Diskursus komunisme secara instan mengibarkan trauma historis di Indonesia. Dalam artikel Franz Magnis-Suseno, “Komunisme Memang Gagal” (Kompas, 9 Juli 2020), ditegaskan, komunisme kini muncul sebagai senjata politik yang ingin menggoyahkan Jokowi, setidaknya itulah maksud Romo Magnis. Dibalik maksud itu, ada beberapa tanggapan terkait gagalnya komunisme ala Magnis-Suseno.
Magnis-Suseno mengutarakan pendapatnya terkait TAP MPRS Nomor XXV/1966 yang pernah ingin dicabut oleh Presiden Abdurrahaman Wahid. Romo Magnis menegaskan kekuatan simbolis dari TAP MPRS Nomor XXV/1966 sebagai simbol bahwa tidak ada tempat untuk komunisme di Indonesia. Secara hermeneutis, pembaca opini Magnis berpotensi terjebak dalam literalisme, suatu cara baca harafiah yang mengabaikan hermeneutika.
Komunisme sebagai kritik
Secara fenomenal, komunisme memang gagal. Bahkan Romo Magnis mengatakan ide-ide komunis sudah mati dan tidak ada orang yang tertarik dengan ide kuno tersebut. Namun, apakah secara epistemis komunisme betul-betul sudah mati? Selama liberalisme dan kapitalisme masih hidup dan sistem pasar yang menciptakan jurang si miskin dan si kaya, maka komunisme akan selalu menghantui.
Komunisme akan selalu hidup sebagai kritik terhadap kapitalisme, sebagai kulminasi ketidakpuasan rakyat kecil yang tertimpa ekses eksploitatif kapitalis. Romo Magnis benar ketika mengencam mereka yang “tidak bonafide” mendalilkan komunisme kepada Jokowi untuk menyerangnya. Tetapi selama kapitalisme terus memberikan kekayaan kepada segelintir orang dan kemiskinan kepada sekian banyak pekerja, hantu komunisme akan terus ada sebagai kritik.
Matinya ide-ide komunis dalam opini Magnis-Suseno sebenarnya tertuju pada Marxisme-Leninisme yang amat dogmatis dan kaku sebagaimana dipermak oleh kubu komunisme. Dogmatisasi ajaran Karl Marx diklaim sebagai satu-satunya teori yang menjelaskan segala-galanya. Kecongkakan ontologis tersebutlah yang mendasari Magnis-Suseno untuk membuat pernyataan bahwa ramalan Marx tentang keruntuhan Kapitalisme meleset.
Walaupun menurut Magnis-Suseno ramalan Marx meleset, namun Marx adalah Filosof yang berani untuk menangkap masa depan. Andre Glucksmann menyatakan bahwa sejarah yang diceritakan semua ahli adalah sejarah permulaan mutlak, dan Karl Marx adalah orang pertama yang menceritakannya sebagai sejarah masa depan.
Bahkan Magnis-Suseno sendiri mengakui bahwa Marxisme yang dibaca secara terbuka dan kritis dapat memberikan inspirasi kepada manusia yang tidak bersedia menerima eksploitasi dan penindasan orang-orang kecil oleh mereka yang kaya (Magnis-Suseno, 2013:4).
Terlepas dari klaim Marxisme yang dogmatis, antropologi Marxisme secara ontologis merupakan kritik terhadap ketidakadilan sebagai ekses dari kapitalisme. Marx mengafirmasi fenomenologi Hegel yang menangkap hakikat pekerjaan manusia. Menurutnya pekerjaan adalah perwujudan diri manusia dan kapitalisme menyebabkan keterasingan manusia dari pekerjaannya sendiri.
Meciptakan keadilan antara si kaya dan si miskin secara teleologis adalah basis mengapa orang-orang masih tertarik dengan “ide-ide kuno” tersebut. Jadi, yang mati adalah dogmatisasi dan kecongkakan epistemis dari Marxisme yang mendasari ideologi komunisme internasional. Kritik Marxisme terhadap ketidakadilan dan eksploitasi para kaptalis tidak akan pernah mati.
Pancasila sebagai sintesis
Secara historis komunisme dan liberalisme di Indonesia sudah menjadi hidangan khas dalam ranah ekonomi-politik. Para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Soepomo sudah lama bergulat dengan komunisme dan liberalisme. Kemerdekaan bangsa Indonesia ada dalam suasana perang kedua ideologi tersebut. Bukanlah tugas mudah bagi para pendiri bangsa untuk menentukan ideologi yang betul-betul cocok dengan watak original Indonesia.
Ideologi Indonesia bukan liberalisme maupun komunisme namun tidak bisa serentak mendiskreditkan kedua ideologi tersebut. Bagaimanapun Indonesia menemukan ideologinya dalam alur yang dialektis dengan komunisme dan liberalisme, yaitu Pancasila. Liberalisme dan komunisme ialah tesis dan anti-tesis dan Pancasila adalah sintesis. Secara historis, ketiganya berhubungan secara dialektis.
Liberalisme dan komunisme memang ideologi impor namun hak asasi manusia yang menjadi senjata Reformasi harus diakui lahir dari liberalisme dan sikap-sikap batin seperti kekeluargaan dan musyawarah ala Soepomo lahir dari komunisme-organis yang merupakan kritik terhadap sikap individualistis kaum liberal.
Pancasila menjadi ideologi yang menampung aspirasi positif sekaligus menolak keterasingan dari komunisme dan liberalisme. Jika dikatakan di Indonesia ide-ide komunisme sudah mati, pernyataan demikian secara otomatis mengingkari kemampuan Pancasila dalam menolak ekses liberalisme dan kapitalisme. Bagaimanapun juga Marxisme yang dibaca secara terbuka dan kritis dapat menjadi senjata dalam menampik rayuan dangkal para kapitalis.
Pancasila menjadi ideologi yang merepresentasikan Indonesia secara default, tidak totaliter dan juga tidak individualistik. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi membaca setiap pernyataan Magnis-Suseno tentang kematian komunisme tidak boleh terlepas dari hermeneutika. Tidak adanya basis hermeneutis akan membawa pembaca pada jebakan literalisme, yaitu tahap paling rendah dalam memahami secara tekstual. Di Indonesia, komunisme memang sudah mati namun “komunalisme” tetap akan hidup.