Jumat, Maret 29, 2024

Merica Membawa Kura-Kura Berjanggut Berjalan Sampai 921 Halaman

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.

Dari sekian banyak kemungkinan, saya memilih mengandaikan Kura-Kura Berjanggut karya Azhari Aiyub yang mencapai 921 halaman sebagai rangkaian kereta. Dan lokomotif yang menarik gerbong-gerbong ceritanya? Tanaman komoditas merica. Lebih tepatnya perebutan monopoli perdagangan internasional merica. Bagi saya, inilah elemen paling istimewa dalam karya Azhari, saya belum pernah melihat motif semacam ini—komoditas pertanian—hadir dalam novel Indonesia.

(Catatan: saya belum sempat membaca Perempuan Pala, juga karya Azhari Aiyub, yang mungkin menghadirkan motif serupa)

Dalam Kura-Kura Berjanggut, Kesultanan Lamuri terbentuk menjadi negara, lalu mengalami pasang-surut, kemudian bangkit lagi menjadi kerajaan besar, semua karena merica. Lamuri adalah negeri merica. Maka, menguasai istana Lamuri sama dengan menguasai perdagangan merica yang tumbuh di kawasan pedalamannya, Lembah Lamuri.

Dengan merica sebagai lokomotif, Azhari leluasa menjelaskan apa yang terjadi ketika kapitalisme perdagangan komoditas internasional hadir di satu negara.

***

Porsi terbesar novel ini bercerita tentang perang antara istana Lamuri melawan kongsi dagang Ikan Pari Itam. Perseteruan negara versus korporasi internasional ini berlangsung di seputar perebutan monopoli perdagangan merica.

Untuk itu Azhari tampak membagi dua fase perseteruan negara-korporasi itu. Pada fase pertama, kongsi Ikan Pari Itam memonopoli perdagangan merica Lamuri. Mereka melakukannya dengan mereka mengatur siapa yang bisa duduk di singgasana, dan menyingkirkan para calon pesaing yang tak ramah terhadap mereka.

Sultan Maliksyah, ayah Anak Haram, naik ke singgasana karena Ikan Pari Itam merasa putra mahkota, Salmansyah, punya gagasan lain tentang perdagangan merica Lamuri. Dan ketika Sultan Awaluddinsyah, ayah dua pangeran itu, mulai melemah secara fisik “kongsi dagang Ikan Pari Itam … kembali memainkan keahlian lama mereka, menentukan jatuh-bangunnya seorang sultan di sebuah bandar.” (hl. 66)

Selama berkuasa di Lamuri, Ikan Pari Itam juga mendikte aturan dagang yang dijalankan oleh istana Lamuri agar menguntungkan mereka. “Hukum di Lamuri mengharuskan setiap biji merica dijual kepada mereka … Dan dengan hukum itu, selama puluhan tahun Ikan Pari Itam menguasai perdagangan merica dunia.” (hl. 33)

Pada fase berikutnya, Sultan Nurruddin alias Anak Haram naik takhta, juga lewat serangkaian pembantaian, termasuk pembersihan terhadap keluarga istana yang telah memenjarakannya dan orang-orang kongsi dagang Ikan Pari Itam berikut keluarga mereka. Di bawah Anak Haram, istana Lamuri berubah menjadi semacam kongsi dagang, menulis ulang aturan dagang, dan menaklukkan bandar-bandar tetangganya, terutama yang masih dikuasai kongsi dagang Ikan Pari Itam.

“Ketika aku berkuasa, aku berdiri dan mengencingi hukum yang seabad lalu ditulis oleh nenek moyang mereka. Aku mengusir mereka dari Lamuri, juga dari bandar-bandar yang belakangan aku taklukkan.” (33-34)

Sementara mereka tak dapat lagi memonopoli merica Lamuri, Ikan Pari Itam terus mencari peluang dengan pelbagai siasat, termasuk mengirim kontingen demi kontingen pembunuh bayaran sembari menanam mata-mata sampai di dalam istana Lamuri.

Anak Haram adalah musuh Ikan Pari Itam yang paling bandel, dan karena itu menjadi penguasa yang paling banyak diceritakan di sepanjang novel ini. Ia punya banyak siasat untuk menghindar, bahkan memukul balik musuh-musuhnya—bila perlu dengan menaklukkan kerajaan lain atau menyapu bersih kawanan pengemis di seberang lautan yang ia curigai sebagai anggota Kura-Kura Berjanggut, sebuah kelompok sirkus sekaligus komplotan pembunuh bayaran yang disokong kongsi dagang Ikan Pari Itam.

Siasat balasan ini menciptakan tekanan abadi terhadap Istana Lamuri.

***

Seluruh bangsa Lamuri harus membayar mahal tekanan yang tercipta oleh perang monopoli merica.

Sang Sultan memutuskan untuk berperang, melenyapkan dan memenjarakan orang sebagian besar supaya tetap dapat menguasai perdagangan merica. ‘Orang Hamba’ dan ‘Orang Pekerja’, yang membantu Anak Haram naik takhta setelah membantai keluarga istana dan para ‘Pedagang’, segera merasakan pukulan balik dari Istana. Sultan baru mereka bersalin rupa dari seorang narapidana menjadi tiran. Apa yang tadinya tampak sebagai revolusi rakyat berubah menjadi upaya penegakan patrimonialisme.

Dan Anak Haram punya sumber daya memadai untuk melawan musuh dari luar dan dalam negerinya, hasil dari menjarah dan menindas rakyatnya dan negeri-negeri lain. Istana Lamuri menaikkan pajak, menjarah pedagang, menaklukkan kerajaan lain, persis yang dilakukan pendahulunya di bawah telunjuk Ikan Pari Itam.

Bersamaan dengan itu, istana Lamuri juga membujuk pedagang-pedagang asing baru, yang tak berhubungan dengan Ikan Pari Itam, agar datang berdagang ke Lamuri dengan menjanjikan jaminan keberlanjutan suplai merica. Untuk itu ia membasmi penyelundup dan pesaing di kawasan Selat, dan menjaga hubungan baik—warisan ibunya—dengan Orang Lembah atau Dua Puluh Tiga Kaum, para petani merica yang menghuni Lembah Lamuri.

Anak Haram melakukan semua hal yang dibutuhkan agar para pedagang asing merasa nyaman, suplai merica lancar, semua saingan mengkerut, dan rakyat takut mengacaukan stabilitas Kesultanan.

Perang monopoli merica ini juga menciptakan intrik dalam istana. Agar tetap bisa berada di singgasana dan menguasai merica, kalangan istana Lamuri harus senantiasa waspada. Mereka terus diliputi kecemasan, dan obat dari kecemasan itu ialah melenyapkan setiap hal yang dianggap sebagai penyebabnya—baik yang nyata maupun khayalan.

Ketika terjadi penikaman terhadap Sultan Nurruddin yang gagal membawa maut, misalnya, rentetan hukuman pancung digelar, semua gilda (serikat) dibubarkan lalu dilarang, dan para pekerja ditangkapi atau melarikan diri (hl. 213).

***

Perdagangan internasional merica Lamuri melecut rentetan perang penaklukan, pembantaian, pemenjaraan, penyiksaan, pengungsian, pelarian, dan pada akhirnya penderitaan bagi rakyat awam. Semua ini kemudian menghasilkan sekian banyak luka dan akhirnya dendam yang hendak dibalaskan.

Dari kepulan dendam inilah beranak-pinak banyak cerita, masing-masing individu tokoh menjadi punya urusan sendiri-sendiri yang hendak mereka selesaikan. Anak Haram, Kamaria, Si Buduk, sang narator Si Ujud, dan banyak lainnya, semua membawa pertarungan masing-masing ke dalam novel Kura-Kura Berjanggut.

Bermula dari struktur masyarakat timpang dan bengis bentukan kapitalisme perdagangan internasional, Azhari Aiyub memanen jalinan konflik individual dan kolektif yang menggerakkan alur ceritanya yang apik hingga mencapai 921 halaman. Selebihnya, penguasaan mengagumkan Azhari terhadap beraneka piranti sastrawi. Tentang ini, tentu setiap pembaca punya selera masing-masing.

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.