Negara Indonesia belum punya mimpi mengelola air yang membuat air keran di rumah dan di jalan-jalan bisa langsung diminum. Atau memiliki teknologi water used treatment yang mengolah air bekas melalui manajemen pembuangan air, sehingga membuat air rumah tangga seperti toilet dapat digunakan kembali untuk mandi dan cuci.
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak jaringan air buatan Belanda yang masih dipakai. Perkembangan jaringan perpipaan dan layanan secara nasional baru menjangkau 50-an persen, karena kurangnya pendanaan dari APBN/APBD. Dari aspek regulasi banyak kontroversi, dari tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan peraturan menteri.
Institusi air di Indonesia masih lemah atau relatif belum terbentuk. Misalnya, regulasi yang lemah, tidak memadai, tidak jalan, atau kapasitas kurang. Banyak daerah yang belum memiliki perda air dan karenanya tak ada jaminan hukum yang memadai terhadap konsumen air. Hak-hak konsumen air secara umum adalah soal kualitas, kontinuitas, keterjangkauan, serta partisipasi dalam manajemen sumber daya air.
Indonesia perlu menengok negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, atau Singapura yang berhasil mengelola air hingga rata-rata 100 persen pemenuhan air bersih bagi warga. Dari sisi cadangan dan kapasitas air, sebenarnya Indonesia lebih digdaya dari ketiga negara tersebut.
Jika standar UNESCO dan WHO untuk kebutuhan air bersih minimal 60-100 liter per kapita, maka rasio kecukupan air di Indonesia per hari bisa mencapai tujuh kali lipatnya. Masalahnya, Indonesia mengalami salah urus tata kelola air, terutama di level nasional yang berakibat potensi airnya menjadi mubazir. Itulah mengapa menurut UNDP (2012), Indonesia memiliki 55 persen penduduk yang rawan akses air bersih.
Untuk layanan air perpipaan, privatisasi skala besar sebenarnya baru sedikit. Yang terkenal di Jakarta dan Batam, di mana privatisasi keduanya bisa dinilai tidak berhasil. Di daerah pedesaan, banyak inisiatif yang dilakukan LSM lewat program air minum dan sanitasi berbasis masyarakat, membangun latrine, toilet, dan sanitasi.
Peran negara lebih banyak sebagai fasilitator. Program ini secara umum cukup berhasil, namun diragukan keberlanjutannya karena bersifat sporadis dan kurang terlembaga.
The Asian Water Development Outlook yang dibentuk oleh Asia-Pacific Water Forum untuk menyoroti isu tata kelola air di kawasan, merilis laporan pertama di tahun 2007 dan menggarisbawahi isu governance, terutama kapasitas negara, sebagai faktor penentu yang menghambat usaha meningkatkan keamanan air di kawasan.
Di sejumlah negara, privatisasi air tidak selalu berarti kiamat bagi kepentingan warga negara, tapi di Indonesia privatisasi berakibat celaka. Sebab, sebelum privatisasi dilakukan, Indonesia tidak pernah mengurus infrastruktur air dan sanitasinya secara serius. Ketika privatisasi air terjadi, pemerintah menyerahkan semuanya begitu saja kepada swasta yang lebih melihat air sebagai bisnis.
Ambil contoh Inggris yang kemudian menyerahkan layanan air kepada swasta. Tapi hal tersebut dilakukan setelah negara habis-habisan melakukan investasi modal di urusan air dan sanitasi. Swasta hanya berfungsi menjadi kuasi operator negara. Pelayanannya dikawal ketat oleh badan regulator negara yang kuat melindungi publik sebagai penerima layanan.
Sejak privatisasi air di Jakarta 1 Februari 1998, badan regulator memang diadopsi dalam tata kelola air. Namun berbeda dari khitah badan regulator air di luar negeri yang berorientasi melindungi publik, di Jakarta sungguh berbeda. Badan regulator di Jakarta lahir bukan dari mandat konstitusi atau undang-undang, tapi mandat kontrak kerja sama sejak pengelolaan air berpindah tangan dari sektor publik kepada privat.
Akhirnya peran badan regulator seperti kekurangan taji untuk membela publik Jakarta. Ia tak punya keputusan final mengikat dan tidak menentukan tarif. Dan yang paling aneh, badan regulator kerjanya turut memediasi perselisihan PAM Jaya dengan operator jika salah satu dari pihak punya keluhan.
Tapi sering kali mediasi badan regulator tidak serta merta diikuti para pihak. Kesimpulannya, badan regulator Jakarta tidak eksklusif membela publik, tapi juga membela operator swasta.
Tidak seperti di Indonesia, air bersih dan sanitasi serta sumber daya air di banyak negara (Singapura, Inggris, Jerman, dan Australia) benar-benar diperlakukan negara sebagai barang utilitas.
Mereka punya badan regulator yang mengurusi urusan itu sehingga publik terlindungi. Di Australia dan Jerman, misalnya, urusan air tergabung di badan konsumen yang mengelola sekaligus layanan listrik, gas, air, sanitasi, dan telekomunikasi dalam satu atap.
Air yang punya nilai sosial seharusnya menjadi pusat gravitasi bagi segala perencanaan pembangunan. “All development plans should follow water plan,” kata Lee Kuan Yew.
Jadi, seharusnya air mengatur pembangunan. Mau dapat IMB, bangun permukiman, hidropower, pertanian, dan sebagainya, mesti melihat dulu tata kelola air, ketersediaan, dan konservasi airnya.
Sayangnya, tata kelola air di hulu dan hilir Indonesia sama buruknya. Hulu sebagai sumber air semakin rusak oleh kebijakan perkebunan kelapa sawit, izin penambangan, dan industri kayu yang mengakibatkan masalah lingkungan.
Laporan Utama majalah GeoTIMES No. 19, 21-27 Juli 2014