Dari semua jenis tindakan kriminal, yang membawa kepelikan paling besar bagi seseorang adalah kekerasan seksual. Tindakan tersebut bisa mendatangkan beban berlapis bagi si penyintas: rasa sakit fisik dan mental, terbengkalainya aktivitas harian, terkurasnya dompet untuk pemulihan diri, serta runyamnya relasi dengan berbagai pihak. Mau mencoba mencari keadilan lewat meja hijau? Tambahkan beban panjangnya proses hukum, kemungkinan menghadapi petugas yang kurang sensitif dalam menanggapi laporan kekerasan seksual, dan dana yang mesti digelontorkan buat mengurus macam-macam keperluan pelaporan kasus di pundak penyintas. Semua beban ini mau tidak mau dipanggul penyintas ke mana pun ia berjalan pascakejadian, dan kerap kali di jalan yang ia tempuh, terdengar pekikan stigma masyarakat, “Ya salah kamu sendiri”, “Kamu cuma mengada-ada, mana buktinya?”, “Ah, paling kamu juga suka sama dia dan menikmati”.
Kasus Agni menjadi contoh teranyar yang mencerminkan peliknya hidup yang dijalani penyintas, bahkan jauh setelah kejadian perkosaan dialaminya. Dalam laporan bertajuk “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”, Balairungpress menggambarkan sosok Agni yang masih dirundung trauma dan kesulitan tidur akibat kekerasan seksual yang pernah diterimanya saat Kuliah Kerja Nyata di Maluku pada Juni 2017. Di sana, disebutkan pula keinginan bunuh diri yang sempat tebersit di benak Agni. Seiring dengan upayanya mendapatkan keadilan dari pihak kampus, Agni menjalani konseling dengan psikiater dan psikolog dengan biaya yang ditanggungnya sendiri.
Segala macam pikiran buruk yang menghantui penyintas kekerasan seksual bukanlah hal yang gampang untuk dienyahkan, bahkan dapat terus menetap selepas pelaku diganjar hukuman. Soal ini, saya jadi teringat beberapa kisah, baik dari para penyintas maupun dari yang pernah mengurus mereka.
Ada cerita tentang Rara, penyintas perkosaan yang membawa kasusnya ke meja hijau. Sekalipun pelaku sudah divonis penjara, Rara masih membutuhkan waktu lebih lama untuk tidak histeris ketika sekadar melintasi Polsek tempat kasusnya diurus.
Ada pula cerita tentang penyintas bernama Lisa yang mengalami gangguan jiwa berat dan sempat dirawat di rumah sakit di Solo, Jawa Tengah. Oleh psikiater yang menanganinya, Lisa didiagnosis mengalami post traumatic stress disorder. Hal ini terjadi lantaran Lisa sempat diperkosa oleh enam laki-laki saat usia belasan, diusir oleh keluarganya setelah dianggap membawa aib, kemudian mengalami perkosaan lagi di kemudian hari oleh seorang laki-laki sepuh yang lantas dinikahkan dengannya.
Post traumatic stress disorder seperti yang Lisa alami juga dirasakan oleh salah seorang kawan saya, Clara, meski tidak sampai mendapat penanganan intensif di rumah sakit. Seperti Lisa, pengalaman buruk Clara tidak cuma terjadi sekali. Awalnya pada saat remaja, Clara beberapa kali menerima pelecehan seksual dari sepupunya sendiri. Ia pikir, apa pun yang dilakukan sepupunya waktu itu adalah ekspresi kasih sayang sesama saudara. Lambat laun, sepupu Clara tidak cuma melecehkannya, tetapi kemudian juga memperkosanya.
Clara bingung, takut, kecewa, dan marah pada saat bersamaan. Ketika ia bercerita kepada ibunya soal kejadian tersebut, bahkan dengan menunjukkan bekas sperma pelaku di tangannya, sang ibu menyangkal dan malah menyalahkannya. “Lain kali kalau ada sepupumu jangan pakai tank top sama celana pendek lagi. Kunci kamar saja kalau ada sepupumu. Sudah, itu bukan sperma kok. Enggak usah gede-gedein cerita lagi,” demikian ujar sang Ibu hingga membuat Clara memilih bungkam karena meyakini kejadian tersebut memang dipicu kesalahannya sendiri.
Beranjak dewasa, Clara mengalami pelecehan seksual kembali, kali ini oleh teman kuliah dan dosen pembimbing skripsinya. Ingatan kejadian perkosaan yang dulu sempat dialaminya secepat kilat memenuhi benak Clara setiap pelecehan kembali dialaminya. Namun, Clara masih memilih diam. Pikiran bahwa akan tidak dipercaya ketika menceritakan peristiwa buruk yang menimpanya kepada orang sekitar begitu terinternalisasi dalam diri Clara sehingga tekanan mentalnya terus berlipat.
Hingga saat ini, “hantu” dalam diri Clara masih hidup. Akibat peristiwa perkosaan dan pelecehan yang berturut-turut dialaminya, Clara kesulitan untuk membuka diri dan menjalin relasi lebih dalam dengan orang lain. Saat tengah intim dengan pasangannya, Clara sempat beberapa kali mengalami disorientasi dan tidak mengenali pasangannya tersebut atau menangis tanpa sebab. Pernah suatu waktu, ketika menangis, Clara berhalusinasi mendengar suara anak perempuan tertawa.
Kali lain, Clara disergap kekhawatiran luar biasa kalau-kalau wajah pasangannya berubah menjadi pemerkosanya. Jika kecemasannya menjadi-jadi, Clara akan tidur sembari menggenggam pisau untuk membuat dirinya lebih aman.
Cerita Clara ini mengingatkan saya pada pernyataan salah satu penyintas perkosaan di situs SELF, “Pada saat kamu sadar kamu memiliki tubuhmu sendiri, ingatan bahwa tubuhmu pernah diambil paksa oleh orang lain tiba-tiba menyeruak.” Inilah yang dapat menyebabkan penyintas menjadi begitu defensif atau histeris saat memulai hubungan intim dengan pasangan yang ditemuinya setelah perkosaan.
* * *
Tidak peduli sudah berapa kali pun saya membaca, mendengar, serta menulis cerita terkait kekerasan seksual, pilu tidak sudah-sudah menyergap saya setiap kali menemukan kasus serupa. Trauma yang mereka ceritakan kerap membikin saya turut bergidik. Seiring dengan itu, timbul pertanyaan di kepala saya, bagaimana mereka menjalani hari, atau lebih jauh lagi, menjalani relasi yang intim dengan orang lain pascakejadian traumatis? Bagaimana memulihkan kepercayaan dalam diri penyintas yang remuk dihantam memori tentang si pelaku?
Setiap penyintas tentu mengalami proses pemulihan diri yang durasi dan caranya berbeda-beda. Dalam kasus Clara, penyintas ini sempat mendatangi psikolog dan psikiater sebagaimana Agni untuk memulihkan mentalnya. Namun, perkara mencari psikolog yang cocok ini gampang-gampang susah. Sebelumnya, saya sempat mendengar kawan-kawan lain yang pernah berganti tiga sampai tujuh psikolog dan psikiater karena merasa kurang cocok dengan ahli-ahli jiwa tersebut. Saya pun sempat merasakan hal serupa saat berurusan dengan pemulihan kesehatan jiwa. Pengalaman-pengalaman ini kembali diafirmasi oleh cerita Clara yang sempat menemukan psikolog yang kurang sensitif ketika menangani kasusnya.
“Pernah ada psikiater yang bilang, pas aku cerita sambil nangis, ‘bersyukur ya, kamu sudah bisa melewati pengalaman itu, dan kamu lebih beruntung lagi karena enggak sampai hamil’. Saat aku begitu tertekannya, ada lagi psikolog yang menyarankan aku untuk percaya bahwa Tuhan enggak akan menguji hambay-Nya melebihi kemampuan hamba tersebut. Kalau ingat itu, rasanya aku mau bilang, ‘ke mana ya Tuhan waktu aku diperkosa dan mendapat pelecehan?’” kenang Clara.
Buat sebagian orang, pendekatan religius atau spiritual mungkin efektif meringankan bebannya, tapi tidak bagi Clara atau orang-orang dengan trauma atau depresi berat lainnya. Dari kaca mata saya, pada saat seseorang dihajar habis oleh suatu peristiwa tragis, hal pertama yang diperlukannya adalah didengar atau ruang di mana ia tidak dicekoki berbagai nasihat terlebih dahulu. Jangankan untuk menjalani nasihat-nasihat tersebut, untuk berpikir jernih dan memiliki motivasi menjalani hari esok saja rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Karena itulah, titik balik Clara dalam hal mempercayai kembali orang lain adalah ketika ia bertemu seorang teman yang mau mendengarkan kisahnya tanpa penghakiman atau sikap menceramahi sedikit pun. Ketika menemukan orang yang tidak menyalahkannya sebagaimana sang ibu, perlahan-lahan Clara tergerak untuk membuka diri lebih jauh, jujur mengungkapkan perasaannya sehingga sedikit demi sedikit beban di pundaknya berkurang.
Penanganan masalah mental seperti yang dihadapi para penyintas juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Berapa kali pun seorang penyintas menjalani terapi, hasilnya tidak akan signifikan bila ia terus berada di lingkungan yang tidak suportif terhadapnya atau terus-menerus mengingatkannya pada peristiwa traumatis tersebut. Memang ada penyintas yang dapat bangkit dan bersuara mencari keadilan di tengah-tengah lingkungan yang menghakimi, tetapi sebagian penyintas butuh waktu lebih lama untuk bisa sesiap itu menghadapi tekanan sosial yang besar. Maka, memilih menjauh dari pemicu-pemicu trauma bisa menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka. Terkait hal ini, Clara memilih lebih sering berada di luar rumah karena perkosaan yang dialaminya terjadi di rumahnya sendiri.
Jalan lain untuk memulihkan kepercayaan kepada orang lain bagi Clara adalah dengan berbagi kisah dengan sesama penyintas. Dengan melakukan hal ini, ia bisa lebih tenang menceritakan pengalamannya karena yang mereka hadapi adalah orang-orang senasib sepenanggungan, yang akan menghormati dan menaruh empati kepada mereka. Perasaan lebih lega, bahkan merasa saling menguatkan dan dikuatkan diafirmasi oleh para penyintas berbagai bentuk kekerasan dan caregiver yang pernah saya temui dalam sebuah pertunjukan seni oleh penyintas-penyintas di bawah naungan LBH Apik.
Saya memang bukan seorang pakar psikologi, tetapi berkaca dari pengalaman-pengalaman penyintas ini, saya menarik benang merah dari strategi-strategi mereka untuk memulihkan diri pascaperkosaan atau pelecehan seksual yang mendatangkan trauma.
Pertama, penyintas butuh penguatan bahwa peristiwa tragis yang menimpa bukanlah kesalahannya, baik melalui konseling maupun interaksi dengan orang-orang sekitar. Karena perkosaan bukan kesalahan si penyintas, ia juga butuh diyakinkan bahwa bersuara tentang hal tersebut serta mencari advokasi adalah haknya sekaligus cara untuk mereduksi beban yang ia tanggung. Dengan menerima kepercayaan dari orang lain bahwa dirinya tidak bersalah, menemukan orang-orang yang dengan tulus mendengarkan ceritanya serta mendampinginya, penyintas dapat mulai membuka diri, merasa bahwa ia tidak sendirian menghadapi masalahnya, dan akhirnya dapat mempercayai orang lain dan menjalin relasi intim dengan kekhawatiran yang lebih minim.
Ps: Semua nama penyintas dalam tulisan ini adalah nama samaran