangan praperadilan, hakim juga memberi batasan bahwa penetapan tersangka harus dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup, yaitu adanya dua alat bukti yang sah. Ini kriteria yang sangat masuk akal. Sebab, ketika akan menyatakan seorang terdakwa bersalah atau tidak, hakim juga terikat pada prinsip minimum pembuktian, yaitu didasarkan pada adanya dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP).

Dengan demikian, hakim seharusnya juga menggunakan parameter ini untuk mempertimbangkan sah tidaknya penetapan tersangka yang dimohonkan praperadilan tersebut.

Namun, dalam berbagai putusan praperadilan tentang penetapan tersangka, terlihat ketidaktaatan hakim pada kriteria ini. Hakim di antaranya memberikan dasar pertimbangan pada ketidakwenangan termohon (dalam hal ini penyidik) untuk menyidik perkara tersebut, karena penyidik bukan dari Kepolisian (praperadilan Hadi Poernomo); atau termohon tidak berwenang menyidik tindak pidana terhadap tersangka dimaksud, karena tersangka bukan penegak hukum, bukan pejabat negara, dan perkara tersebut baru menarik perhatian setelah tersangka ditetapkan sebagai calon Kapolri (praperadilan Budi Gunawan). Karena itu, perkara tersebut tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan penyidik (termohon).

Pertimbangan tentang kewenangan menyidik juga ada dalam putusan praperadilan La Nyalla. Pernyataan bahwa alat bukti yang digunakan tidak sah karena sudah digunakan pada proses penyidikan tindak pidana korupsi lainnya (dengan terdakwa anggota KADIN), perkara ini Ne bis in idem (double jeopardy) karena sudah pernah diadili dengan (terdakwa anggota KADIN), serta tak adanya kerugian negara karena uang tersebut telah dikembalikan, sehingga penyidikan oleh termohon harus dihentikan.

Berbagai pertimbangan tersebut jelas bukan kewenangan hakim praperadilan, karena semua hal tersebut sudah memasuki pokok perkara. Tak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menghentikan penyidikan suatu perkara pidana (termasuk perkara korupsi). Bahkan bila kerugian negara telah dikembalikan pun, penegak hukum tetap berwenang memproses tindak pidana tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999.

Pertimbangan hakim tentang alat bukti yang tidak sah serta Ne bis in idem memperlihatkan hakim gagal paham atas konsep-konsep mendasar dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Ne bis in idem baru ada bila seseorang diadili untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama. Karena itu tidak terdapat Ne bis in idem, bila dalam suatu tindak pidana yang melibatkan beberapa orang sebagai pelaku, dan diantaranya telah lebih dahulu diadili, kemudian mengadili pelaku lainnya.

Dalam konteks ini pula, alat bukti yang digunakan pada waktu proses peradilan atas terdakwa terdahulu dapat digunakan lagi dalam proses peradilan terdakwa yang diadili kemudian, sepanjang proses mendapatkan alat bukti tersebut dilakukan secara benar. Misalnya para saksi dalam perkara terdahulu harus diperiksa kembali untuk terdakwa yang diproses belakangan.

Berbagai pertimbangan tersebut, yang sudah mempertimbangkan soal substansi perkara pidana, menunjukan bahwa hakim keliru memahami keadilan yang coba diwujudkan dalam proses praperadilan. Praperadilan hanya berusaha mewujudkan keadilan prosedural, karena kewenangan yang dimiliki adalah menguji berbagai tindakan aparat penegak hukum, dalam suatu proses peradilan pidana telah dilakukan secara benar dan proper. Jika pemeriksaan dalam praperadilan mendapati bahwa suatu tindakan telah dilakukan secara keliru, maka penegak hukum dapat mengulang kembali prosesnya secara benar sehingga tercipta proses hukum yang baik dan adil (due process of law).

Ketidakpastian Hukum
Dari berbagai permohonan praperadilan yang telah diputus, proses hukum selanjutnya juga berbeda satu dan lainnya. Proses hukum terhadap Hadi Poernomo, Budi Gunawan, dan Dahlan Iskan tidak terdengar kabar beritanya (berhentikah?). Sedangkan proses hukum atas Ilham Arief sudah berakhir dengan putusan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 26 Februari 2016.

Berhentinya proses peradilan terhadap beberapa tersangka yang dikabulkan permohonan praperadilannya menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan substansi perkara pidana atas mereka belum mendapatkan putusan hakim yang bersifat in kracht (berkekuatan hukum tetap). Dengan kata lain, mereka (mungkin) tidak menyandang status tersangka secara administratif, namun secara subtansial masih tersangka. Proses hukum terhadap mereka berhenti karena kesalahan prosedural, yang dapat diperbaiki dengan memulai proses hukum yang benar.

Namun dampak dari putusan praperadilan yang demikian menjadi sangat serius  bagi upaya pemberantasan korupsi. Masyarakat tidak percaya lagi kepada penegak hukum, yang tindakannya dalam memproses suatu perkara pidana ternyata dianulir hakim dengan putusan praperadilan tersebut. Penegak hukum dianggap tidak profesional karena bertindak secara salah atau keliru.

Apalagi jika kemudian proses hukum terhadap tersangka yang menang di praperadilan itu memang tidak berlanjut. Dampak negatif yang mungkin timbul adalah masyarakat akan menduga bahwa penegak hukum tidak lalai dalam proses hukum tersebut, tetapi sengaja, sehingga proses hukum terhadap orang tertentu akan berakhir secara mengambang. Jangan sampai masyarakat menduga bahwa ini modus baru untuk menyelamatkan koruptor dari jerat hukum.

Maka, sebelum putusan praperadilan yang improper bertambah, sudah saatnya Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman bagi hakim di bawahnya tentang cara pembuktian dalam pemeriksaan praperadilan. Khususnya dalam menentukan keabsahan penetapan tersangka, agar tidak melampau kewenangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penting diingat oleh para hakim bahwa praperadilan bukan mekanisme mewujudkan keadilan subtansial (subtantive justice), melainkan hanya keadilan prosedural (prosedural justice). Sementara itu, penyidik harus memulai kembali proses hukum terhadap tersangka tersebut, karena kesalahan prosedural dapat diperbaiki.

Shinta Agustina
Shinta Agustina
Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.