Suatu siang di bawah rindang pohon, pinggir Danau Cimpago, Purus Padang. Seorang laki-laki tidur meringkuk di atas becak. Kakinya terjuntai, memperlihatkan tungkat tanpa lemak. Kepalanya tertutup kertas karton. Di karton penutup kepala itu seorang bocak jelang setahun merangkak turun naik, seolah bermain seluncuran. Wajahnya berlepotan ingus.
Tak jauh dari tempat itu, seorang perempuan tampak asik mengais sampah plastik yang mengapung ditiup angin ke tepi danau. Tiap sebentar dia melirik pada lelaki yang sedang tidur dan bocah itu, ada kesan khawatir di wajahnya. Namun tangannya tak berhenti jua meraih-raih sampah plastik lalu mengarungkannya.
“Nur,” ujarnya memperkenalkan nama. Sudah hampir lima tahun tinggal menggelandang di Kota Padang. Menyusuri jalan-jalan kota yang kumuh. Memungut sampah-sampah plastik, kardus bekas, potongan-potongan kawat, besi dan apa saja yang dibuang orang namun bisa dia jual ke penampung barang bekas. Begitulah dia menjalani hidup, kawin, punya anak dan terus saja memulung.
Ketika ditanya cita-cita, Nur hanya tertawa memperlihatkan giginya yang merah karna getah sirih.
“Cita-cita tak ada,” jawabnya tertawa sambil menutup mulut. Seakan menahan semburan air liur.
Masih di kawasan Danau Cimpago, seorang perempuan nampak berdiri menahan becak sarat muatan. Ada empat karung penuh botol plastik, ditumpuk di atas lipatan-lipatan kardus. Cuaca pukul 12 siang itu panas terik. Selain karung-karung kumuh itu, di atas becak duduk bocah perempuan umur 5 tahun. Satu orang laki anak perempuan berumur 7 tahun duduk terhenyak dekat kaki ibunya. Perempuan itu menyebut namanya Yati. Umurnya mendekati empat puluh tahun.
“Cepatlah. Adik lapar!” teriaknya pada anak laki-laki yang duduk mengaso di bawah batang pohon di pinggir danau. Anak laki-laki itu berteriak, “capek. Ntar lagi.” Wajah Yati nampak kesal, namun terus tertawa ketika saya dekati.
“Harus sabar awak. Anak laki-laki ini tak bisa dipaksa-paksa,” jelasnya.
Yati memiliki enam anak. Dua laki-laki, empat perempuan. Sudah dua tahun hidup menjanda. Suaminya pergi kawin lagi. Mereka datang dari Pulau Nias.
Sama seperti Nur, Yati tinggal di Padang tanpa kartu identitas.
“Kartu Keluarga, KTP semua dibakar Bapak. Terus dia pergi kawin,” jelas anak laki-laki Yati. Sang ibu membenarkan sambil tertawa getir.
“Kamu sudah tamat sekolah ?” tanya saya pada anak laki-laki berwajah pemarah itu.
“Bagaimana daftar sekolah. Tak ada KK,” jawabnya.
Kalau Nur hidup tanpa cita-cita, Yati bilang cita-citanya datang ke Padang memang untuk memulung. Dia mendengar kabar banyak orang kampungnya yang sukses di kota ini sebagai pemulung. Ukuran sukses bagi Yati adalah ketika mampu mengeluarkan gulungan uang dari kantongnya, di hadapan orang sekampung. Dia tak peduli bagaimana standar hidup yang layak, tinggal di rumah dengan sanitasi yang bersih, anak-anak bisa sekolah dan makan yang cukup. Punya kartu identitas juga bukan lagi harapannya. Yang ada dipikirannya hanyalah, berjalan sepanjang jalan sambil memungut sampah-sampah plastik sebanyak-banyaknya.
Tidak sedikit penduduk yang hidup tanpa kartu identitas (KTP) berkeliaran di jalan-jalan kota Padang. Juga kota-kota lain di Indonesia. Mereka hidup di bawah standar kemiskinan, tidak punya rumah, tidak punya pendidikan yang cukup dan tidak punya kemampuan pula untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Tapi mereka mampu melahirkan anak.
Pergilah ke tempat pembuangan sampah akhir di Air Dingin. Ada puluhan orang yang mengais-ngais sampah di sana. Tanyalah KTP mereka, kalau tidak percaya. Para gelandangan yang duduk-duduk di taman kota, para pekerja salon yang juga PSK, tanya KTP mereka, rata-rata tidak punya.
Dr. Hendri Koeswara Ketua Jurusan Administrasi publik Universitas Andalas memandang masyarakat tanpa identitas ini bisa digolongkan sebagai warga tanpa negara (Stateless).
“Harusnya negara hadir untuk mereka. Pastikan ada mekanisme khusus untuk mempermudah penduduk mendapatkan layanan KTP. Saya pikir sudah ada. Hanya bagaimana pelaksanaannya di tingkat daerah,” jelasnya ketika diminta komentar soal Nur dan Yati serta orang-orang tanpa KTP ini. Tanpa KTP jelas tak ada bantuan pemerintah yang bisa mereka akses.
“Kami pernah mendata seribu lebih penduduk miskin untuk penyaluran bantuan. Tapi sekitar limaratusan diantaranya tidak punya KTP, akhirnya tidak dapat bantuan sembako. Bagaimana mempertanggungjawabkan bantuan yang diberikan kalau tanpa KTP?” Jelas Novri Yani yang bekerja sebagai staf salah seorang anggota dewan (DPR RI).
Bersama anak-anaknya, Yati memang bisa mengumpulkan banyak botol-botol plastik. Dalam satu minggu bisa terkumpul 5 karung. Satu karung penuh plastik itu biasanya bisa mendapatkan uang Rp 80 ribu rupiah. Paling tidak adalah penghasilannya sekitaran 400 ribu perminggu. Dengan penghasilan itulah mereka terus hidup berhemat. Uang yang didapat mereka simpan saja dibalik kutang atau kantong. Kadang hilang, dicuri kawan atau jatuh. Tak mungkin membuka rekening di bank tanpa KTP.
Persoalan tidak kebagian bantuan atau tidak bisa membuka rekening di bank atau bahkan tidak bisa menyekolahkan anaknya bagi para stateless itu bukan masalah besar. Justru yang jadi masalah adalah ketika dipaksa harus mengurus KTP.
“Tak ada waktu,”jawab Nur. Ida juga mengemukakan alasan yang sama. Mereka juga merasa tidak percaya diri akan mendapat layanan yang manusiawi.
“Biar sajalah. Berbelit-belit. Susah,” ujar Yati pula.
Yefri Heriani, Ketua Ombudsmen RI Perwakilan Sumatera Barat juga punya pandangan yang sama dengan Henri. Menurut Yefri, mestinya pemerintah lewat Dinas Kependudukan dan Catatan sipil (Dukcapil) bisa membantu membereskan persoalan administratif seperti itu. Mungkin dengan bekerja sama dengan instansi seperti Dinsos maupun para relawan pendamping.
“Harusnya bisa. Inikan persoalan identitas. Setiap orang punya hak atas identitas kependudukannya. Tinggal kemauan. Baik kemauan warga, maupun kemauan pihak Dukcapil untuk mempermudah urusannya,” ujar Yefri yang sebelumnya dikenal sebagai aktifis perempuan dari WCC Nurani Perempuan ini.
Kenyataan-kenyatan di lapangan berupa temuan penduduk tanpa identitas ini menurut Yefri harus mampu dilihat dengan cermat oleh pihak penyelenggaran negara.
“Pemerintah harus belajar melihat fakta seperti ini. Ada hal-hal yang membuat orang akhirnya tidak punya penanda identitas. Perlu advokasi ke arah itu,” tambahnya.
Nah, sekarang siapa yang akan memulai? Atau pemerintah akan membiarkan saja?