Dua petugas berusaha memadamkan api yang membakar hutan dan lahan di Sumatera tahun lalu (ilustrasi). ANTARA FOTO
2 Agustus 2015 adalah hari yang bersejarah. Pemberlakuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), yang akan menjadi panduan pembangunan global mulai 2016 hingga 2030, telah ditetapkan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Memang, seremoninya masih akan terjadi pada 25-27 September 2015. Tetapi, substansi dari SDGs telah dinyatakan final. Dengan demikian, pengganti dari Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) itu sudah bisa kita pelajari bersama.
Berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyambut gembira finalisasi teks SDGs yang komprehensif itu. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa negeri ini tidak sukses mewujudkan MDGs. Meski diberi kesempatan selama 15 tahun, Indonesia tak bisa mencapai delapan tujuan MDGs secara memuaskan. Karena itu, beragam rekomendasi kemudian diberikan oleh organisasi masyarakat sipil kepada pemerintahan Joko Widodo.
Pertama, Jokowi diminta hadir di New York untuk menunjukkan secara simbolis bahwa kali ini Indonesia memang serius hendak melaksanakan SDGs. Bagaimanapun kedatangan Jokowi di New York akan menguatkan posisi SDGs sebagai tujuan pembangunan yang formal.
Kedua, Jokowi diminta untuk memastikan bahwa pencapaian SDGs dimasukkan ke dalam rencana pembangunan. Sangat penting untuk kita bisa melihat bahwa pembangunan bukan sekadar ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi, melainkan juga beragam tujuan sosial dan lingkungan.
Ketiga, Jokowi diminta membuat sekretariat bersama SDGs Indonesia, yang beranggotakan para pemangku kepentingan pembangunan berkelanjutan, dan sekretariat itu menjadi organisasi yang memastikan pencapaian tujuan-tujuan SDGs tersebut.
Tuntutan-tuntutan tersebut sangat masuk akal. MDGs sulit dicapai karena tidak secara formal dijadikan sebagai fokus pembangunan. Dengan tidak menjadi fokus itu, pencapaiannya tak didukung oleh sumber daya yang memadai.
Pembangunan yang terlampau sibuk dengan tujuan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi membuat aspek sosial dan lingkungan–yang menjadi mayoritas tujuan MDGs–terabaikan. Baru beberapa tahun belakangan saja pemerintah tampak lebih sibuk mengurusinya. Tapi, semuanya sudah terlambat, dan beberapa tujuan tak bisa dicapai.
Pemerintahan Jokowi terancam mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi kalau mereka berpikir bahwa pencapaian tujuan SDGs masih lama diukurnya. Walau ada beberapa tujuan yang ditetapkan untuk tahun 2020, sebagian besar memang akan dilihat pencapaiannya pada tahun 2030.
Jokowi bisa memilih untuk mengabaikan SDGs dan berkonsentrasi pada moda pembangunan yang tak berkelanjutan, seperti selama ini sangat mendominasi Indonesia. Bukankah kalau ia berkuasa hingga 2019, maka tak perlu melaporkan kemajuan apa pun?
Tetapi, kalau memang berkomitmen mengantarkan Indonesia ke kondisi masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang, Jokowi punya pekerjaan sangat berat. Sebab, ada beberapa hal yang kondisinya sudah telanjur berat yang ia warisi dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Ia sendiri juga membuat kebijakan yang membahayakan keberlanjutan, sehingga perlu membalik semua itu kalau memang SDGs ingin dicapai.
Pertama, salah satu dosa warisan terberat yang Jokowi harus pikul adalah epidemi rokok. Pada tahun 2009 Departemen Perindustrian mengeluarkan Roadmap Industri Pengolahan Tembakau. Di situ dinyatakan bahwa mulai tahun 2015 jumlah batang rokok yang diproduksi di Indonesia adalah 260 miliar per tahun, hingga tahun 2025. Mulai tahun ini pula dinyatakan bahwa fokus dalam Roadmap adalah kesehatan, setelah pada periode sebelumnya yang menjadi perhatian adalah ketenagakerjaan dan pendapatan.
Kenyataannya—lantaran pemerintah sebelumnya tak menegakkan Roadmap tersebut—kini produksi rokok telah 100 miliar melampaui apa yang ditargetkan. Kesehatan jauh dari pertimbangan, demikian juga dengan dampak produksi dan konsumsi rokok yang lain. Di SDGs sendiri sangat jelas termaktub penegakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Jadi, kalau pemerintahan Jokowi tak juga meratifikasinya—seperti dilakukan oleh para pemimpin sebelumnya—jelas tujuan ketiga tak akan bisa dicapai. Para analis SDGs juga sudah menyatakan, ratifikasi FCTC sangat penting untuk memastikan tercapainya tujuan HAM, keadilan sosial, serta kelestarian lingkungan, lantaran dampak negatif rokok memang multidimensional.
Kedua, Jokowi mendapatkan banyak dukungan ketika menyatakan akan membangun berbagai pembangkit listrik yang akan menghasilkan tenaga 35.000 MW. Masalahnya, sekitar 22.000 MW tenaga tersebut akan dibangkitkan lewat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mengandalkan batubara sebagai bahan bakarnya. Konon, tak ada juga ketentuan bahwa teknologi PLTU batubara paling modern—yaitu ultra-supercritical—yang akan dipergunakan. Teknologi tersebut, apabila dipilih, akan menurunkan emisi karbondioksida sekitar 30% dibandingkan teknologi sebelumnya.
Ini sangat mengkhawatirkan karena akan meningkatkan emisi yang dihasilkan Indonesia dari pembangkitan energi. Jelas ini bertentangan dengan tujuan penurunan emisi yang telah kita umumkan ke seluruh dunia: 26% dengan sumber daya finansial sendiri atau 41% dengan tambahan sumber daya asing pada tahun 2020.
Kita juga punya target proporsi energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Bagaimana itu hendak dicapai kalau pilihan sumber energi dan teknologinya seperti yang sekarang diambil? Sementara tujuan SDGs dalam bidang energi (tujuan ketujuh) sangat jelas menyatakan sumber energi bersih dan terbarukan.
Terakhir, pemerintahan Jokowi telah mengambil keputusan yang dianggap sangat mengerikan bagi keberlanjutan terestrial (tanah). Sejak awal tahun ini tersebar kabar bahwa untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, sekitar 9 juta hektare tanah akan diubah menjadi lahan pertanian dan dibagikan kepada para petani tunakisma dan mereka yang berlahan sempit.
Masalahnya, sekitar 5 juta hektare akan berasal dari pembukaan hutan alam, dan sisanya dari lahan yang terdegradasi.
Pembukaan hutan di beberapa lokasi memang tak terhindarkan. Namun, membuka hutan alam seluas itu akan membawa konsekuensi ekologi, sosial, dan ekonomi yang tak kecil. Mengapa tidak memperbesar pemanfaatan lahan-lahan yang terdegradasi, yang luasannya mencapai puluhan juta hektare di Indonesia?
Maka, tujuan kelima belas SDGs akan sangat sulit dicapai kalau yang dilakukan adalah pembukaan hutan, bukan upaya aforestasi (pembentukan hutan) dan reforestasi (menghijaukan kembali hutan yang gundul).