Sekitar kurang dua tahun lalu, penulis memenuhi permintaan untuk berbicara tentang ‘kebangkitan konservatisme agama’ di Indonesia. Yang pertama adalah ceramah umum di depan sejumlah mahasiswa Pascasarjana dan dosen-dosennya di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Tajuk ceramah yang disampaikan dalam bahasa Inggris itu: ‘Rising Religious Conservatism in Indonesia: Socio-cultural, Economic and Political Impacts’.
Kesempatan kedua adalah wawancara sebuah media internasional, yang menurunkan laporan tentang berbagai aspek kehidupan agama di Indonesia menjelang peringatan hari kemerdekaan RI 74 tahun, 17 Agustus 2019. Salah satu bagian panjang dari wawancara itu adalah tentang ‘kebangkitan konservatisme agama dan dampaknya terhadap Indonesia hari ini dan ke depan’.
Conservative Turn
Apa yang ada dalam pikiran kedua pihak yang meminta saya berbicara tentang ‘kebangkitan konservatisme agama’? Dari proposal dan kerangka berpikir dan pertanyaan yang mereka ajukan terlihat bahwa ‘konservatisme agama’ yang mereka maksudkan tidak lain adalah ‘konservatisme Islam’.
Juga ada nada kecemasan yang cukup tinggi tentang masa depan Indonesia dalam ungkapan mereka ketika berbicara tentang kebangkitan ‘konservatisme Islam’ di negeri ini. Dalam pandangan mereka, Indonesia yang bersatu, rukun, damai dan harmonis dalam keragaman keagamaan, mungkin hanya tinggal kenangan dalam beberapa waktu ke depan.
Wacana tentang kebangkitan konservatisme Islam Indonesia juga telah menjadi agenda kajian di kalangan Indonesianis dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian mereka menyebut gejala atau fenomena tersebut sebagai ‘conservative turn’, berpaling atau membelok menjadi konservatif. Lazimnya gejala conservative turn itu mereka kaitkan dengan dinamika politik, khususnya Pilkada DKI 2017-2018 dan Pilpres 2019.
Persepsi tentang fenomena kebangkitan konservatisme Islam semacam itu boleh jadi mencerminkan adanya ‘prasangka’ (prejudice) dan bias terhadap Islam dan sekaligus kaum Muslimin Indonesia; walaupun yang memiliki persepsi seperti itu juga banyak kalangan Muslim Indonesia sendiri. Dengan berbaik sangka, boleh jadi prejudice dan bias itu karena mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang dinamika Islam Indonesia dengan kaum Musliminnya yang begitu banyak.
Oleh karena itulah perlu kesabaran dan ketekunan menjelaskan berbagai fenomena agama di Indonesia—termasuk Islam. Dengan begitu, dapat diperoleh pandangan lebih adil dan jauh dari bias dan prasangka.
Dalam pengamatan dan kajian lebih cermat, kebangkitan konservatisme agama di Indonesia sebenarnya tidak menyangkut hanya Islam. Konservatisme dapat dikatakan melanda semua agama, khususnya enam agama yang disebut sebagai ‘agama-agama yang diakui negara’ (state– recognized religions) atau kadang-kadang disebut ‘agama-agama yang dilayani negara’ (state-served religions) yaitu: Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Gejala peningkatan konservatisme di kalangan penganut masing-masing agama bisa dicermati dalam contoh-contoh berikut. Ada kalangan agama tertentu yang sangat agresif dalam menyebarkan agamanya, merekrut penganut agama dan denominasi intra-agamanya. Pihak agresif ini percaya denominasinya sebagai satu-satunya kebenaran; karena itu pengikut agama lain atau denominasi lain harus dibawa ke satu-satunya jalan keselamatan. Dalam kasus semacam ini sering terdengar ungkapan: “Domba gembalaan kami telah dicuri pihak lain”.
Ada pula agama lain yang melarang penggunaan bahasa tertentu khususnya bahasa Sanskerta oleh penganut agama lain. Penganut agama ini, yang memperlihatkan peningkatan konservatisme percaya, bahasa Sanskerta sebagai hak istimewa (privelege) agama mereka, yang tidak boleh digunakan penganut agama lain.
Dengan peningkatan konservatisme yang melintasi batas-batas berbagai agama (across the board), pengamat bisa menyakasikan adanya fenomena penganut agama yang merasa ‘lahir kembali’. Misalnya ada penganut agama yang merasa menjadi ‘born again Christian’. Gejala semacam itu juga ada di kalangan Muslim, sehingga memunculkan ‘born again Muslim’.
Para penganut agama yang merasa lahir kembali dalam agamanya masing-masing, lazim mengalami turning point (titik balik) dalam pengalaman keagamaan. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya titik balik itu, baik intraagama, maupun yang terkait dengan sosial-budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.
Religious Conservatism Defined
Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang makna konservatisme agama. Dalam wacana akademik, konservatisme agama sering disebut ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’ yang berarti pemahaman dan praktek agama konservatif yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, ortodoksi dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar.
Penulis selain menggunakan istilah ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’, juga menggunakan istilah ‘neo-conservatism’. Dalam kerangka istilah terakhir ini, neo-konservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.
Terlepas dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktek agama berdasarkan perkembangan moderen tertentu. Konservatisme agama misalnya menolak gejala moderen seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.
Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik sangat cepat dan berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praksis keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.
Secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respon dan reaksi terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan krisis politik.
Menghadapi keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan menempuh jalan konservatisme agama. Gejala ini pada spektrum ekstrim sering juga muncul dalam bentuk ‘fundamentalisme agama’—yang dalam perkembangannya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.
Dalam perkembangan inilah muncul politik identitas yang sangat kental bernuansa agama; bersikap anti terhadap agama tertentu dan juga anti terhadap penganut agama tertentu. Gejala politik identitas ini tegasnya terlihat muncul dalam sikap anti-islam dan anti-Muslim di kalangan politisi dan kelompok masyarakat tertentu di sejumlah negara Eropa dan AS.
Sedangkan di negara-negara tengah berkembang atau bahkan masih terkebelakang di Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan, konservatisme agama muncul di kalangan masyarakat karena mereka memandang adanya kegagalan modernitas, sekularisme, pembangunan, dan globalitas dari pemerintah masing-masing, Tak kurang pentingnya, juga karena mereka memandang kegagalan negara dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan para warganya.
Dengan demkian, sekali lagi, konservatisme agama bukan hanya melanda satu agama atau penganut agama di satu negara atau wilayah tertentu. Kebangkitan konservatisme agama sudah menjadi fenomena global dalam lebih tiga dasawarsa terakhir.
Fenomena Konservatisme Agama di Indonesia
Di Indonesia, gejala konservatisme agama terlihat pada seluruh agama yang diakui atau dilayani negara—Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi karena Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya atau the single largest religion di Indonesia, kebangkitan konservatisme itu paling terlihat di kalangan kaum Muslimin.
Bagi banyak pengamat Islam Indonesia, gejala peningkatan konservatisme keagamaan (Islam) paling jelas terlihat dari terus meluasnya pemakaian jilbab. Bagi banyak pengamat, semakin meluasnya pemakaian jilbab mengandung berbagai implikasi negatif terhadap masa depan negara-bangsa Indonesia dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Para pengamat tersebut umumnya tidak bisa membedakan berbagai bentuk jilbab sejak yang sederhana. Atau jilbab fashionable yang sering disebut sebagai ‘hijab’ di kalangan perempuan Muslimah kelas menengah sampai pada jilbab ideologis.
Selain itu, mereka juga melihat meningkatnya adopsi gaya hidup yang ditolak modernitas seperti poligami. Atau meningkatnya gaya hidup halal atau berbasis syari’ah. Bahkan juga yang lebih berorientasi politik pada pembentukan khilafah atau dawlah Islamiyah. Adanya kebangkitan konservatisme penganut agama atau kelompok umat berbagai agama di Indonesia adalah fenomena yang sangat observable, bukan hanya oleh ahli, tapi orang awam sekalipun. Sekali lagi fenomena itu paling terlihat pada para penganut Islam; dan ini tak lain terkait dengan realitas demografis, mayoritas penduduk Indonesia (menurut sensus 2010, 87,18 persen) adalah beragama Islam.
Sebelum bicara lebih jauh tentang ‘kebangkitan konservatisme’ di kalangan umat Islam, penting ditekankan, fenomena ini pada dasarnya merupakan bagian integral dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan, khususnya sejak akhir 1970an. Dinamika itu dapat disebut sebagai terus meningkatnya ‘santrinisasi’—menjadi ‘santri’ dengan menjadi Muslim yang menjalankan ajaran Islam (practising Muslims).
Gejala peningkatan santrinisasi itu oleh sebagian Indonesianis, seperti Profesor M.C. Ricklefs, ahli sejarah Indonesia, khususnya Jawa, menyebutnya sebagai ‘Islamisasi’. Fenomena yang penulis sebut sebagai ‘santrinisasi’, dalam pandangan Ricklefs adalah ‘Islamisasi’, yang di Jawa—dan juga di Indonesia secara keseluruhan—telah berlangsung secara kontinu dan intens lebih dari enam abad. Bisa dipastikan, proses itu terus berlanjut dewasa ini ini dan di masa depan. (Bersambung)
Bahan Kajian Titik Temu Nurcholish Madjid Society/NCMS, 17 November 2020.