Kebuntuan komunikasi politik antara warga Rembang penolak pendirian PT Semen Indonesia dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tak membuat mereka berhenti dalam usahanya menyelamatkan bumi Rembang dari kehancuran lingkungan. Nyaris selama dua tahun terakhir mereka terus berkeliling membobol tembok kokoh kekuasaan yang tak ramah pada para petani kecil.
Setelah melakukan berbagai aksi, membangun solidaritas dengan para pejuang agraria, menemui para akademisi dan kalangan LSM, dan mengetuk kesadaran para pejabat negara, tiga hari lalu ibu-ibu Rembang memasung kakinya dengan semen di depan Istana Negara. Aksi inilah yang berujung pada janji Presiden Joko Widodo untuk menemui para ibu-ibu dan warga Rembang tersebut.
Setelah peristiwa aksi ibu-ibu petani Rembang di depan Istana Negara, ada dua hal yang menarik untuk dijadikan bahan renungan kita semua.
Pertama, kisah dua pasang telinga dari dua pemimpin politik dari satu tubuh partai yang sama (PDI-P), yaitu Ganjar Pranowo dan Joko Widodo. Kedua, kehadiran pelangi di langit Jakarta seiring dengan dihancurkannya beton semen di kaki ibu-ibu petani Rembang.
Dalam kaitan perjuangan warga Rembang mempertahankan lahan pertaniannya dari telikungan pabrik semen, dengan sangat jelas publik merekam buruknya komunikasi politik Ganjar Pranowo. Ketika bertemu dengan Gubernur, warga dan ibu-ibu Rembang secara sadar menempatkan Ganjar Pranowo sebagai pemimpin politik tertinggi di Jawa Tengah. Di Tenda Perjuangan, saya menyaksikan sendiri bagaimana Bu Sukinah dan teman-temannya mendaulat Ganjar Pranowo sebagai bapak tempat mereka mengadu dan mencari solusi.
Di beberapa kesempatan mereka juga terus menekankan posisi Ganjar sebagai “Bapak Politik Mereka”. Tumpukan bukti yang menguatkan bahaya pendirian pabrik semen bagi wilayah Rembang dan sekitarnya dituturkan secara langsung atau dihadirkan di meja Gubernur dengan penuh kesopanan.
Namun rapor komunikasi politik Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah terbilang merah. Dalam komunikasi politik, ia tak mampu menempatkan dirinya sebagai “bapak politik” yang harus siap menyediakan telinga atas keluhan warganya. Ketika warga, para aktivis agraria, bahkan mahasiswa mencoba membangun komunikasi politik dengannya, Ganjar Pranowo lebih banyak berbicara daripada menyimak mereka.
Ia lupa delapan belas tahun pasca reformasi, masyarakat sipil kita belajar sama atau malah lebih banyak dibanding dirinya yang terdidik secara akademik di perguruan tinggi dan dunia politik kita yang membusuk. Ia lupa—atau pura-pura lupa—bahwa bahkan keputusan hukum pun bisa digugurkan lewat proses politik.
Yang lebih mengenaskan, pengetahuannya yang luas di bidang hukum tak mampu diberdayakan untuk kepentingan masyarakat luas akibat pasungan kepentingan ekonomi-politik korporasi yang serakah. Pengetahuannya yang luas di bidang hukum dan keterampilan politiknya yang dicitrakan lihai itu akhirnya hanya menjadi cibiran publik karena tak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Alih-alih menggunakan telinga, ia lebih banyak menggunakan mulutnya, dan dengan demikian memaksa telinga warga untuk mendengarkan dirinya. Rangkaian peristiwa politik di Jawa Tengah selama dua tahun terakhir ini mengingatkan saya dengan kisah telinga yang tersemen di dalam tembok di salah satu sajak Afrizal Malna. Ia tak mampu mendengar suara apa pun dari luar tembok kekuasaan!
Dalam rentang dua tahun terakhir ini, selain bertemu dengan Ganjar Pranowo, perwakilan warga Rembang juga pernah bertemu dengan Joko Widodo. Beberapa hari setelah terpilih secara demokratis sebagai Presiden Indonesia pada 2014, sejumlah perwakilan warga yang sedang mengalami persoalan lahan bertemu Joko Widodo di Istana Negara.
Beberapa perwakilan warga dari Rembang ikut dalam rombongan yang melakukan audiensi dengan Joko Widodo. Dengan membawa berkas-berkas yang menguatkan perjuangannya, warga berusaha meyakinkan Presiden bahwa perubahan alih-fungsi lahan yang massif di berbagai tempat di Indonesia bisa membahayakan ketahanan pangan nasional.
Gugatan para petani di wilayah konflik ini bak gayung bersambut dengan program politik Sang Presiden yang menjanjikan terciptanya ketahanan pangan nasional. Dengan kata lain: janji agar para petani tak mati di lumbungnya. Berlainan dengan Ganjar Pranowo yang menempatkan diri “seolah-olah” di atas warga, Joko Widodo lebih banyak mendengarkan suara para petani yang sedang menghadapi konflik lahan itu dengan tenang.
Ia berusaha menyerap aspirasi warga dan tak memunculkan percikan keresahan di antara petani kecil itu. Lelaki yang selalu tampil tenang dan irit bicara ini rupanya memahami bagaimana memakai telinganya secara maksimal. Sayang, dua tahun era pemerintahannya, kemampuan mendengar Sang Presiden tak dilanjutkan dengan implementasi kebijakan yang lebih konkret.
Maka, setelah aksi ibu-ibu Rembang menyemen atau membeton kaki di depan Istana Negara memperoleh simpati luar biasa dari berbagai penjuru tanah air, Presiden Joko Widodo dipaksa bukan hanya oleh warga Rembang dan para pejuang agraria untuk kembali menengok program ketahanan pangan yang telah dicanangkannya. Publik luas yang semula acuh tak acuh terhadap kebijakan pendirian pabrik PT. Semen Indonesia jadi tergetar menyaksikan aksi nekat ibu-ibu itu menyemen kaki mereka.
Ungkapan simpatik mengalir dari para petani yang sedang mengalami persoalan serupa di Pati, Blora, Grobogan, Gombong, hingga Wonogiri. Para petani Kendal yang menjadi korban tukar-guling lahan yang dipakai PT Semen Indonesia juga berencana mengirim utusan ke Jakarta. Dukungan langsung tersebut juga akan meluas ke para petani Kulonprogo, Banten, Urutsewu, Batang, Banyuwangi, bahkan wilayah-wilayah lain di luar Jawa.
Di luar para petani yang sedang menghadapi persoalan agraria di wilayahnya masing-masing, kalangan pengguna media sosial kita akhirnya mengorganisasikan dukungan yang makin konkret pada perjuangan ibu-ibu Rembang tersebut. Terakhir, publik yang lebih luas, lewat publikasi media massa, bisa berpikir dengan hati nuraninya kenapa para ibu-ibu Rembang itu bersikukuh mempertahankan lahan dan kegiatan pertaniannya.
Pihak kepresidenan menyadari kalau aksi ibu-ibu Rembang di depan istana negara itu berpotensi membangun aksi solidaritas lebih luas dan lama, menciptakan lautan manusia dari berbagai penjuru tanah air, dan pada akhirnya membahayakan kenyamanan posisi Sang Presiden sendiri.
Sang Presiden beserta seluruh jajarannya, di tengah kepungan para pemodal serakah, dipaksa oleh hati nurani publik untuk kembali pada doktrin Sukarno yang barangkali akan tetap abadi sampai kapan pun: Amanat Penderitaan Rakyat. Kelicikan dan ketamakan para pemodal yang membuat Joko Widodo kebingungan itu terus menerus dihantam oleh gelombang hati nurani publik dan seruan untuk kembali mengimani Amanat Penderitaan Rakyat sebagai haluan kerjanya.
Maka, setelah dua hari ibu-ibu Rembang melakukan aksi menyemen kaki mereka di depan Istana Negara, Presiden Joko Widodo lewat Kepala Staf Kepresidenan menjanjikan audiensi dengan mereka. Kesediaan Presiden untuk bertemu dan mendengarkan persoalan secara langsung dari mereka bisa dibaca sebagai niat baik dari pemimpin politik tertinggi di negeri ini.
Bagi publik sendiri, momen ini bisa pula dipakai sebagai ujian untuk Sang Presiden apakah “telinga politiknya” yang terkenal lihai itu bisa mendeteksi perubahan arah angin di negerinya.
Di senja hari yang gerimis, ketika ibu-ibu dari Rembang itu mulai menghancurkan beton semen di kaki mereka, seiring dengan janji audiensi dengan Presiden, pelangi muncul di langit Jakarta.
Kata Kiai Nur Aziz dari Kendal—tokoh masyarakat Kendal yang getol menolak tukar-guling lahan Rembang dengan lahan di Kendal—kehadiran pelangi itu adalah pertanda restu Tuhan atas perjuangan ibu-ibu petani yang mulia itu dan turunnya malaikat-malaikat Tuhan yang mengiringi perjuangan ibu-ibu Rembang. Benar tidaknya, hanya Tuhan yang tahu…
Kolom Terkait: