Usamah bin Ladin (Al-Qaidah) dan Abu Bakr Al-Baghdadi (ISIS). iraqinews.com
Apa yang membuat Al-Qaidah mampu bertahan lebih dari dua dekade menghadapi gempuran kontraterorisme global?
Banyak kalangan memprediksi kelompok ini telah kehilangan pamor karena dua hal. Pertama, ketika Usamah bin Ladin sebagai pucuk pimpinan tandzim (organisasi) tewas dalam penggerebekan di Abottabad, Pakistan, pada 2011 silam. Kedua, munculnya organisasi Negara Islam atau Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) yang pada 2014 mendeklarasikan “Khilafah”.
Tampaknya Al-Qaidah telah memanfaatkan anggapan dunia yang belakangan ini meremehkannya. Al-Qaidah terbukti mampu mengatasinya dengan mengubahnya menjadi sebuah keuntungan.
Jika Anda berpikir bahwa pembunuhan Usamah bin Ladin akan melemahkan Al-Qaidah, maka jelas itu salah. Al-Qaidah bukanlah kelompok teroris sederhana yang dapat sepenuhnya kalah hanya dengan membunuh atau menahan pucuk pimpinannya.
Begitu juga dengan kemunculan ISIS. Al-Qaidah memanfaatkan perhatian masyarakat internasonal yang terlalu fokus pada ISIS sehingga gerakan Al-Qaidah luput dari perhatian. Situasi seperti ini juga terjadi di Indonesia, di mana fenomena ISIS telah menyita perhatian publik. Pemerintah gencar memblokir situs-situs propaganda ISIS, sementara situs-situs pro-Al-Qaidah luput dari pemblokiran.
Kemunculan ISIS yang selalu mengiklankan kebrutalan dijadikan momentum Al-Qaidah dan pengikutnya untuk membersihkan citranya sebagai kelompok ekstrim yang menodai wajah Al-Qaidah selama ini. Pendukung Al-Qaidah mendompleng barisan kontra-ISIS ikut serta mengecam ISIS sebagai kelompok takfiri (gampang mengkafirkan) dan melabelinya sebagai Neo-Khawarij (sekte ekstrim).
Fenomena ISIS yang mem-branding dirinya dengan kekerasan ibarat propaganda gratis bagi Al-Qaidah untuk menegaskan perbedaan kelompok jihad yang asli dan kelompok jihad gadungan, demi memperoleh simpati dan pengaruh yang lebih besar.
Anggapan bahwa Al-Qaidah mulai melemah dan kehilangan pengaruhnya, sekali lagi, itu jelas keliru. Memang, dinamika ISIS yang berkembang belakangan ini telah mendominasi pemberitaan, namun itu bukan berarti Al-Qaidah telah melemah.
Di Afghanistan, Al-Qaidah masih bersekutu dengan Taliban dan berpartisipasi dalam pemberontakan yang dipimpin Taliban di seluruh negeri. Kehadiran ISIS di Afghanistan yang menjajaki Taliban agar melebur bersamanya justru mendapat penolakan bahkan perlawanan sengit dari Taliban. Taliban tetap memilih bersekutu dengan Al-Qaidah, meskipun Usamah bin Ladin telah lama tiada.
Begitu pun sebaliknya, Al-Qaidah di bawah pimpinan Ayman Ad-Dzawahiri selaku penerus Usamah juga menjaga komitmen aliansi dengan Taliban, meski petinggi Taliban Mullah Umar juga telah tiada. Ayman Ad-Dzawahiri bahkan memperbarui ikrar setia (baiat) kepada pemimpin baru Taliban, Mullah Akhtar Muhammad Mansur. Kedua kelompok tersebut berhasil menciptakan sinergi yang saling mendukung.
Di Somalia, upaya ISIS mengincar militan terkuat bernama Al-Shabaab untuk bergabung juga gagal. Al-Shabaab menolak menjadi bagian dari kekhalifahan ISIS dan memilih tetap setia bersama Al-Qaidah. Dan di Suriah, kelompok Jabhat Nusrah juga memilih berbaiat kepada pimpinan Al-Qaidah daripada tunduk pada ISIS. Bahkan Jabhat Nusrah ditetapkan menjadi cabang Al-Qaidah di Syam (Suriah).
Sementara itu, cabang regional Al-Qaidah di Semenanjung Arab (AQAP) yang beroperasi di Yaman, berhasil mengambil keuntungan dari perang saudara pemberontakan Houthi dan intevensi negara-negara teluk. AQAP telah mengisi kekosongan pemerintahan dengan mengontrol beberapa daerah di Yaman Selatan.
Kelompok AQAP inilah yang berada di balik serangan bersenjata di kantor majalah satire Charlie Hebdo di Paris (Januari 2015) yang menggemparkan dunia. AQAP didirikan pada 2006 hasil merger dua sayap militan Al-Qaidah di Yaman dan Arab Saudi. Sayap Al-Qaidah di kawasan Maghrib (Afrika Utara dan Barat) yang dikenal dengan AQIM hinggaa kini tetap solid. Bahkan pada September 2014 Al-Qaidah meresmikan cabang regional di anak benua India yang dikenal dengan AQIS.
Al-Qaidah juga terus memperluas pengaruhnya di sejumlah negara di Afrika Utara, seperti di Al Jazair, Libya, Tunisia, Mesir, dengan menggunakan wajah organisasi Anshar Syariah untuk kegiatan menyebarluaskan pemikiran hingga perekrutan. Bahkan Anshar Syariah di Libya efektif menjadi militan bersenjata yang mengontrol wilayah sejak negara ini jatuh dalam perang saudara.
Al-Qaidah terbukti mampu menjaga cabang regional dan sekutunya di belahan dunia tetap kompak bersamanya. Tidak satu pun dari cabang-cabang Al-Qaidah yang secara resmi membelot ke ISIS.
Dalam kontestasi memimpin jihad global ISIS belum mampu menggeser posisi Al-Qaidah. Al- Qaidah memiiki cabang lebih merata dan kehadirannya lebih diterima oleh kelompok jihad lokal. Al-Qaidah punya pendekatan yang berbeda dengan ISIS. Al-Qaidah tidak pernah memaksa kelompok-kelompok jihad lainnya untuk berbaiat kepadanya, sedangkan ISIS menyeru sampai pada taraf mengancam.
Al-Qaidah mengedepankan prioritas mengejar tujuan jangka panjang dan meninggalkan kemenangan jangka pendek yang sulit dipertahankan. Kelompok Al-Qaidah bisa berjuang berdampingan dengan kelompok yang berbeda, seperti di Suriah, Libya atau di Afghanisan. Berbeda dengan ISIS yang memerangi siapa pun.
ISIS dan Al-Qaidah sama-sama berusaha menerapkan hukum syariat (sesuai pemahaman masing-masing). Perbedaannya, Al-Qaidah pada umumnya menghindari dokumentasi dan lebih fokus pada implementasi. Adapun ISIS secara vulgar mengiklankan pemenggalan, amputasi, membakar orang hidup-hidup, melindas orang dengan tank, melempar orang dari gedung. ISIS pun dijauhi dan jadi musuh bersama di mana-mana.
Kontraterorisme yang dulu dialamatkan ke Al-Qaidah kini bergeser ditujukan ke ISIS. Jadi, peluang Al-Qaidah untuk bertahan dan menyebarluaskan pengaruhnya kini lebih leluasa dibanding sebelumnya. Ini perlu diwaspadai.