Mana bukti menjadikan Jawa Tengah “Ijo Royo-royo” dan “Ora Ngapusi”?
Perempuan-perempuan di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Rembang, sudah 447 hari lebih bertahan di tenda perjuangan, tapak pabrik semen PT Semen Indonesia. Mereka adalah petani, yang dari kakek-nenek mereka mewariskan tanah untuk ditanami. Mereka kepanasan, kedinginan, dan kehujanan. Mereka dipukul, ditendang, diintimidasi, dan diteror oleh aparat kepolisian dan preman.
Yang mereka lakukan adalah untuk mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng Utara dari rencana pertambangan karst yang mengancam hilangnya sumber mata air dan kehidupan mereka sebagai petani. Mereka tidak ada alasan lain, hanya ingin Jawa Tengah sebagai lumbung pangan, bukan untuk tambang. Seperti janji Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo “Menjadikan Jawa Tengah Ijo Royo-royo dan Ora Ngapusi”.
Tujuh bulan lamanya mereka berjuang lewat jalur hukum. Menggugat surat keputusan gubernur tentang izin pendirian pabrik dan pertambangan semen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Setiap hari sidang, pukul dua dini hari mereka bangun. Memasak untuk anak dan suami, sebelum berangkat ke Semarang untuk menghadiri sidang. Duduk dan berimpitan di bak truk selama enam jam, hanya untuk alasan mencegah bencana ekologi terjadi suatu saat nanti.
Walaupun dalam persidangan warga sudah mengajak hakim, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan melakukan sidang ke lapangan, untuk membuktikan adanya kebohongan data di dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), putusan hakim benar-benar mengesampingkan nilai keadilan, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan tidak sama sekali membahas pokok perkara.
Hakim memutus gugatan warga tidak diterima atau “NO”, hanya karena batas waktu gugatan sudah melewati tenggat waktu.
Mereka tidak sedih dan tidak gentar atas putusan hakim. Mereka hanya kecewa pada hakim dan gubernur mereka. Janji yang dulu terucap, hanya manis di bibir namun pahit dirasakan rakyatnya. Janji akan selalu manis terucap, namun ingkar akan mudah dilakukan.
Tidak hanya di Rembang. Di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Kabupaten Pati, 2.025 hektare lahan karst akan ditambang untuk pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahan PT Indocement. Jika tambang semen tetap berdiri, maka empat desa akan terdampak langsung dari dua kecamatan. Namun, ada tujuh desa lain yang terdampak dari hadirnya pabrik semen, yakni dampak pada air bagi kebutuhan warga sehari-hari, air untuk hewan ternak dan lahan pertanian.
Saat ini mereka sedang menggugat keputusan Bupati Pati yang memberikan izin pertambangan PT SMS di PTUN Semarang. Alasannya sama seperti warga Rembang: untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng, menjaga lahan pertanian dan sumber air.
Mereka juga ingat janji Gubernur yang mereka pilih saat kampanye tahun 2013 lalu, “menjadikan Jawa Tengah Ijo Royo-royo dan Ora Ngapusi”. Namun, realisasi tersebut masih jauh, bahkan sulit terwujud. Industri lebih dipermudah atas nama kepentingan ekonomi dan investasi tanpa merealisasikan janji dan ekologi.
Begitu juga dengan petani di Pesisir Selatan, tepatnya di Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Sudah berpuluh tahun mereka berkonflik dengan aparat tentara. Diintimidasi, diteror, dan dipukul. Bahkan pada Sabtu, 22 Agustus 2015 lalu, lahan pertanian mereka dirusak, beberapa dari mereka dilarikan ke rumah sakit hingga harus dioperasi, hanya demi mempertahankan lahan pertanian.
Semua yang terjadi di Rembang, Pati, dan Kebumen hanya sebagian dari konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah. Masih banyak lagi persoalan yang dihadapi petani yang berjuang mempertahankan lahan pertanian mereka. Seperti petani di Kabupaten Batang yang lahannya akan hilang untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, yang diklaim terbesar di Asia Tenggara, dan petani-petani lainnya yang persoalannya belum ter-blowup oleh media.
Tentu tidak akan sulit bagi seorang gubernur untuk merealisasikan janji-janjinya kepada rakyat yang ia pimpin. Selama dari awal niat menjadi pemimpin untuk mengabdi dan mensejahterakan rakyat tentu akan mudah terpenuhi. Seperti satu saja janji Gubernur Ganjar Pranowo, yakni menjadikan Jawa Tengah “Ijo Royo-royo”, masih berkelit ketika ditagih rakyatnya untuk mewujudkannya. Bukankah upaya tersebut merupakan bentuk upaya membohongi (ngapusi) rakyat yang mayoritas bekerja sebagai petani.
Gubenur tentu punya kewenangan yang jelas, tegas, dan bisa diselaraskan untuk menepati janji kampanyenya dulu. Ia bisa mendesak PT Semen Indonesia berhenti sejenak membangun pabrik semen hingga ada keputusan pengadilan yang tetap. Ia bisa memanggil Panglima Komando Daerah Militer IV Diponegoro untuk menghukum anggotanya yang melakukan pemukulan terhadap rakyatnya di Urutsewu, Kebumen.
Ia bisa melihat langsung kekayaan sumber air dan hasil tani warga di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Pati. Itu semua jika ia masih ingin mewujudkan janji kepada rakyat yang ia pimpin saat ini.
Para petani yang berjuang menjaga lahan tani mereka saat ini tentu yakin bahwa dengan bertani bisa mensejahterakan mereka dan mencukupi kebutuhan pangan warga lainnya. Mereka masih menunggu janji itu terbukti, namun mereka juga terus berjuang menjaga lahan yang akan dirampas atas nama kepentingan investasi. Sebab, bagi mereka, tanah untuk ditanami, bukan selalu untuk dibanguni pabrik.
Dan nasib petani di Jawa Tengah saat ini dan mendatang ada di tangan seorang gubernur yang sudah berjanji untuk tidak “ngapusi”, dan “Ijo Royo-royo” dapat terwujud. Mari selamatkan kaum tani!