Seseorang dalam pakaian kamuflase, dengan tang pemotong kawat dan teropong, ditangkap polisi saat mencoba bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari tempat latihan tim Derby County, pada 10 Januari 2019. Itu satu hari sebelum Derby bertandang ke Leeds United untuk menjalani pertandingan Championship pekan ke-27. Keesokan harinya, Derby disikat Leeds di Elland Road 2-0. Jack Clarke, bocah yang baru berusia 18, menjadi bintang dengan dua umpannya.
“Ya, itu orang dari Leeds. Aku yang bertanggung jawab,” jawab pelatih Leeds United, Marcelo Bielsa, tentang orang bertang dan berteropong itu. Ia menandas dengan pernyataan yang lebih terdengar enteng dibanding jujur: “Aku menghormati nilai-nilai di negeri di mana aku bekerja. Tapi aku tidak janji untuk tidak melakukannya lagi. Aku bukan orang yang curang. Aku sudah bertahun-tahun melakukan hal ini. Ini legal di Amerika Selatan—di Inggris juga.”
Frank Lampard, pelatih Derby, yang tumbuh dan melegenda bersama Chelsea-nya Jose Mourinho, seseorang yang tak sungkan mengecam para moralis sepakbola, mengakui kekalahannya. Tapi, tentu saja, ia tak hendak menutupi rasa geramnya. “Aku lebih baik tidak melatih daripada memata-matai tim lain,” katanya. Lebih jauh, ia jadi punya alasan untuk kekalahan sebelumnya: pada putara pertama, saat mereka dilibas di kandang 1-4 oleh tim yang sama, mereka juga mendapati ada orang yang mengendap-endap di semak saat sesi latihan sebelum hari pertandingan.
Publik Inggris terbelah oleh peristiwa itu. Para pembenci Leeds United—atau “mereka yang iri dengan apa yang terjadi dengan Leeds musim ini,” demikian pendukung Leeds akan menyebut—mengungkit kembali Damned United-nya David Peace. Kejayaan mereka di awal ’70-an yang ditegakkan di atas penghalalan segala cara; perlakukan buruk mereka terhadap pelatih ikonik Brian Clough. “Mereka disebut the Dirty Leeds (Leeds yang jorok) bukan tanpa alasan,” adalah lagu kor dari kebanyakan mereka.
Sementara para pendukung Leeds sama sekali tak goyah dengan pemujaan mereka atas pahlawan baru mereka, malaikat penolong dengan baskom biru dan tingkah anehnya, para wartawan sepakbola adalah yang paling bersemangat menunjukkan dukungannya terhadap Bielsa. Mereka seperti melihat sebuah dongeng yang selama ini mereka dengar dalam bentuk nyatanya. El Loco, orang gila dari Santa Fe itu, orang yang menyeleksi 3000 orang untuk mendapatkan 20 pemain bagi sebuah tim sepakbola tingkat universitas itu, benar-benar sinting rupanya.
Bukan saja mengaku telah memata-matai Derby, Bielsa bahkan menegaskan bahwa, sejak ia melatih, Leeds telah memata-matai semua tim lawan di Championship. Yang lebih sinting, pengakuan itu dilakukan di depan wartawan dalam sebuah presentasi dwibahasa dengan video dan PowerPoint, yang segera saja terasa sebagai kuliah taktik sepakbola selama 70 menit. Dari presentasinya diketahui, untuk sebuah pertandingan melawan Derby, ia dan stafnya mesti menonton seluruh pertandingan Derby selama setahun penuh, tak kurang dari 51 pertandingan. Karena mereka menghabiskan waktu empat jam untuk menganalisis setiap pertandingan, dibutuhkan tak kurang dari 360 jam analisis untuk menghadapi satu pertandingan.
“Kenapa aku melakukan ini? Karena kami akan merasa bersalah jika tidak bekerja cukup keras. Khusus untuk diriku sendiri, aku melakukan ini karena aku bodoh,” akunya, di depan wartawan, yang tentu saja disambut oleh gelak-gelak tawa memuja.
“Wahai para manajer pesaing,” kata Rob Bagchi dari The Telegraph, seakan-akan rasul yang baru saja menerima sebuah epifani, “teladan yang diberikan Bielsa menunjukkan bahwa menganalisis (tim lawan) adalah tugas bagimu.”
Jonathan Wilson, penulis Angels with Dirty Faces, orang yang banyak membawa dongeng dan kisah sepakbola Argentina, dan khususnya legenda-legenda tentang Marcelo Bielsa, kepada pembaca berbahasa Inggris, seperti seorang penjual batu mulia yang baru saja menunjukkan kepada semua orang bahwa batu yang dibicarakannya bukan hanya berharga tapi juga sakti. “Ia telah membesarkan legenda atas dirinya,” kata Wilson tentang “kuliah” Bielsa.
***
Jika Frank Lampard memilih untuk tidak melatih dibanding memata-matai tim lain, Jose Mourinho, “manajer terbaik” yang membuat Lampard menjadi seperti yang kita kenal, setelah kurang dari sebulan menganggur dengan pesangon sangat besar, memilih untuk menonton sepakbola dan dibayar untuk membicarakannya. Ia menjadi komentator bagi saluran beIN Sports untuk pertandingan Piala Asia antara Qatar dan Arab Saudi dan Liga Inggris antara Arsenal dan Chelsea. Tapi, tentu saja beIN tahu apa yang paling ditunggu semua penggemar sepakbola dari Mourinho.
Dan Mou tahu itu. Ia—seperti yang sudah diduga—membicarakan bekas klub yang baru tiga minggu lalu memecatnya. Dan, tentu saja, seperti sebelum-sebelumnya, ia membicarakan dirinya sendiri.
“Klub haruslah punya pemilik atau presiden, seorang CEO atau direktur eksekutif, seorang direktur sepakbola, baru setelah itu manajer. Ini adalah struktur yang bisa mengatasi semua persoalan yang dihadapi oleh sepakbola modern. Klub haruslah sangat rapi untuk menanggulangi segala situasi di mana manajer cukuplah menjadi manajer dan bukan orang yang mesti mendisiplinkan atau mendidik pemain,” kata Mou.
Terdengar seperti kuliah manajemen? Ya, jika Anda tak pernah tahu bahwa Mourinho baru saja dipecat oleh salah satu klub sepakbola terbaik, terapi, dan terkaya di dunia. Bagi orang dalam atau setidaknya penggemar MU, tentu saja itu akan terdengar berbeda: mereka sedang diberitahu oleh Mou apa yang MU tak punyai selama ia melatih. Namun, hal paling inti dari nasihat manajerial ala Mou ini adalah: ada persoalan pada MU, sehingga klub tersebut gagal bersama Mou, “pelatih level top” sebagaimana yang disebutnya sendiri, dengan “25 gelar,” seperti yang diingatkannya kepada kita yang lupa.
Lalu apa yang tak dimiliki Mou sehingga ia gagal di MU? Mou punya jawaban yang sangat gamblang—tak lupa disertai contoh: “Aku tak memiliki dukungan sebagaimana yang dimiliki Pep Guardiola di City dan Jurgen Klopp di Liverpool.”
Jika demikian, kenapa sepeninggalnya MU memenangi semua pertandingan, dan pemain-pemain seperti Marcus Rashford dan Paul Pogba menunjukkan penampilan terbaik mereka sepanjang memakai seragam Setan Merah? Mou tak menyebut satu pun nama (bekas) pemainnya di MU; ia justru dengan lihai menghafal nama pemain-pemain yang dibuang dan dibeli oleh Pep dan Klopp di City dan Liverpool. Dan, pada akhirnya, kita tak mendapat penjelasan yang spesifik dari Mou soal ini.
Jawaban Pogba setelah kemenangan 1-0 melawan Spurs tampaknya akan sangat membantu. “Sebelum pelatih (Oleh Gunnar Solskjaer) datang, aku berada di bawah bayang-bayang, duduk di bangku cadangan, dan aku pasrah. Kini aku senang bisa bermain lagi. Tersenyum lagi.”
***
Mourinho masih 56, dan itu baginya terlalu muda untuk pensiun. Maka, ia masih akan terus melatih. Di level atas, tentu saja. Karena itu, katanya, “Aku baru menolak tiga tawaran, sebab kurasa itu bukan tawaran yang kuinginkan.”
Kasak-kusuknya, ia akan kembali melatih Madrid. Kemungkinan awal musim depan. Kenapa Madrid? Karena klub itu sepi dari pemberitaaan akibat tampil begitu jelek musim ini, dan Mou jelas opsi terbaik untuk menarik (kembali) perhatian media.
Tapi, kalau itu alasannya, Madrid dan Mou tampaknya sudah kalah duluan dari Barcelona. Begitu putus asa dengan lini depannya, sebab Messi dan Suarez hanya mencetak 35 gol saja, mereka mendatangkan Kevin Prince Boateng. Di musim ini, Boateng telah mencetak lima gol bagi Sassuolo, klub yang menonjol di Serie A karena menjadi satu-satunya tim yang memakai kostum dengan warna dasar hijau. Ia akan jadi No. 9 palsu berikutnya untuk Barcelona. Dan diharapkan bisa mengantar Cules kembali menjadi juara Eropa.