Jumat, Mei 3, 2024

Klaim Kemenangan Semu Israel

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Perang antara Israel dan Hamas masih berkecamuk, senjata-senjata terus menderu, tetapi Israel sudah membungkus diri dalam lapisan pelindung yang sebetulnya menghambat upaya perenungan mendalam yang sesungguhnya.

Kejutan awal akibat peristiwa 7 Oktober silam sekarang digantikan oleh kisah kepahlawanan dan kelahiran kembali yang tak terhitung jumlahnya, di samping cerita-cerita bencana yang mengerikan dan tak tertahankan. Satu bulan setelah perang dimulai, tidak ada momen berlalu tanpa wajah menangis di televisi, tak ada halaman surat kabar tanpa cerita heroik.

Di Tearjerker yang disebut Yedioth Ahronoth, setiap tentara yang terbunuh adalah “pahlawan Israel” – seorang prajurit yang melakukan tindakan kepahlawanan yang luar biasa. Tampilan sukarelawan yang mengharukan dibesar-besarkan. Semuanya seolah menunjukkan betapa indahnya Israel dan seberapa baik perasaan warga Isarel tentang diri mereka sendiri. Di samping itu, semua laporan dari pelbagai media besar secara kompak menunjukkan keberhasilan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang luar biasa: kemenangan tengah dalam perjalanan.

Semuanya diperlihatkan memiliki dan berhak mendapatkan tempat kehormatan. Masyarakat yang dicabik-cabik oleh kesedihan dan negara dalam suasana perang mendambakan dan membutuhkan semua itu. Tetapi ketika media menguasai dan mengambil alih wacana, orang mulai mencurigai bahwa kisah kepahlawanan yang digembar-gemborkan sejatinya dimaksudkan untuk menyembunyikan dan mengaburkan kenyataan pahit yang sesungguhnya.

Perhatikan bagaimana kegagalan yang luar biasa pada 7 Oktober perlahan-lahan memudar dalam kesadaran warga Israel, mungkin dengan sengaja. Orang-orang mulai jarang membicarakan keterkejutan mereka atas kegagalan intelijen Israel. Mereka hampir tidak berbicara lagi tentang ketidakberdayaan tentara yang dilengkapi senjata terbaik, beroleh sokongan anggaran, dan perkasa. Warga seolah-olah melupakan ketidakmampuan IDF untuk menyelamatkan kibbutz yang telah ditaklukkan selama 12 jam penuh.

Ribuan kematian warga Palestina di Gaza dan bencana lainnya semakin memudar; IDF menang. Pengalaman IDF, jika memang sesukses cerita yang mereka ceritakan sejauh ini, dapat membuat masyarakat melupakan kerusakan yang terjadi. Siapa yang akan tegak berdiri memuji para pahlawan besar Israel yang mampu membawa kepala Yahya Sinwar di atas piring perak, dan mungkin bahkan membebaskan orang-orang yang diculik? Warga dibuat untuk memaafkan kekalahan yang telah berlaku.

Keterpurukan yang berkubang dalam kesedihan dan upaya mengingatkan diri agar masyarakat menoleh ke belakang tak ubahnya untuk menutupi lubang hitam, tidak hanya tentang apa yang telah terjadi, tetapi juga tentang apa yang terjadi dan lebih lagi apa yang akan terjadi. Lubang hitam pertama adalah apa yang terjadi sekarang di Gaza: media Israel sepenuhnya mengabaikan pertumpahan darah yang mengerikan. Tidak sepatah kata pun tentang bencana Gaza. Pengabaian ini memang disengaja. Tidak ada laporan. Tidak ada gambar atau foto. Bahkan nyaris lip service.

Semua ingin mendengar semakin banyak kisah kepahlawanan dan berbagi duka dan semangat atas orang-orang Israel yang terbunuh, diculik, terluka, berduka, yatim piatu dan yang akan tetap lumpuh dan terluka. Tidak ada warga Israel yang tidak menginginkan informasi tentang sandera dan keluarga mereka, tentang mereka yang terbunuh, yang berduka dan yang hilang. Tetapi duka dan kepahlawanan tidak dapat sepenuhnya mendominasi wacana publik selama sebulan dan seterusnya.

Bersamaan dengan kepahlawanan dan kelahiran kembali yang semu, warga Israel tetap bakal menghadapi bencana ke depan. Mereka paham siapa yang harus disalahkan untuk itu—Netanyahu. Konsekuensi yang niscaya mereka hadapi bahwa pahlawan Israel yang mereka elu-elukan telah membunuh puluhan ribu orang di Gaza secara brutal. Bagi mereka ini bisa dibenarkan. Mereka mengatakan tidak ada pilihan, atau bahkan merasa senang karena didorong oleh haus darah dan hasrat balas dendam. Tapi ingat itu tidak dapat disembunyikan, bukan hanya karena seluruh dunia sudah mengetahui ketidakadilan tetapi karena itu adalah keharusan moral untuk melihat kenyataan langsung di depan mata.

Sebulan setelah perang, Israel masih belum mampu membaca kenyataan di depan mata. Hasrat dan kesempatan untuk merenung secara dalam setelah perang kian meredup. Mereka mungkin harus bersiap lagi dalam perang berikutnya.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.