Jumat, Maret 29, 2024

Kontroversi “Lelaki Kardus”

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Lagu dan video “Lelaki Kardus” yang mendadak viral.

Di pengujung Ramadhan, dunia maya tanah air dikejutkan oleh sebuah lagu yang digarap secara indie. Lagu tersebut berjudul Lelaki Kardus yang dinyanyikan bocah perempuan bernama Nova Rizqi Romadhon, dan diunggah pada 28 Juni 2016 di video daring (dalam jaringan) Youtube dan mendadak viral.

Lagu ini bercerita tentang seorang anak dan ibu yang ditinggal sang ayah karena menikah lagi di daerah lain. Jika lagu ini dinyanyikan orang dewasa, mungkin tidak terlalu menghebohkan. Pasalnya, lagu ini menjadi buah bibir di media sosial karena liriknya sangat bernuansa dewasa dan tidak pantas dinyanyikan oleh bocah di bawah umur.

Sontak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak tinggal diam dan melakukan investigasi. Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menyebutkan, lirik lagu tersebut diciptakan berdasarkan kisah nyata. Mereka adalah seorang ibu dan anak di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Sebagai tindak lanjut investigasi KPAI, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengirim surat ke Google, pemilik Youtube, untuk menarik video tersebut dari situs mereka.

Hanya saja menarik video tersebut bukan solusi jangka panjang. Lagu yang dinyanyikan dek Nova merupakan pencerminan dari fakta sosial yang sangat jamak terjadi di tanah air. Kemiskinan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena yang disuarakan oleh lagu tersebut dengan lantang, dan karenanya membuka mata para netizen.

Pujian atau kecaman terhadap fenomena ini tidak terlalu bermanfaat kalau kita tidak mencari akar masalahnya. Tentu saja penelitian kualitatif dan kuantitatif merupakan metode yang paling valid untuk mengetahuinya, namun kita bisa membangun analisis deskriptif berdasarkan video dan berita yang beredar.

Kita tak dapat menutup mata dengan pergeseran paradigma yang terjadi di masyarakat kita. Setidaknya sampai tahun 90an, kita masih bisa menikmati lagu anak-anak yang memang disesuaikan dengan umur mereka. Namun, “narasi besar” musik tersebut akhirnya runtuh dengan lahirnya media sosial dan video daring.

Dalam perspektif Friedrich Nietzche, inilah dekadensi moral. Dekadensi dimulai ketika lagu anak-anak menghilang dari dunia musik Indonesia karena dianggap “tidak sesuai salera pasar” oleh produsen. Tak ada lagi musik yang mencerahkan bagi anak, seperti lagu-lagu Tasya Kamila (Libur Tlah Tiba), Enno Lerian, Kak Seto (Si Komo), dan Trio Kwek-Kwek. Anak-anak akhirnya teralineasi ke dalam kegalauan dunia orang dewasa dan mengalami gangguan psikologis dengan menjadi dewasa lebih cepat.

Hal ini juga dimanfaatkan oleh musisi yang selama ini tidak mendapat akses pada media arus utama. Dengan perkembangan teknologi informasi, mereka dapat menyebarluaskan karya mereka tanpa harus tergantung jalur distribusi karya cipta yang konvensional.

Menurut ahli hukum Elsa R. M. Toule, salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian adalah kemiskinan. Hal tersebut bisa dikaji dari lirik lagu Lelaki Kardus, di mana kemiskinan memperparah semuanya: sang ayah meninggalkan keluarganya untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Secara struktural, tak semua orang beruntung mendapatkan pekerjaan stabil di era “super kapitalisme” ini. Ditilik dari paradigma Marxian, selama kapitalisme masih berkuasa, exploitation l’homme par ‘l’homme’ (eksplotasi sesama manusia), akan terus terjadi.

Fenomena “anak sebagai pekerja dan korban” tak hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara berkembang, seperti di Amerika Latin dan Tiongkok, juga mengalaminya. Bahkan di negara maju, kita pernah mengenal Shirley Temple, seorang bintang film anak di Amerika. Anak, yang seharusnya mendapat pendidikan dan hiburan yang baik pada masa perkembangannya, justru harus bekerja dan menyuarakan dunia orang dewasa. Dengan kata lain, anak teralineasi dari dunianya sendiri.

Fenoma eksploitasi anak yang merupakan ekses dari hiperkapitalisme ini seharusnya dapat dimitigasi atau dihilangkan jika keadilan sosial terjamin. Kita punya sila kelima dari Pancasila, namun implementasinya pada kehidupan sosial-kemasyarakatan kita masih jauh panggang dari api.

Solusinya sebenarnya ada dan sudah pernah diutarakan Bung Hatta, yang terpesona ideologi politik-ekonomi negara-negara Skandinavia. Bung Hatta menginginkan Indonesia menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Dalam perspektif ini, seorang insan akan mendapat perlindungan dan jaminan dari negara, mulai dari kelahiran sampai kematiannya. Tentu salah satu fiturnya adalah perlindungan hak anak untuk bersekolah dan tunjangan untuk keluarga dan anak.

Swedia juga punya Astrid Lidgren, yang banyak mengarang cerita untuk anak. Kita tidak bisa menutupi fakta bahwa pemerintah telah berusaha untuk ke arah tersebut dengan berbagai macam program, misalnya dengan revitalisasi program KB, pembangunan infrastruktur, BPJS, wajib belajar, dan lain-lain. Hanya, berdasarkan data Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, selama lima tahun terakhir ini kesenjangan sosial justru naik terus. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin merambat naiknya Koefisien Gini dari 0.35 ke 0.43, dan bahkan ke 0.45 di daerah tertentu.

Dengan demikian, pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla memang harus bekerja lebih keras untuk mengoptimalkan program kesejahteraan bagi masyarakat. Secara implisit, lagu Lelaki Kardus yang meluncur dari bibir mungil dek Nova menyuarakan ketimpangan tersebut. Karena sangat jelas sang ayah pergi ke daerah lain untuk mendapatkan “potongan kue” penghasilan yang lebih baik.

Selain optimalisasi program kesejahteraan, kita juga tahu bahwa salah satu instrumen untuk mengalahkan kemiskinan adalah dengan pendidikan. Ini menjadi wake up call bagi pemerintah agar prioritasnya dalam bidang infrastruktur juga diimbangi dengan pendidikan.

Membangun infrastruktur fisik tidak akan tepat sasaran jika pendidikan tidak dioptimalkan. Dalam sejarah, kendati untuk kepentingan kolonial, pemerintah Hindia Belanda dulu selalu mensinkronkan pembangunan infrastruktur dengan pendidikan. Pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan kereta api dan tram untuk transportasi komoditas mereka. Tapi itu dibarengi dengan pembangunan sekolah dan perguruan tinggi seperti STOVIA (sekarang UI) dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang ITB) untuk mencetak ambtenaar yang mengelola jajahan mereka.

Program ini dilanjutkan oleh Orde Lama dan Orde Baru, yang tetap mensinkronkan kedua hal tersebut dalam program pembangunan. Orde Lama membangun perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Akademi Dinas Ilmu Agama (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) di Jakarta dan Universitas Andalas di Padang.

Seolah tak mau kalah, Orde Baru membangun Universitas Sebelas Maret dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Solo dan sekolah-sekolah lainnya (SD-SMA). Yang menarik, semua itu ditempuh dengan biaya SPP yang sangat murah. Dengan demikian, golongan yang tidak mampu dapat memperoleh pendidikan yang baik.

Sinkronisasi program infrastruktur dan pendidikan merupakan upaya Orde Lama dan Orde Baru dalam memerangi kemiskinan, yang hari ini disuarakan dengan lantang lewat lagu Lelaki Kardus. Pemerintah Jokowi-JK tentu perlu mendengarkan lirik dalam lagu ini agar tujuan keadilan sosial perlahan bisa tercapai. Dengan begitu, lagu seperti Lelaki Kardus tidak akan pernah kita dengar lagi.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.