Kamis, Maret 28, 2024

Kopenhagen, Paris, Jakarta: Dari COP21 Menuju Tindakan Nyata di Level Nasional

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Presiden Joko Widodo dan para pemimpin dunia hadir dalam KTT Perubahan Iklim di Paris, Prancis. REUTERS
Presiden Joko Widodo dan para pemimpin dunia yang hadir dalam KTT Perubahan Iklim di Paris, Prancis. REUTERS

Kontribusi Ari Mochamad (Jakarta), Fabby Tumiwa dan Sonny Mumbunan (Paris)

Luka yang Menganga Sejak Kopenhagen
“In Paris, we have already 185 countries who have submitted their national climate action plans to cover both mitigation and adaptation. The national plans submitted by countries are ‘bottom up’ (nationally determined). The attitude of the private sector has changed tremendously over the last 20 years, and it now looks for a strong agreement. The science is much more certain than it was back then. Finally, the impacts are now visible and measureable. So we are in a very different, and much more favorable situation for an agreement.”

Begitu pernyataan Janoz Pasztor, Deputi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Perubahan Iklim, dalam sebuah forum Reddit yang khusus diselenggarakan untuk mengomentari prospek Conference of Parties (COP21).

Tak bisa tidak, semua pihak yang mendengar atau membaca pernyataan itu akan menghubungkannya dengan apa yang pada tahun 2009 terjadi di Kopenhagen, COP15. Ketika itu, semua pihak datang dengan ekspektasi yang tinggi. Semua yakin bahwa Kopenhagen adalah peluang terakhir untuk menyelamatkan umat manusia dari bencana terbesar akibat perubahan iklim. Namun realitas berkata lain. Walau ada pencapaian janji pendanaan sebesar US$100 miliar per tahun pada tahun 2020, seluruh pihak memandang Kopenhagen sebagai kegagalan. Presiden Prancis Francois Hollande bahkan melabelnya sebagai ‘a terrible fiasco’. Tentu, dia berani menyatakan itu kalau yakin bahwa Paris akan jauh lebih baik.

Tentu pertanyaan pertamanya adalah apa yang sesungguhnya terjadi di Kopenhagen sehingga semua orang melihatnya sebagai kegagalan. Xiaochen Zhang, kini salah seorang pimpinan Business for Social Responsibility yang membidangi perubahan iklim, mengenang kehadirannya di Bella Center, Kopenhagen, sebagai delegasi PBB. Menurut dia, ada tiga hal yang membuat kemajuan sangat sulit diperoleh di Kopenhagen, betapapun seluruh pihak menaruh harapan sangat tinggi.

Pertama, tanpa kejelasan komitmen untuk periode kedua Protokol Kyoto dan dukungan pembiayaan yang efektif untuk pembangunan rendah karbon di negara-negara berkembang, banyak pihak ragu menyatakan kehendaknya terlibat dalam kerja sama aktif dalam jangka panjang.

Kedua, negara-negara maju berdalih untuk menghindari komitmen penurunan yang tinggi, yaitu dengan meminta negara berkembang dengan emisi besar—terutama Cina dan India—untuk juga menyatakan komitmen yang sama. Sementara, Cina dan India tak menginginkan hal tersebut, dengan dalih emisi per kapitanya tak besar. Hanya karena populasi raksasa di kedua negara itu saja maka emisi mereka menjadi besar.

Ketiga, perusahaan hanya diberi akses yang sangat terbatas, pun demikian dengan pengaruhnya. Kala itu, negara-negara—tepatnya pemerintah di negara-negara itu—tampak hendak mengambil keputusan sendiri, tanpa mengikutsertakan pemangku kepentingan, termasuk perusahaan. Padahal, perusahaan adalah penyebab dan perantara emisi terbesar.

Dengan imajinasi politik yang terbatas dari para pemerintahan, juga kurangnya kesiapan dari pemangku kepentingan untuk memecahkan kejumudan tersebut, Kopenhagen tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi luka bagi semua orang. Paris, di sisi lain, seperti dikatakan Pasztor, berpotensi jadi penyembuh luka-luka tersebut. Tampak jelas bahwa seluruh pihak kini punya tekad yang jauh lebih kuat dibandingkan 6 tahun lalu, walau tantangannya juga tak kecil.

Berharap Kesembuhan di Paris

Lalu, apa saja yang membuat Paris menjadi sedemikian menariknya, dan diyakini oleh banyak pihak akan menyembuhkan dunia dari luka-luka yang dibuat di Kopenhagen? Kalau Pasztor menyatakan adanya 3 faktor—yaitu negara, swasta, dan ilmu pengetahuan—mungkin ilmu pengetahuan tak perlu disebutkan. Bukan karena tidak penting, melainkan karena memang sudah tak bisa dan perlu diperdebatkan lagi. Sejak laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pertama hingga kelima, ilmu pengetahuan terus memberikan konfirmasi atas apa-apa yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Karenanya, kalau dua faktor pertama itu diperhatikan dengan saksama, kita akan mendapati empat alasan mengapa Paris menjanjikan hal yang lebih baik. Dua alasan datang dari negara, dan dua lainnya datang dari swasta. Demikian pendirian Zhang, sebagaimana yang ia tuliskan dalam Why Paris is Not Another Copenhagen.

Alasan pertama tentu komitmen kontribusi penurunan emisi karbon yang diniatkan (INDC/Intended Nationally Determined Contributions). Benar bahwa INDC tidaklah memadai untuk membawa Bumi pada kenaikan suhu yang dianggap aman. Analisis oleh World Resources Institute telah menyatakan bahwa yang paling optimistis sekalipun akan membuat suhu Bumi naik hingga 2,7 derajat Celsius di tahun 2100 dibandingkan periode pra-Revolusi Industri. Namun, ada hal yang sangat penting terkait dengan INDC ini, yaitu bahwa 184 negara telah menyatakan komitmennya sebelum negosiasi dimulai. Ini saja sudah mencakup pengelolaan 94% emisi oleh 97% populasi dunia.

cop21

Jadi, walaupun belum memuaskan, arah negosiasi memang meminta peningkatan komitmen. INDC bagaimanapun telah menunjukkan ambisi negara-negara dan kondisi yang mereka hadapi. Tentu, dengan disetorkannya INDC, dunia sudah terhindar dari minim atau tertutupnya pengetahuan tentang masing-masing negara, serta kesediaan mereka berpartisipasi. Sebanyak 184 negara jelas menunjukkan minat untuk bersama-sama menyelamatkan Bumi dan segala isinya.

Alasan kedua, negara-negara maju maupun negara berkembang yang memiliki emisi besar tidak lagi menunjukkan perilaku yang menyebalkan. Bahkan, setahun sebelum Paris, tanda-tanda bahwa perubahan perilaku sedang terjadi sudah tampak. Pada November 2014 secara sangat mengejutkan Presiden AS Barack Obama dan Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu. Lalu, mereka mengumumkan target-target pengelolaan perubahan iklim yang baru. Jelas kerja sama pengelolaan perubahan iklim di antara dua negara penghasil emisi terbesar pertama dan kedua itu sangat diperlukan untuk dunia menjadi percaya bahwa perubahan itu mungkin.

Dan Tiongkok kemudian menunjukkan keseriusannya kembali ketika pada 29 Juni 2015 mereka kembali membuat kerja sama pengelolaan perubahan iklim dengan Uni Eropa. The EU-China Joint Statement on Climate Change, begitu nama kesepakatan yang diumumkan. Tentu hal tersebut menjadikan semakin kuatnya mood kerja sama mondial. Apalagi Cina kemudian menyatakan bahwa tahun 2030, atau bahkan sebelumnya, adalah puncak dari emisi mereka.

India pun tak mau kalah, mereka mengumumkan penurunan emisi per unit GDP sebesar 33-35% pada tahun 2030 dibandingkan dengan emisi tahun 2005. Ini kejutan yang sangat besar, lantaran India dikhawatirkan tidak bersedia mengumumkan target penurunan emisinya. INDC India tersebut lalu disambut dengan gembira oleh seluruh dunia. Apalagi di situ juga dinyatakan bahwa pada tahun 2030 mereka akan menggunakan 40% energi non-fosil untuk sumber listriknya. Amerika Serikat sendiri menjanjikan penurunan 26-28% dari tahun dasar 2005 pada tahun 2020, dan lebih rendah lagi pada tahun 2030.

Ini semua sangat jauh dari apa yang terjadi di Kopenhagen. Zhang berkomentar sangat positif, “With these ambitious commitments and clear signals for collaboration, the risks of failure due to a lack of collaboration between major economies is also at a historical low.”

Alasan ketiga, komitmen yang sangat tinggi dari perusahaan-perusahaan progresif telah mengurangi ketidakpastian dalam negosiasi. Ketika 28 investor swasta, dipimpin oleh Bill Gates, menyatakan komitmen untuk membanjiri riset dan pengembangan energi terbarukan dengan target memastikan bahwa harga energi bersih akan di bawah energi fosil, semangat banyak pihak menjadi berkobar.

Jumlah investasi tersebut dipastikan akan melampaui apa yang sudah dijanjikan Amerika Serikat, yang sudah menjanjikan US$5-10 miliar hingga tahun 2020. Ambisi swasta itu mungkin hanya bisa ditandingi oleh International Solar Alliance yang, secara mengejutkan, dipimpin oleh India. Mereka akan menggabungkan investasi pemerintah dan swasta hingga sejumlah US$1 triliun untuk mengembangkan pemanfaatan energi surya di seluruh dunia. India sendiri memang pantas memimpin koalisi tersebut setelah memaparkan rencana detailnya untuk memproduksi 100 gigawatt energi surya pada tahun 2022.

Kalau selama ini pihak swasta terus-menerus diasingkan lantaran dosa emisi dari perusahaan-perusahaan minyak, batubara dan semen—menurut perhitungan Heede (2014), 90 perusahaan dari sektor-sektor itu bertanggungjawab atas 63% total emisi antara tahun 1751 hingga 2010—di Paris swasta tidak lagi dipandang sebagai semata-mata penyebab dan perantara masalah.

Ketika koalisi perusahaan bahkan menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi bagian dari pemecahan masalah, termasuk melalui desakan agar pemerintah-pemerintah menyetujui cukai karbon, para negosiator menjadi lebih percaya diri dalam menuntut isi perjanjian yang lebih kuat. “We want a climate agreement, we want it to be bold, and we want it now.” Mungkin begitu pesan perusahaan-perusahaan progresif yang hadir di Paris.

Alasan keempat, komitmen swasta itu ditunjukkan bukan hanya dengan pernyataan dukungan untuk cukai karbon dan komitmen investasi dalam energi bersih, melainkan juga kesediaan untuk menyatakan penurunan emisi yang tak kalah ambisiusnya dengan apa yang dibutuhkan dunia. Ada banyak perusahaan yang telah membuat semacam INDC-nya, dengan target penurunan emisi juga komitmen adaptasi. Mereka juga secara tegas telah menunjukkan bagaimana mereka bekerjasama untuk memahami risiko, membangun beragam alat, bahkan menggeser investasinya menuju jalur rendah karbon.

Koalisi We Mean Business yang beranggotakan 501 perusahaan dan investor dengan nilai total pendapatan US$7.1 triliun dan aset sebesar US$19.5 triliun telah mencatatkan 812 komitmen menuju ekonomi yang bersih. Komitmen sebanyak dan sebesar itu tak pernah ada dalam sejarah COP sebelumnya. Salah satu pemuka koalisi itu, CEO Statoil Eldar Sætre, menyatakan pada Senin 7 Desember 2015, “We need to embrace low-carbon solutions as a business opportunity rather than as a threat to our industry.” Memang, mengelola perubahan iklim adalah jalan satu-satunya menuju keberlanjutan dunia. Dan hanya apabila dunia berkelanjutan saja bisnis bisa tetap eksis.

Michael Oko, peneliti World Resources Institute, menyatakan jumlah perusahaan Amerika Serikat saja yang menyatakan dengan tegas bersedia bertindak sesuai dengan target yang berdasarkan ilmu pengetahuan (science-based targets) adalah 114 perusahaan. Mereka bukan cuma menyatakan pentingnya mencapai target 2 derajat Celsius, melainkan mendesak agar target yang lebih ambisius dan aman, 1,5 derajat Celsius, bisa dicapai.

Kelompoak yang lain, 73 perusahaan yang tergabung dalam White House Business Climate Pledge, membuat kelompok bisnis di AS itu menjadi 154 perusahaan. Ini saja sudah merepresentasikan lebih dari 11 juta pekerja dan pendapatan tahunan sebesar US$4,2 triliun. Sementara itu, sudah ada lebih dari 1.000 perusahaan di AS yang menyatakan akan membuat kebijakan internal pembayaran harga karbon mulai tahun 2017.

Peerkembangan yang lain—yang juga penting walau tak sebesar yang diharapkan—adalah bergabungnya lebih dari 400 pimpinan kota dalam Compact of Mayors, yang merupakan koalisi global dari kota-kota yang berkomitmen menurunkan emisinya. Kalau dijumlahkan, kota-kota itu akan menurunkan sekitar 750 juta ton emisi setara karbon dioksida setiap tahunnya mulai tahun 2030.

Bagaimana Kabar Jakarta?

Kita semua masih harus menunggu hasil-hasil perundingan di Paris yang rencananya akan berlangsung hingga 11 Desember 2015, dengan kemungkinan molor. Kalau itu sudah selesai, ada tiga tugas besar yang menanti di Indonesia.

Pertama, menerjemahkan kesepakatan pada instrumen kebijakan dan operasional, yang akan mencakup seluruh isu yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi. Kedua, memperkuat upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang telah dilakukan selama ini dengan melengkapi dan menyiapkan enabling environment, khususnya yang menyangkut implementasi di daerah. Bagaimanapun, implementasi di daerah adalah kunci dari sukses atau gagalnya kebijakan.

Ketiga, melibatkan lebih banyak lagi pemangku kepentingan baik dalam level vertikal maupun horisontal. Perundingan memang sangat elitis, sehingga tak bisa diikuti atau bahkan dipahami kebanyakan masyarakat Indonesia. Namun, pengelolaan perubahan iklim tak akan sukses tanpa menerjemahkannya menjadi tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh setiap orang.

Indonesia sendiri diharapkan memiliki sikap yang lebih kuat dalam soal target yang bisa dicapai. Mood yang ditunjukkan oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat!, adalah mendukung batas aman yang penting bagi keselamatan negara-negara kepulauan, yaitu 1,5 derajat Celsius.

Indonesia, yang juga merupakan negara kepulauan, memiliki kerentanan yang tinggi bila dunia hanya menargetkan batas 2 derajat Celsius. Indonesia, dalam kurun waktu yang tersisa, seharusnya bisa ikut ke dalam gerbong negara-negara yang lebih ambisius itu.

Kalau hal itu hendak dicapai, Indonesia perlu melihat ke dalam dirinya sendiri, juga ke luar. Bagaimanapun, akselerasi penurunan oleh negara-negara maju pra-2020 adalah kunci pencapaian target yang lebih ambisius itu. Indonesia bisa menagih, atau setidaknya mengingatkan, negara-negara maju itu di meja perundingan, hingga detik-detik terakhir. Deep decarbonization, bagaimanapun, jauh lebih mungkin dilakukan oleh negara-negara maju, bukan oleh negara-negara berkembang.

Sementara itu, ke dalam, kita sangat perlu untuk memperbaiki beragam dokumen rencana pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kita masih jauh dari visi keberlanjutan. Dan oleh karena itu harus direvisi habis-habisan.

Revisi itu harus dimulai dari pertanyaan bagaimana kita mengimajinasikan pembangunan yang benar-benar membawa manfaat bagi sebagian besar masyarakat di masa depan. Bukan pembangunan yang disandarkan pada keinginan elite-elite politik dan ekonomi untuk memperbesar kantong kekuasaan dan uang mereka.

Kita tak bisa lagi membangun dengan mengabaikan ilmu pengetahuan dan visi keberlanjutan. Paris, bagi Jakarta, seharusnya menjadi pelajaran terpenting tentang pembangunan.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.