Indonesia memiliki sekitar 500 kota dan kabupaten. Hampir setiap tahun kita menyelenggarakan pemilihan bupati dan walikota (pilkada) yang menunjukkan hasrat besar otonomi daerah.
Dalam otonomi daerah, tiap kota dan kabupaten diharapkan bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi, mengapa kota-kota seperti seragam, terutama dalam aspek buruknya: problem sampah, kemacetan lalu lintas dan semrawutnya pembangunan kota?
Salah satu sumber masalah adalah kemampuan bupati atau walikota menerjemahkan otonomi serta kewenangan yang dimilikinya. Banyak dari mereka nampak masih bingung.
Himbauan Bima Arya Sugiarto, Walikota Bogor, agar mobil Jakarta tidak masuk wilayahnya di akhir pekan, mencerminkan kebingungan tentang konsep bagaimana pemerintahan berfungsi. Kebingungan juga nampak pada langkah Walikota Bandung Ridwan Kamil yang mengajak warganya bergabung dalam gerakan pungut sampah.
Pekerjaan pemerintah bukanlah menghimbau, tapi mengatur, jika perlu melarang dengan hukuman keras sebagai sanksinya.
Seorang walikota atau bupati, misalnya, pada prinsipnya bisa melarang penggunaan mobil pribadi, tak hanya di akhir pekan dan tak hanya untuk mobil dari luar daerah. Tapi, konsekuensinya, dia harus menyediakan transportasi publik yang murah, aman dan nyaman.
Menyediakan transportasi publik dan mengurus sampah adalah jenis-jenis layanan publik esensial yang harus diselenggarakan pemerintah. Di kota berpenduduk banyak seperti Bogor, Bandung atau Jakarta, himbauan moral individu takkan bisa memecahkan masalah kolektif, mengingat skalanya yang kolosal.
Kebingungan Bima Arya dan Ridwal Kamil adalah kebingungan yang lazim di kalangan pejabat publik. Dan itu ironis mengingat Bima Arya dan Ridwan Kamil adalah dua dari walikota terbaik Indonesia.
Di tengah perdebatan model pemilihan kepala daerah, satu hal yang belum banyak dibahas adalah apa tolok ukur utama kinerja seorang walikota atau bupati.
Sebagai pejabat publik, tugas paling utama walikota dan bupati adalah memutuskan kebijakan publik dan menyelenggarakan layanan publik bagi warganya.
Namun, mengamati dengan seksama banyak kota-kota Indonesia, kita akan melihat betapa buruknya layanan publik: jaringan air bersih; transportasi publik; pengelolaan sampah dan sanitasi; pelestarian sungai dan sumber air; layanan kesehatan dasar; perpustakaan publik; perumahan publik; tersedianya ruang dan taman; pencegahan bencana banjir, longsor atau kebakaran.
Dengan otonomi daerah warga punya potensi besar untuk mengawasi kinerja bupati dan walikota lewat indikator yang lebih terukur. Itu berpotensi meningkatkan partisipasi warga. Namun, alih-alih secara harafiah ikut membersihkan sampah, partisipasi politik warga seharusnya tercermin dalam perumusan kebijakan publik terkait pengelolaan sampah.
Tuntutan warga tehadap layanan-layanan tadi relatif rendah, yang membuat banyak bupati dan walikota sendiri tidak sadar akan tugas utamanya. Tak heran jika bursa pemilihan kepala selalu begitu menggiurkan. Sebab, orang bisa memegang prestise jabatan tapi kecil tanggungjawabnya.
Sementara rendah tanggungjawabnya, banyak walikota dan bupati terjebak egoisme wewenang ketika berbicara hak. Di tengah pasang naik fanatisme kedaerahan, muncul banyak konflik antar kota dan antar kabupaten.
Belum lama lalu, Bekasi dan Bogor misalnya menolak wilayahnya menjadi tempat pembuangan sampah Jakarta. Kota Cirebon bersengketa dengan Kuningan dan Majalengka dalam masalah air. Beberapa daerah lain berkonflik menyangkut konsesi perkebunan dan pertambangan.
Fanatisme kedaerahan itu mencerminkan rendahnya kesadaran untuk bekerjasama antar daerah. Serta minimnya pengetahuan tentang alam dan lingkungan.
Kota pesisir seperti Jakarta atau Cirebon tak mungkin bertahan tanpa menjalin kerjasama baik dengan daerah hulu. Sebaliknya Bogor dan Kuningan mengambil untung dari Jakarta maupun Cirebon dalam menyediakan pasar hasil pertanian misalnya.
Alam tidak mengenal batas administratif. Soal banjir dan pencemaran air di Jakarta tak bisa dipecahkan tanpa kerjasama dengan Bogor atau Bandung. Baik Jakarta, Bogor maupun Bandung terikat dalam satu ekosistem daerah aliran sungai Citarum dan Ciliwung.
Bahkan aktivitas sosial dan ekonomi tak mengenal batas administratif. Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang telah menjadi satu kesatuan organik sebuah metropolitan. Kuncinya bukan larang-melarang mobil dengan plat nomor tertentu, tapi bersama-sama merumuskan transportasi publik yang bagus.
Almarhum Ali Sadikin, salah satu gubernur terbaik yang pernah dimiliki Jakarta bahkan sempat keliru ketika mengusulkan Jakarta menjadi kota tertutup puluhan tahun lalu. Dia membatasi arus urbanisasi ke Jakarta dengan melakukan razia KTP, yang warisannya masih berlaku sampai sekarang lewat Operasi Yustisi.
Namun sudah jelas rendah efektivitasnya dalam mencegah urbanisasi. Ali Sadikin lupa, bahwa tanpa pemerataan pembangunan daerah, Jakarta akan menjadi korban dari suksesnya sendiri. ***