Kamis, Mei 2, 2024

Konvensi PSI, Bukan Kaleng-Kaleng

Fahd Pahdepie
Fahd Pahdepie
Anak Muda, Peserta Konvensi PSI, Bakal Calon Walikota Tangerang Selatan, Master of International Relations dari Monash University, Meraih penghargaan Outstanding Young Alumni 2017 dari Australia Global Alumni serta Australia Awards. Anggota dari Monash Global Leaders dan termasuk dalam daftar 20 pemimpin muda berpengaruh Australia-ASEAN dalam A2ELP 2013, versi Australia-Malaysia Institute dan Asialink.

Sejak mengumumkan bahwa saya mantap maju dalam proses pemilihan calon walikota Tangerang Selatan (Tangsel), publik selalu bertanya, “Lewat partai apa?” Terus terang, saya belum bisa menjawabnya. Saya masih terus berikhtiar dan berkomunikasi dengan sejumlah partai politik.

Sampai saat ini saya sudah mendaftarkan diri dan mengikuti proses penjaringan terbuka di empat partai: PDIP, Gerindra, PAN, dan PSI. Saya merasa DNA politik dan corak gagasan yang saya usung relevan dengan partai-partai tersebut. Paling tidak untuk konteks politik Tangsel.

Di tahap ini, saya terus mencoba meyakinkan partai-partai tersebut tentang visi, misi dan program yang akan saya kerjakan untuk Tangsel. Di PDIP saya sudah dinyatakan lolos seleksi administrasi dan dipanggil untuk melakukan wawancara dengan panitia seleksi DPD Banten. Bahkan survei permulaan sudah dilakukan.

Di Partai Gerindra juga sama, proses tahap kedua telah saya lalui dengan baik 15 Januari lalu. Saya menjalani sesi wawancara panjang dengan panitia seleksi DPD Gerindra Banten. Kami berdiskusi mulai dari aspek gagasan, kepemimpinan, kepribadian, logistik politik hingga jaringan.

Sementara sabtu (18/01) kemarin, setelah dinyatakan lolos seleksi administrasi, saya menjalani wawancara terbuka di DPP Partai Solidaritas Indonesia. Yang belum ada kabar tinggal PAN.

Tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat saya pada partai-partai lain yang saya ikuti proses konvensinya, dan masih berlangsung, izinkan kali ini saya bercerita dan memberi penghargaan khusus pada penjaringan terbuka calon walikota Tangsel yang dilakukan PSI. Terasa ada yang berbeda di sana. Saya menemukan harapan untuk mengerjakan platform politik yang sedang saya usung: Politik gagasan.

Bagi saya, PSI sangat serius memberi ruang untuk menguji politik gagasan ini. Semua kandidat yang dipanggil untuk wawancara digali secara mendalam tentang gagasan, visi, misi dan programnya untuk kota yang akan dipimpin nanti.

Tim panelis yang menguji pun merupakan para pakar dan figur kredibel dari berbagai bidang. Kemarin saya diuji oleh ekonom senior Faisal Basri, direktur eksekutif CSIS Philips Vermonte, akademisi NTU Singapura Sulfikar Amir, politisi senior Abdillah Thoha, dan salah satu pengurus DPP PSI Suci Mayang Sari.

Lebih istimewa lagi, proses wawancara dilakukan secara terbuka dan disiarkan secara ‘live’ di kanal media sosial milik PSI. Publik bisa menilai langsung kualitas setiap kandidat yang diuji.

Tentu ini merupakan preseden yang baik untuk masa depan demokrasi kita. PSI memberi kita harapan besar untuk mengerjakan proses demokrasi yang bersandar pada meritokrasi dan transparansi. Untuk memilih kandidat yang paling pas dan akan mendapatkan rekomendasi, semua proses dikerjakan di ruang terbuka, tak ada satupun pertanyaan yang disembunyikan, tak ada transaksi-transaksi di ruang remang—apalagi di ruang gelap.

Sepanjang proses wawancara selama lebih satu jam, para panelis berfokus pada soal gagasan yang diusung. Secara tajam mereka menguji saksama setiap visi, misi dan program yang saya ajukan. Kadang suasana terasa tegang, kadang cair disertai kelakar, tetapi tak sedikitpun kehilangan fokus untuk tetap serius. Saya juga mendapat beberapa masukan berharga.

Sebagai seorang konseptor dan arsitek gagasan, yang semua dokumen yang saya serahkan dan peresentasikan ketika itu saya kerjakan secara serius lewat kajian mendalam dan diskusi-diskusi panjang bersama berbagai kolega, saya merasa proses ‘ujian terbuka’ yang dilakukan PSI merupakan satu penghargaan yang tinggi bagi demokrasi yang cerdas—bagi politik gagasan.

Sedih bukan jika hasil pemikiran dan kerja keras kita untuk menyusun sebuah konsep pembangunan kota tidak ditanggapi serius, bahkan hanya dianggap komplementer, karena konon biasanya dalam proses seperti ini ujung-ujungnya kita hanya ditanya “Wani piro?” atau “Memangnya punya duit berapa?” Gagasan adalah nomor kesekian.

Saya tak mendapatkan satupun gestur atau pertanyaan semacam itu di penjaringan yang dilakukan PSI ini. Bahkan secara terbuka dan sungguh-sungguh, dalam sesi konferensi pers yang diikuti semua kandidat dan tim panelis, ketua umum PSI Grace Natalie mengatakan bahwa PSI ingin mengerjakan rekrutmen tanpa mahar, bahwa mereka ingin membantu calon kepala daerah yang tidak punya uang tetapi punya gagasan yang baik untuk memajukan sebuah kota.

Saya sendiri percaya bahwa politik tidak mungkin dikerjakan tanpa modal sama sekali. Tetap saja harus ada logistik yang dikeluarkan, paling tidak untuk nge-print dokumen presentasi visi-misi, kan? Haha.

Tetapi, memang kita memerlukan demokrasi yang lebih sehat, di mana partai politik tidak melakukan jual-beli dukungan dan sama-sama mengerjakan politik yang sportif—tanpa membeli suara rakyat dengan amplop atau bingkisan serangan fajar. Masyarakat harus kita dorong untuk lebih cerdas agar memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, integritas dan gagasan yang mereka miliki.

Saya terjun ke dalam politik dan memberanikan diri maju dalam kontestasi pilkada dengan harapan besar semacam itu. Politik jangan lagi cuma soal ‘isi tas’. Bahwa demokrasi masih bisa kita perbaiki dan politik gagasan masih mungkin kita perjuangkan. Kuncinya ada di anak-anak muda, mereka yang masih punya idealisme untuk memajukan negeri ini bersama-sama.

Melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan selamat untuk PSI. Terima kasih karena menyelenggarakan proses konvensi yang jelas prosedurnya, terbuka prosesnya, dan tanpa basa-basi atau drama. Terima kasih karena telah memperlakukan kami para kandidat dengan sangat baik.

Seorang teman bilang, “Jangan banyak berharap sama partai, bro!” Saya menananggapi ujaran itu dengan senyuman.

Saya bilang: Harapan kita simpan di saku belakang. Sekali-kali dikeluarkan sebagai pengingat bahwa kita pernah punya kartu itu. Yang jelas sepatu tetap terikat, ransel tetap di pundak, dan mata terus menatap ke depan dengan segala optimisme dan prasangka baik. Perjalanan harus terus diteruskan. Proses tidak boleh berhenti. Ikhtiar tidak boleh pudar oleh bisikan-bisikan.

I’m still learning. Ancora imparo.

Fahd Pahdepie
Fahd Pahdepie
Anak Muda, Peserta Konvensi PSI, Bakal Calon Walikota Tangerang Selatan, Master of International Relations dari Monash University, Meraih penghargaan Outstanding Young Alumni 2017 dari Australia Global Alumni serta Australia Awards. Anggota dari Monash Global Leaders dan termasuk dalam daftar 20 pemimpin muda berpengaruh Australia-ASEAN dalam A2ELP 2013, versi Australia-Malaysia Institute dan Asialink.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.