Jumat, Mei 3, 2024

Kontroversi Utak-atik Sastra Anak

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya ingin membahas sastra anak. Ketika mendengar sastra anak, judul apa yang muncul di benak Anda? Atau sedikit lebih mudah, siapa nama pengarang yang Anda ingat? Roald Dahl, Enid Blyton, atau Rudyard Kipling. Ada Dr Seuss yang menjadi pendukung sastra anak. Saya ingin membahas semuanya, tapi pertama mari saya ingin menyinggung Roald Dahl.

Dahl kembali menjadi bahan pemberitaan. Dia sudah wafat pada 23 November 1990, namun karya-karyanya tetap hidup. Pendekatan terhadap karya-karya tersebut menimbulkan kegelisahan pembaca. Kenapa?

Karya-karyanya telah diubah sehingga memicu perdebatan terkait sensor. Roald Dahl adalah nama besar dalam dunia sastra anak. Dia adalah pengarang karya-karya terkenal, seperti Charlie and the Chocolate Factory, The Twits, Matilda, atau Fantastic Mr Fox. Karya-karya Roald Dahl telah terjual lebih dari 300 juta eksemplar dan itu sudah diterjemahkan ke dalam 63 bahasa. Jangkauannya sangat global.

Puffin Books, penerbit karya-karya Roald Dahl, kini mencoba mengutak-atik tulisannya. Pihak penerbit menerapkan apa yang mereka sebut sensitivitas pembaca untuk menelaah karya-karya Dahl. Puffin Books mulai melakukan beberapa perubahan terhadap sejumlah karya terbaik Dahl. Dalam The Twits, Nyonya Twits yang digambarkan sebagai sosok yang ‘jelek’ (ugly) dan ‘menjijikkan’ (beastly) oleh Dahl, sekarang hanya ‘menjijikkan.’ Dalam Charlie and the Chocolate Factory, Augustus Gloop sekarang digambarkan sebagai besar (enormous), padahal sebelumnya disebut gendut (fat).

Karya-karya Dahl kini ditulis ulang menjadi netral gender (gender neutral). The Oompa-Loompas dulu adalah ‘laki-laki kecil’ tapi sekarang menjadi ‘orang-orang kecil.’ Kata-kata seperti boys dan girls telah diganti dengan children, kata-kata semisal crazy dan mad dihapus semuanya. Tidak seperti penerbit lainnya yang hanya menghapus atau menggantikan kata, Puffin Books dan para pembaca sensitivitasnya betul-betul menulis ulang karya-karya Roald Dahl.

Dalam The Witches, Dahl menulis paragraf yang menjelaskan bagaimana penyihir itu botak di bawah rambut palsunya. Sekarang paragraf itu dihapus dan diganti dengan kalimat baru, “Ada banyak alasan mengapa wanita memakai rambut palsu dan tentu tidak ada yang salah dengan itu” (There are plenty of other reasons why women might wear wigs and there is certainly nothing wrong with that).

Roald Dahl pasti begitu murka dalam kuburannya. Pembaca tidak suka karya-karya diubah, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak juga tidak suka dengan ini. Juru bicara resmi perdana menteri Inggris itu menyatakan pentingnya memelihara karya-karya sastra atau fiksi, bukan mengutak-atiknya, sebab ini bagian dari pembelaan atas hak kebebasan berpendapat dan menyampaikan ekspresi.

Pengarang Salman Rushti juga mengecam ini sebagai aksi penyensoran yang tidak masuk akal. Dia berujar, “Roald Dahl was no angel but this is absurd censorship. Puffin books and the Dahl Estate should be ashamed” (Roald Dahl bukan malaikat tapi ini adalah penyensoran yang tak masuk akal. Puffin Books and the Dahl Estate harusnya malu).

Tapi Roald Dahl bukan satu-satunya yang menjadi korban. Dia memang sosok yang kontroversial. Dahl adalah bagian kelompok penulis yang sekarang dituduh membela rasisme dan ketidakpekaan. Enid Blyton termasuk di antaranya. Kita semua mungkin pernah mendengar atau membaca karya-karyanya. Dia menjadi pengarang favorit jutaan pembaca, tapi kini karya-karya Blyton tengah diperdebatkan. Tulisan-tulisannya disebut rasis dan seksis. Beberapa kritikus menyebutkan karya-karya mengandung nuansa xenofobia yang kental.

Sekadar untuk memberikan gambaran betapa besarnya seorang Enid Blyton. Dia telah menulis lebih dari 4500 cerpen, menerbitkan 700 buku tentang anak-anak. Karya-karya Blyton telah terjual lebih dari 600 juta kopi secara global. Dia masih memiliki banyak penggemar dan daya tarik di seluruh dunia. Lalu, apa yang menjadi permasalahan utama dalam karya-karyanya?

Ambillah The Little Black Doll yang ditulis pada 1966. Sambo adalah nama sebuah boneka. Pemilik Sambo menolak menerima boneka itu karena wajahnya berwarna hitam. Si pemilik berubah pikiran hanya ketika boneka berwajah hitam jelek itu dicuci bersih oleh hujan. Bagaimana dengan Dr Seuss? Karya-karyanya dikenal karena kreativitas imaginer dan alur cerita pendeknya. Berapa banyak karya-karya fiksinya yang telah terjual? Lebih dari 600 juta eksemplar.

If I Ran the Zoo, salah satu karangannya yang populer, menjadi kontroversial. Novel anak ini memuat gambar dua orang pria Afrika yang memakai rok rumput. Pria-pria ini ditampilkan tanpa sepatu dan kemeja. Karya Dr Seuss yang paling terkenal adalah The Cat in the Hat. Cerita anak ini menampilkan kucing yang mengenakan topi panjang dan dasi kupu-kupu yang sangat besar dan sarung tangan putih. Penggambarannya mirip bagaimana para penghibur kulit hitam berpakaian yang sebenarnya. Mereka tidak termasuk dalam keluarga kulit putuh. Mereka hanyalah tukang hibur.

Gambar ini menarik perhatian publik sekitar tiga tahun lalu. Pada 2021 enam karya-karya Dr Seuss dilarang. Forbes menempatkannya di urutan kedua dalam daftar selebritas yang sudah wafat dengan bayaran tertinggi pada tahun 2020. Ini cukup memberitahu kita betapa berpengaruhnya pengarang ini.

Apakah ada yang masih ingat dengan Rudyard Kipling? Kini pebagai karyanya digambarkan sebagai rasis dan imperialis. Kipling adalah pengarang The Jungle Book. Dalam novel ini, Kipling menulis bahwa orang-orang jajahan harus menyadari inferioritas mereka. Dia meyakini bahwa semua koloni Inggris lebih rendah daripada Inggris.

Kita sadar bahwa anak-anak mudah terpengaruh. Fakta bahwa banyak dari anak-anak yang membaca karya-karya pengarang di atas menjadi keprihatinan semua. Bahan bacaan yang rasis dapat mempengaruhi pola pikir anak.

Namun demikian, melarang pengarang atau menulis ulang karya-karya pengarang bukanlah solusinya. Mereka menulis apa yang mereka anggap benar pada zamannya. Memperdebatkan apa yang mereka tulis akan menjadi langkah ke arah yang benar. Memberi anak-anak konteks yang tepat akan menjadi langkah besar berikutnya, tapi sekali lagi bukan dengan menulis ulang atau mengutak-atik novel.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.