Donald Trump telah mengumumkan lebih banyak nama yang dipilihnya untuk kabinetnya. Pertama adalah Linda McMahon, calon Menteri Pendidikan. Dia adalah mantan CEO World Wrestling Entertainment (WWE), dan dia memiliki tugas penting untuk membongkar agensinya sendiri dan mengembalikan kewenangan pendidikan kepada negara bagian.
Selama kampanye pemilihan, Donald Trump berjanji untuk menutup Departemen Pendidikan AS. Sekarang, dia telah memilih mantan CEO gulat untuk memberikan “tombstone piledriver” kepada departemen tersebut. Hal ini cukup cocok, teta Pengumuman terbaru susunan kabinet dari mantan presiden Amerika Serikat telah memicu gelombang reaksi beragam, khususnya penunjukan Linda McMahon sebagai calon Menteri Pendidikan. McMahon, yang dikenal sebagai mantan CEO World Wrestling Entertainment (WWE), sebuah perusahaan hiburan gulat profesional, mengemban tugas berat untuk membongkar departemen yang dipimpinnya dan mengembalikan kendali pendidikan ke masing-masing negara bagian.
Janji kampanye untuk menutup Departemen Pendidikan AS kini tampak akan diwujudkan dengan pemilihan figur kontroversial ini. McMahon, yang identik dengan dunia hiburan yang penuh drama dan aksi fisik, diibaratkan akan memberikan “tombstone piledriver”, sebuah jurus gulat yang menghancurkan, kepada departemen tersebut. Analogi ini, meskipun terkesan dramatis, sebenarnya mencerminkan situasi yang cukup sesuai dengan visi mantan presiden.
Namun, seperti kebiasaan yang telah dikenal publik, keputusan ini tak lepas dari kritikan tajam. Penunjukan McMahon menjadi sorotan media internasional dan memicu perdebatan publik. Berbagai pertanyaan pun bermunculan: Mengapa pilihan-pilihan kabinet mantan presiden selalu menimbulkan kontroversi? Apakah seorang presiden memiliki kebebasan absolut dalam menentukan susunan kabinetnya? Apakah penunjukan McMahon benar-benar sebuah keputusan yang absurd dan tidak masuk akal?
Mari kita telaah lebih dalam mengenai dinamika politik di balik penunjukan kontroversial ini, serta implikasi yang mungkin ditimbulkan terhadap sistem pendidikan di Amerika Serikat. Seperti biasa, Trump menghadapi kritik. Pilihannya menjadi berita besar di seluruh dunia.
Mengapa pilihan-pilihan Donald Trump memicu begitu banyak kontroversi? Apakah dia bisa memilih siapa saja yang dia inginkan? Dan apakah dia benar-benar melakukan sesuatu yang absurd?
Linda McMahon akan kembali bergabung dalam pemerintahan Donald Trump. Sosok yang tidak asing lagi dalam dunia politik Trump ini sebelumnya menjabat sebagai kepala Administrasi Usaha Kecil Amerika (SBA) pada 2016. Dalam posisi tersebut, Linda memimpin lembaga yang bertanggung jawab mendukung pengusaha kecil di seluruh negeri. Kini, dia telah dipilih untuk menduduki peran yang jauh lebih besar dan strategis: memimpin Departemen Pendidikan Amerika Serikat.
Sebagai mantan presiden dan CEO WWE, World Wrestling Entertainment, Linda memiliki latar belakang yang tidak biasa untuk jabatan tersebut. Bersama suaminya, Vince McMahon, dia membangun WWE menjadi salah satu perusahaan hiburan olahraga paling sukses di dunia. Hubungan keluarga McMahon dengan Trump juga bukan hal baru. Trump bukan hanya teman dekat keluarga mereka, tetapi juga pernah menjadi tamu selebriti di acara WWE. Salah satu momen ikonik mereka adalah ketika Trump mencukur kepala Vince McMahon langsung di atas ring, sebuah aksi yang menegaskan kedekatan personal mereka.
Kini, dengan penunjukan ini, Linda diproyeksikan untuk memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan pendidikan nasional Amerika Serikat. Namun, perjalanannya menuju posisi ini belum sepenuhnya mulus. Dia harus terlebih dahulu melewati proses konfirmasi Senat, sebuah tahap penting dalam sistem politik AS yang dapat menentukan nasibnya. Meskipun Senat dikuasai oleh Partai Republik yang mendukung Trump, konfirmasi ini tetap menjadi tantangan yang harus dihadapinya sebelum resmi menjabat sebagai Menteri Pendidikan.
Penunjukan Linda McMahon untuk posisi strategis ini menunjukkan keberanian Trump dalam memilih figur dengan latar belakang unik untuk mengisi jabatan penting dalam pemerintahannya.
Fakta bahwa Linda McMahon bukan anggota Kongres AS tidak menjadi penghalang baginya untuk diangkat ke posisi penting. Tidak menjadi masalah bahwa ia tidak memiliki rekam jejak di bidang pendidikan atau bahwa tugasnya sebagai Menteri Pendidikan nantinya adalah membongkar departemennya sendiri. Semua hal tersebut tampaknya tidak relevan dalam konteks sistem politik Amerika Serikat. Selama seorang presiden memilih kandidat untuk posisi strategis, hanya Senat AS yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak nominasi tersebut. Mengingat saat ini Senat dikuasai oleh Partai Republik, yang merupakan sekutu politik Donald Trump, peluang Linda untuk mendapatkan persetujuan sangatlah besar.
Inilah yang membuat keputusan-keputusan penunjukan Trump selalu menarik perhatian publik dan terus menjadi berita utama. Trump secara terbuka memanfaatkan celah dalam sistem politik Amerika untuk memperkuat posisinya. Sebagai presiden, ia memiliki keleluasaan besar untuk memilih siapa saja yang ia anggap cocok, bahkan jika pilihan tersebut memicu kontroversi. Tidak hanya itu, Trump dengan berani mengabaikan konvensi tradisional tentang kecakapan atau pengalaman kandidat dalam bidang tertentu, selama mereka dapat memenuhi agenda politiknya.
Misalnya, Trump menunjuk Robert F. Kennedy Jr., seorang skeptis vaksin yang kontroversial, sebagai Menteri Kesehatan Amerika. Sebagai bagian dari timnya, ia juga merekrut dokter selebriti dan pembawa acara TV, Dr. Mehmet Oz, untuk memimpin Pusat Layanan Medicare dan Medicaid (CMS), sebuah lembaga besar yang mengelola anggaran fantastis sebesar $1,4 triliun pada tahun sebelumnya.
Dr. Oz sendiri adalah seorang ahli bedah jantung berlisensi yang terkenal karena karier televisinya, tetapi ia juga menuai kritik karena pernah mempromosikan pil penurun berat badan yang tidak terbukti dan mendukung penggunaan obat antimalaria untuk melawan COVID-19. Pilihan-pilihan ini menunjukkan keberanian Trump dalam mengabaikan norma tradisional politik Amerika. Dia lebih mementingkan loyalitas dan visi bersama dibandingkan dengan kualifikasi teknis kandidatnya, yang pada akhirnya semakin menegaskan pendekatannya yang tak terduga dalam menjalankan pemerintahan.
Meskipun memiliki reputasi sebagai ahli bedah jantung yang terlatih, Dr. Oz tak luput dari sorotan tajam publik. Dukungannya terhadap pil penurun berat badan yang kontroversial dan promosi obat antimalaria untuk melawan COVID-19 telah menuai kritik luas. Para penentang mantan presiden Amerika Serikat, yang mencalonkan Dr. Oz untuk Senat, menudingnya memprioritaskan loyalitas di atas kompetensi, dan cenderung mengisi pemerintahan dengan orang-orang kepercayaannya.
Namun, pertanyaannya, sejauh mana praktik ini berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain? Apakah negara-negara demokratis lainnya selalu mengutamakan kualifikasi dan kompetensi dalam menempatkan individu pada posisi pemerintahan yang strategis?
Mari kita lihat contoh di India dan Inggris. Kriteria utama untuk menjadi anggota kabinet di kedua negara tersebut bukanlah tingkat pendidikan atau pengalaman di bidang terkait, melainkan keanggotaan di parlemen. Di Inggris, seorang calon menteri harus menjadi anggota House of Commons atau House of Lords, sementara di India, keanggotaan di Lok Sabha atau Rajya Sabha menjadi syarat mutlak.
Lebih lanjut, untuk menjadi anggota dewan rendah (House of Commons di Inggris dan Lok Sabha di India), satu-satunya kualifikasi yang diperlukan adalah memenangkan pemilihan umum. Bahkan untuk dewan tinggi (House of Lords dan Rajya Sabha), proses seleksi cenderung bersifat politis, di mana anggota biasanya ditunjuk oleh partai yang berkuasa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa politik dan loyalitas seringkali memainkan peran signifikan dalam proses pengisian jabatan pemerintahan, bahkan di negara-negara dengan sistem demokrasi yang sudah mapan. Pertanyaan tentang prioritas antara kompetensi dan loyalitas dalam konteks penunjukan pejabat publik merupakan diskursus yang kompleks dan layak untuk dikaji lebih mendalam.
Sebenarnya, sistem politik Amerika Serikat tidak terlalu berbeda dengan banyak negara lain. Namun, yang membedakan Donald Trump adalah pendekatannya yang blak-blakan. Dia dengan sengaja menghilangkan kepura-puraan yang selama ini melekat dalam dunia politik—ilusi bahwa semua politisi yang menduduki jabatan penting adalah individu yang sangat berkualifikasi. Dalam beberapa hal, Trump justru menantang norma-norma tersebut dengan memilih figur-figur yang tidak konvensional untuk menduduki posisi strategis.
Misalnya, dia menunjuk seorang mantan CEO perusahaan gulat profesional sebagai Menteri Pendidikan, seorang skeptis vaksin yang penuh kontroversi sebagai Menteri Kesehatan, dan bahkan Matt Gaetz, seorang politisi yang menghadapi tuduhan kejahatan seksual, sebagai Jaksa Agung. Langkah-langkah ini secara tidak langsung menjadi semacam kritik terhadap absurditas sistem politik itu sendiri, di mana loyalitas politik dan dukungan partai sering kali lebih penting daripada pengalaman atau kompetensi.
Pilihan-pilihan ini menciptakan efek riak yang luas, memicu diskusi global tentang sistem politik Amerika dan bagaimana seorang presiden dapat menggunakannya sesuai kehendaknya. Mungkin inilah alasan utama mengapa keputusan Trump selalu menjadi pusat perhatian dunia. Dengan setiap penunjukan yang tidak biasa, Trump tidak hanya menarik sorotan tetapi juga memperkuat citranya sebagai politisi yang tak kenal aturan dan berani mengambil jalan yang berbeda.