Jumat, April 26, 2024

Kisah Pengorbanan Ibrahim dan Spiritualitas Ramah Hewan

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.

Hari ini, Jum’at, 10 Zulhijjah 1441, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha, atau Hari Raya Penyembelihan Hewan, atau Qurban. Adha artinya penyembelihan hewan, dan diyakini sebagai bukti mendekatkan diri (qurban) kepada Allah Pencipta.

Banyak pemaknaan kisah pengorbanan Ibrahim bagi umat beragama dan antaragama. Lebih tepatnya, hampir berkorban (near-sacrifice) karena peristiwa penyembelihan manusia tidak sampai terjadi.

Ada persamaan dan perbedaan narasi antara Yahudi, Kristen, dan Islam tentang kisah Ibrahim, istri-istri, dan anak-anaknya. Narasi Yahudi, Ibrahim adalah figur kebapakan atau patriarki yang menjadi monoteis, melalui proses pencarian siapa Tuhan Pencipta. Dalam narasi mereka, putra yang akan dikorbankan adalah Isaac (atau Ishak dalam bahasa Arab), karena Isaac adalah anak Ibrahim dan istrinya Sarah, dan Isaac adalah ayah Yaqub dan kakek dari dua belas suku Israel.

Dalam Bibel Ibrani, pada Kitab Genesis, Ibrahim diperintah Tuhan untuk mengorbankan putranya Isaac (peristiwa yang disebut Aqedah artinya “pengikatan”). Ketika baru akan menyembelihnya muncul utusan Tuhan, malaikat, berkata, “sekarang Aku tahu kamu takut Tuhan,” dan muncullah domba (ram) sebagai ganti dan ia pun menyembelih domba itu. Tempatnya di Moriah, di Yerusalem. “Tuhan berfirman, karena Kamu telah melakukan ini, telah patuh menjalankan perintah-Ku, Aku akan berkati kamu dan keturunan-keturunanmu di antara bangsa-bangsa.”

Hal itu banyak penafsiran di kalangan Yahudi sendiri. Ada yang berpendapat, Ibrahim sebetulnya tidak benar-benar bermaksud menyembelih puteranya karena dia tahu Tuhan tidak akan memerintahkannya untuk membunuh atau mengorbankan manusia, apalagi anaknya. Dalam penafsiran lain, Ibrahim lah yang ingin menguji Tuhan sejauh mana Tuhan akan benar-benar menjaga jiwa manusia. Bagi Ibrahim, tidaklah mungkin ia akan membunuh anaknya. Pemikir Yahudi Maimonides berpendapat, manusia itu terbatas antara menyintai dan takut Tuhan. Mimpi dan wahyu merupakan salah satu cara mendapatkan kebenaran.

Narasi-narasi lain di kalangan Yahudi, bercerita tentang usia Isaac yang 36 tahun pada waktu akan dikorbankan, meskipun tidak tentang bagaimana pendapat Isaac sendiri tentang rencana ayahnya itu. Sebagian penulis mengatakan Ibrahim dan Isaac jarang berbicara satu satu sama lain. Sebagian menyebut Isaac cukup marah terhadap bapaknya ketika mendengar ia akan dikorbankan. Tapi, dalam pendidikan Yahudi, anak-anak diyakinkan bahwa Tuhan tidak bermaksud mengorbankan atau membunuh anak. Penyembelihan binatang sebagai ganti itu merupakan tanda pengampunan dosa dan kepatuhan kepada Tuhan. Ayat lain pun diajarkan “Tuhan memerintahkan kamu untuk berbuat adil, berbuat baik, dan rendah hati dengan Tuhan-mu.” (Micah 6: 7-8).

Narasi Kristen mengikuti alur narasi Yahudi di atas, dalam Perjanjian Baru yang memuat Perjanjian Lama. Ibrahim diuji keimanannya dengan perintah menyembelih anaknya Isaac, satu-satunya anak yang Ia cintai. Isaac diberkati karena siap berkorban untuk dunia.

Lebih lanjut, Kristen membandingkan peristiwa hampir-pengorbanan itu dengan peristiwa penyaliban. Dalam pendidikan Kristen ditekankan bukan rencana seorang Ayah, Ibrahim, untuk menyembelih putranya, tapi pada keimanan dan kepatuhannya pada Tuhan. Bahwa perbuatan moral tidak cukup tanpa keimanan.

Penafsir-penafsir Muslim terhadap ayat-ayat Qur’an cukup beragam. Pada masa awal, sebagian para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatthab, Jabir, Al-Abbas, Ka’ab al-Akhbar, dan Tabi’in seperti Qatadah, Ikrimah, Atha, dan Malik bin Anas, menyebutkan Ishak adalah putra yang akan dikorbankan Ibrahim, seperti narasi yahudi dan Kristen di atas.

Menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, pendapat mereka itu berbeda dengan pendapat para Sahabat lain seperti Abdullah bin Abbas, Ali Abi Thalib, dan Abu Hurairah. Perbedaan tafsir karena memang ayat Al-Quran tidak menyebut nama Ismail. Namun dalam Ibnu Katsir dan juga para mufasir yang mengutip Ibn Katsir, Ismail sebagai putra yang akan dikorbankan menjadi penafsiran dominan dan mainstream hingga sekarang.

Beberapa hadis Nabi dikutip, antara lain Nabi bersabda, “Aku adalah anak dua sembelihan: Ismail dan Abdullah (ketika Abdul Mutalib berniat mengorbankannya juga dulu). Salah satu penjelasan lain adalah karena dari Ismail lah, bangsa Arab bermula, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan karena itulah polemik narasi siapa anak yang akan disembelih itu yang berkaitan dengan bangsa, ras, dan juga teologi, terus berlangsung hingga sekarang.

Dalam Al-Qur’an, narasinya begini: Dan dia  (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar. Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah)… Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-shaffat: 99-106).

Umumnya, ulama dan umat Islam menafsirkan kisah ini sebagai bukti keimanan Bapak dan Anak kepada perintah Tuhan. Lebih jauh, sebagian penafsir mengambil makna pendidikan bahwa seorang ayah harus meminta pendapat anaknya dahulu sebelum membuat keputusan yang menyangkut sang anak.

Dalam penafsiran Yahudi pada umumnya, ujian keimanan lebih pada Ibrahim, sedangkan dalam penafsiran Muslim pada umumnya, ujian keimanan pada Ibrahim dan juga putranya. Dalam tafsiran umat Islam, pengorbanan hewan itu menjadi tradisi sebagai kelanjutan agama-agama sebelumnya yang bermuara pada monoteis Ibrahim. Dan dalam ayat Quran surat Al-Hajj: Bukan daging dan darah hewan itu yang sampai pada Tuhan, tapi ketaqwaan manusia terhadap-Nya. Demikian untuk mengagungkan Tuhan atas petunjuk yang Dia berikan…(37). Bagi umat yang beriman, bentuk “kekerasan suci” ini justru berfungsi sebagai cara mendapatkan keberkahan hidup dunia dan akhirat.

Aspek lain dalam kisah di atas adalah peran istri atau ibu. Sarah dalam narasi Yahudi dan Kristen, dan Hajar dalam narasi Arab dan Islam kebanyakan. Secara umum, peran ibu atau perempuan di sini di bawah peran Ibrahim sebagai Bapak dan Nabi utusan Tuhan. Antara lain, diceritakan Sarah sempat agak kaget dan marah Ketika Ibrahim mendapat perintah menyembelih putranya, tapi Sarah menyerahkan kepada suaminya. Dalam kasus Hajar, diceritakan Hajar menerima dengan rela karena itu perintah Tuhan.

Persoalan lain yang lebih universal adalah penyembelihan hewan itu sendiri, dalam tradisi agama-agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, selain agama-agama lain. Mengapa ada tradisi penyembelihan hewan? Itu karena agama-agama ini bersifat antroposentris, berpusat pada manusia. Agama-agama ini juga membuat hirarki moral bahwa tingkatan manusia berada diatas hewan. Fungsi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi menjadikan mereka mengendalikan kehidupan alam, termasuk hewan. Agama-agama ini juga mengajarkan hewan sebagai alat atau instrumen: dimakan atau dijadikan alat mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, dalam konteks ini, dalam fikih Islam, untuk menyembelih hewan disyaratkan pisau yang tajam agar cepat mati dan mengurangi sakit pada hewan, dan hewannya pun yang sehat dan tanpa cacat dan usia tertentu.

Selain sisi pengorbanannya, aspek etika yang ditekankan adalah kepedulian kepada sesama yang membutuhkan, melalui pemberian daging korban untuk fakir miskin, di mana pun. Ada sisi humanitarianismenya.

Dalam ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis juga disebutkan, manusia harus menunjukkan kasih sayang dan peduli hewan-hewan, dilarang menyiksa, harus memberi makan dan minum, dan etika-etika lain yang diajarkan. Tentu saja, humanitarianisme itu baru sebatas pada kebaikan pada sesama manusia. Bagaimana kebaikan kepada hewan? Dari kaca mata para pejuang hak-hak asasi hewan (animal rights), tradisi penyembelihan hewan ini dipandang tidak sesuai. Termasuk bagi sebagian manusia dan masyarakat vegetarian. Namun demikian, bagi sebagian yang lain, jikalah ada daging atau susu hewan yang mereka sebagai manusia konsumsi untuk kelangsungan hidup mereka, ada ajakan untuk mengajarkan spiritualitas yang ramah hewan. Spiritualitas yang ramah hewan ini tentu patut kita sama-sama renungkan.

Muhamad Ali
Muhamad Ali
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.