Di tahun 1992-1994, saya berturut-turut mendapat kesempatan menjadi research assistant tiga orang peneliti luar. Kesempatan pertama saya dapat dari Jeffrey Alan Winters, dari Northestern University, USA. Topik risetnya tentang Kawasan Industri. Lebih tepatnya ketika itu posisi saya melakukan riset bersama, tetapi saya mendapat kesempatan mengerjakan satu subtopik tersendiri. Dan, terus terang, dari sinilah cikal-bakal saya menekuni strategi pembangunan nasional hingga lahirnya buku Gagalnya Pembangunan (LP3ES, 2001).
Kesempatan kedua menjadi research assistant saya dapat dari Ian Chalmers, yang waktu itu sudah menjadi pengajar di Murdoc University, Perth, Australia. Topik persisnya saya sudah tidak ingat. Tetapi saya ingat isunya seputar Konglomerasi Bisnis, karena pekerjaan saya ketika itu adalah mencari dokumen-dokumen pendirian perusahaan sejumlah perusahaan nasional.
Sedangkan kesempatan ketiga menjadi research assistent adalah membantu M. Ramesh, seorang pengajar dan peneliti dari University of New England, Australia. Topik riset Ramesh ketika itu adalah tentang Kebijakan Pembangunan Sosial.
Satu hal yang amat penting yang saya dapat dari keterlibatan membantu tiga orang peneliti di atas adalah tentang kewajiban memburu data. Karena, yang namanya riset tujuannya adalah menjawab keingintahuan atas apa yang penting diketahui orang banyak. Berdasarkan hasil riset itulah orang yang menyandang status ilmuwan memberi pencerahan ke publik dan menyempurnakan pandangan-pandangan para ilmuwan yang sudah mengemuka.
Tetapi, yang namanya data bukanlah apa yang muncul di media massa dan medsos. Kebanyakan data-data penting berada di tempat atau di kepala orang-orang tertentu yang memerlukan kerja berkeringat, atau perlu kecerdasan tertentu, untuk mendapatkannya. Menjadi peneliti kadang-kadang harus bekerja seperti agen intelijen. Menggunakan cover, memainkan peran di luar peran keseharian, memburu target yang pergerakannya amat sibuk, dan sebagai.
Jeffrey A Winters pernah memaksa dirinya bangun subuh dan pergi dengan pakaian olah raga lengkap menyandang raket tenis menuju sebuah lapangan tenis. Tujuan utamanya ke lapangan tenis itu bukanlah untuk bermain tenis, melainkan mengejar target, yakni seorang menteri bidang ekonomi yang punya jadwal rutin main tenis di lapangan tersebut. Jeffrey sengaja datang untuk mengawali pemakaian lapangan sampai sang menteri datang. Karena dia yakin ketika sang menteri datang dan bersiap menggunakan lapangan, pasti akan terjadi saling sapa.
Selain berpura-pura sangat hobby main tenis, Jeffrey juga berpura-pura tidak tahu bahwa sang menteri adalah seorang menteri. Maka, ketika saling sapa dan berkenalan, Jefrrey memperlihatkan ekspresi wajah kaget. Dari situlah ia masuk untuk mengoreks informasi penting yang tidak ada di media. Bahkan, setelah itu ia dapat kesempatan mendapatkan akses lainnya untuk mengumpulkan data.
Cara riset yang dilakukan Jeffrey tidaklah kekhususan karena di masa Orde Baru berbagai informasi penting serba tertutup. Di jaman serba terbuka inipun, tetap saja harus melakukan upaya khusus untuk mendapatkan data tertentu. Sekali lagi, untuk mendapatkan data tertentu.
Namun, di jaman sekarang jumlah dan jenis data yang masuk kategori tertentu itu jauh lebih sedikit. Sebagian besar jenis-jenis data yang di masa Orde Baru tergolong data eksklusif, sekarang tidak lagi. Dalam mendapatkan data seperti dokumen kebijakan atau naskah akademik yang diperlukan, seorang ilmuwan tinggal mendatangi instansi terkait. Jika pandai melakukan pendekatan, pejabat atau staf di instansi yang dituju bisa lagi dijadikan informan.
Tetapi, apa yang dikerjakan oleh sebagian dari mereka yang menyandang status “pakar”, “pengamat”, “ilmuwan”, “peneliti” berikut gelar akademik atau jabatan fungsional peneliti yang sering berkomentar tentang isu-isu nasional yang sedang hangat selama ini? Inilah yang ingin saya sampaikan di dalam tulisan ini.
Mohon maaf, saya ambil kasus Pemindahan Ibukota. Disamping isu ini sedang hangat dan masih akan hangat, dalam perbincangan-perbincangan di media elektronik maupun forum-forum webinar, saya menangkap kesan banyak mereka yang berstatus pengamat, ilmuwan, bahkan termasuk Profesor Riset, menjadi ilmuwan manja.
Saya namakan ilmuwan manja karena mereka ingin data-data penting harus sampai ke tangan mereka. Karena data dan dokumen tidak sampai ke tangan mereka, lalu mereka merasa bebas menyalahkan berbagai aspek dalam perencanaan IKN. “Mana naskah akademiknya?”; “Apakah sudah dipikirkan masalah ini dan itu?” Begitu cara sejumlah ilmuwan ini mengkritik rencana pembangunan IKN di Kalimantan.
Saya berpendapat, jika sebagai ilmuwan belum memegang data yang cukup, sebaiknya berupaya mencari dulu data dan dokumen-dokumen yang terkait dengan rencana pembangunan IKN. Jangan tanpa data karena malas memburu data, tetap beropini dengan banyak berlindung dari kata-kata, “Saya duga…” atau “Saya khawatir…”, dan sebagai, untuk mengkritik rencana pembangunan IKN. Semestinya, sebagai ilmuwan, dilakukan dulu upaya mendapatkan data, lalu mempelajarinya, setelah itu baru membuat konklusi dan penilaian.
Sebagai selebriti intelektual harusnya para ilmuwan yang sering menjadi narasumber tetap menjalankan prosedur cara membuat konklusi dan menyampaikan opini, karena setiap apa yang disampaikan seorang ilmuwan cepat diikuti oleh orang awam. Karena, kalau opini yang disampaikan tidak didasarkan data yang cukup dan kesimpulan yang mendasarinya keliru, maka masyarakat awam akan terbawa ke pandangan yang salah. Masyarakat awam banyak yang mudah terpengaruh oleh popularitas pembuat opini. Apalagi jika pembuat opini pandai beretorika dan memasang mimik muka yang meyakinkan.
Sulitkah mendapatkan data dan dokumen tentang IKN. Saya yakin tidak sesulit mendapatkan data dan dokumen di masa Orde Baru. Buktinya, seorang Faisal Basri sering mendapatkan data-data eksklusif yang membuat beliau bisa bicara keras tanpa ada yang mempermasalahkan.
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Faisal Basri adalah satu dari amat segelintir pengamat dan ilmuwan yang tidak malas. Hasilnya, dengan berdasarkan data yang kuat, apa yang kadang-kadang disampaikannya dengan keras, tidak ada yang berhak marah atau tersinggung. Dari segi kegunaan, cara-cara kritik seperti yang dilakukan Faisal Basri harus kita dukung, karena berguna untuk memperbaiki kebijakan.
Sebaiknya, para ilmuwan yang sering bicara di media dan webinar tetaplah menjadi ilmuwan yang sesungguhnya. Cirinya adalah membuat konklusi dengan tepat dengan didasarkan data yang cukup. Dan untuk tetap menjadi ilmuwan, anda harus bekerja seperti Jeffrey A. Winters, Ian Chalmers, M. Ramesh dan Faisal Basri, yang saya sebutkan dalam tulisan ini.