Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) akhirnya dihidupkan kembali oleh Presiden Jokowi dan akan ditugaskan membantu Polri dalam penanggulangan terorisme. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun kabarnya sudah meresmikan Koopsusgab ini, terdiri dari kesatuan-kesatuan elite TNI: Gultor 81 (Kopassus-AD), Denjaka (AL), dan Den Bravo (AU).
Kita belum tahu bagaimana mekanisme kerja antara Koopsusgab dan Polri. Siapa yang akan memimpin operasi, siapa yang mengerjakan apa, di bagian apa saja Koopsusgab bisa terlibat dan di bagian mana dia tidak boleh terlibat. Namun, abaikanlah dahulu segala mekanisme teknis itu. Kita mungkin bisa membikin pertanyaan yang substansial: Perlukah Koopsusgab untuk penanggulangan terorisme?
Saya sendiri mempertanyakan pelibatan Koopsusgab ini. Alasan saya sangat sederhana: tentara (AD, AL, dan AU) dilatih untuk bertempur mempertahankan wilayah negara. Mereka dilatih sebagai pemukul, penggempur, dan menduduki teritori. Penanganan dan penanggulangan terorisme lebih mementingkan intelijen, penyidikan, dan strategi keamanan ketimbang pertempuran (combat) langsung. Penanganan terorisme lebih memerlukan keahlian polisional and intelijen. Bahkan intelijen yang diperlukan pun sangat spesifik, intelijen yang mampu menyadap komunikasi dari kelompok-kelompok teror serta infrastrutur pendukungnya.
Apakah intelijen militer tidak bisa membantu? Bisa saja. Namun, intelijen militer sebaiknya terfokus pada intelijen strategis—yakni intelijen yang berkepentingan untuk mempertahankan negara dari ancaman luar. Bidang ini sudah sangat luas, ia harus mampu mencegat ancaman dari luar—kapal selam yang masuk wilayah Negara, kapal udara yang melintas, pergerakan militer strategis negara lain, dan lain-lain. Dan mungkin saja dari data-data ini ada yang bisa dibagi kepada penanggulangan terorisme. Secara umum, tugas intelijen militer jauh lebih luas dari intelijen penanggulangan terorisme.
Meski begitu, atas alasan lain, saya terpaksa dengan berat hati mengangguk pada keterlibatan Koopsusgab dalam penanggulangan terorisme.
Ini alasan saya.
Sejak melakukan riset kerusuhan di Ambon tahun 2002, saya sudah melihat ada persoalan antara Polri dan TNI—khususnya Angkatan Darat. Tidak bisa dipungkiri bahwa di lapangan, konflik juga diperparah oleh persaingan antara tentara dan polisi. Polisi dianggap pro-Kristen dan tentara pro-Islam. Walaupun kenyataannya tidak selalu demikian, tapi itulah persepsi umum yang terbentuk. Itu yang terjadi di tingkat lokal.
Persepsi itu berlanjut walaupun intensitasnya tidak setinggi di tingkat lokal di Ambon. Namun, persepsi itu selalu ada. Dari beberapa kajian konflik oleh beberapa sarjana, persaingan dua institusi ini muncul di berbagai daerah konflik horisontal. Rivalitas kedua institusi ini tidak jarang pula memperparah konlfik.
Ketika terorisme menjadi isu besar, dan polisi mendapat kewenangan—serta bantuan biaya dari luar—untuk melakukan penindakan, persepsi bahwa Polri memerangi Islam semakin kuat. Ini dibumbui oleh kampanye-kampanye yang dilakukan beberapa politisi sipil hanya untuk mendapatkan skor politik sesaat.
Persepsi itu kemudian diperkuat oleh kelompok-kelompok teror. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak Polri yang menjadi sasaran teror. Kampanye Polisi vs Islam, yang dibantu oleh politisi, baik dari partai maupun ormas, semakin meningkat.
Di sisi lain, kita juga tahu bahwa rivalitas antara polisi dan tentara juga tetap terjadi. Bentrokan terjadi di mana-mana dan bahkan dianggap rutin. Rivalitas ini juga masuk ke dalam penanggulangan terorisme. Tentara merasa dikesampingkan dan duduk manis di pinggiran. Menonton.
Beberapa tahun terakhir, tentara tampak semakin mendekatkan diri dengan kelompok-kelompok Islam. Panglima TNI sebelum ini tampak aktif menggalang kekuatan Islam. Ketika Demo Besar 212, kelihatan sekali dia menyalip di tikungan dengan memperlihatkan simpatinya yang besar. Kemudian kita tahu bahwa dia memang memiliki ambisi politik untuk maju menjadi calon presiden tahun 2019.
Namun, persepsi bahwa polisi itu lawan Islam dan tentara pro-Islam sudah terlanjur terbentuk. Untuk menjaga kesantunan politik (political correctness), orang mungkin akan membantah bahwa persepsi ini ada. Namun, kalau kita jujur, tidak akan terlalu sulit merabanya. Bagi saya, lebih baik ini dikatakan secara terbuka dan kita mencari jalan keluarnya ketimbang menyembunyikannya dan akhirnya kita semua celaka.
Nah, saya kira, di sinilah poin pentingnya. Persepsi bahwa polisi anti-Islam itu harus dihilangkan. Bahwa kerja polisi memberantas terorisme adalah untuk kepentingan Republik ini. Bahwa tentara tidak dilibatkan bukan karena tentara pro-Islam, tetapi karena memang bukan tugasnya.
Akan tetapi, kerusakan telah terjadi. Persepsi itu melekat. Dan kampanye untuk memperkuat persepsi itu terus berlangsung. Rivalitas institusional polisi dan tentara, akhirnya dieksploitasi dan dipolitisasi oleh para politisi sipil—dan pada akhirnya menguntungkan para teroris dan pendukung-pendukungnya karena mereka mendapatkan ‘cover‘ untuk menyebarkan ideologinya.
Sesungguhnya ini problem besar dan berat untuk bangsa ini. Juga problem mendasar yang bisa mengancam eksistensi Republik ini. Para politisi, elite militer, elite polisi, dan mungkin juga sebagian kaum intelektual mengabaikan ini semata untuk kepentingan jangka pendek mereka, yakni berkuasa.
Itulah sebabnya, menurut hemat saya, Koopsusgab ini dengan berat hati harus diterima. Bukan karena tentara memiliki keahlian. Bukan pula karena tentara memang harus ada di sana. Tetapi karena aparat kepolisian memerlukan LEGITIMASI untuk melakukan pekerjaannya. Kehadiran Koopsusgab akan memberikan legitimasi besar itu dan mengurangi stigma bahwa pemberantasan terorisme adalah usaha anti-Islam.
Namun, tentu akan selalu ada yang mengekspolitasi isu anti-Islam tersebut. Kelompok-kelompok pinggiran (fringes) akan berusaha berteriak sekeras-kerasnya mengatasnamakan Islam, seolah-olah mereka mewakili mayoritas yang diam itu. Mereka memiliki megafon. Para politisi yang tahu bahwa mereka bisa mengeksploitasi isu ini untuk kepentingan politik mereka. Media yang haus rating juga dengan senang hati memberikan platform karena kontroversi akan menaikkan rating, iklan, dan akhirnya pendapatan.
Kembali ke Koopsusgab. Saya kira perlu ada pembatasan terhadap Koopsusgab. Pembatasan yang terpenting adalah bahwa Koopsusgab tidak akan melibatkan komando teritorial tentara (Angkatan Darat, khususnya). Penanggulangan terorisme tidak akan berubah menjadi kerja teritorial tentara untuk masuk dan mengawasi kehidupan sipil seperti pada zaman Orde Baru.
Intinya, penanggulangan terorisme adalah kerja untuk merawat Republik ini. Tanggung jawabnya ada pada semua institusi. Presiden harus benar-benar melakukan koordinasi dan mengurangi rivalitas dua institusi negara yang mahapenting ini. Politisi sipil tidak seharusnya mengeksploitasi perbedaan ini untuk kepentingan politik sesaat. Demikian pula elite militer dan polisi. Mereka semua harus meletakkan kepentingan bangsa ini diatas kepentingan partai, golongan, maupun pribadi.
Kedengaran klise. Namun itulah yang kita perlukan sekarang ini.