Belum lama ini masyarakat dibuat gaduh dengan beredarnya video secara viral di dunia maya: ada seorang mahasiswa dari organisasi Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang berorasi menentang pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Tentu penyebab kegaduhan masyarakat sebenarnya bukan semata karena menentang pencalonan Ahok menjadi gubernur, tetapi faktor utamanya adalah argumen yang digunakan mahasiswa itu sarat dengan sentimen negatif suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), yakni menyoal masalah latar belakang agama Ahok.
Faktor lain bisa jadi karena yang berorasi berasal dari kalangan terdidik, yakni mahasiswa, yang tampil mengenakan jas almamater kuning, identitas khas mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Bahkan dalam video berdurasi hampir dua menit itu tampak jelas gambar diambil di depan gedung rektorat UI.
Gara-gara ulah salah satu mahasiswanya itu, pihak UI sampai-sampai merilis pernyataan resmi melalui situs resminya: UI menolak dikaitkan dengan video tersebut dan menyatakan organisasi Gema Pembebasan bukan lembaga resmi UI. Lebih jauh UI telah menindak mahasiswa bersangkutan.
Dari situs resminya, bisa diketahui Gema Pembebasan ini ternyata sudah cukup lama dibentuk, tepatnya pada 28 Februari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia.
Saya meyakini pihak yang paling patut bertanggung jawab di balik berdirinya Gema Pembebasan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya pun tak ada keraguan kalau Gema Pembebasan adalah sayap organisasi kemahasiswaan HTI. Singkatnya, menjadi aktivis Gema Pembebasan berarti menjadi anggota Hizbut Tahrir.
Tidak sulit melacak ideologi gerakan yang diusung HTI. Sudah banyak tulisan yang membahas tentang kelompok ini, dipermudah lagi kelompok ini dikenal “pemurah” menyebarluaskan produk pemikiran dan kiprah organisasinya, baik online maupun cetak.
Ada tiga media cetak yang diterbitkan Hizbut Tahrir berbahasa Indonesia: majalah Al-Wa’ie, tabloid Media Umat dan buletin Al-Islam. Khusus buletin Al-Islam, biasanya mereka edarkan di masjid-masjid perkotaan ketika salat Jumat.
Ketika saya membacanya sekilas, buletin ini memang memuat tentang dakwah keislaman. Namun, jika dicermati lebih jeli, buletin Al-Islam tak lain tidak bukan isinya adalah agitasi, propaganda, dan retorika politik dengan bungkus dakwah.
Slogan yang sering diulang-ulang dan melekat dengan identitas HTI adalah “Khilafah solusinya!” Khilafah ibarat resep obat yang mujarab, yang menyembuhkan segala jenis penyakit. Jadi, apa pun permasalahan umat dan bangsa ini, bagi HTI, solusinya adalah khilafah.
Begitupun sebaliknya, sumber permasalahan yang mendera negara atau bangsa ini, karena tidak menghidupkan khilafah. Umat atau bangsa ini akan sehat wal afiat dengan meminum obat racikan HTI yang namanya khilafah. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari keyakinan mereka.
Jika berbicara kelompok pro-khilafah, HTI memang tidak sendirian. Ada militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) misalnya. Hanya saja HTI tak mengakui keabsahan khilafah yang didirikan ISIS. Salah satu faktornya karena ISIS menggunakan cara kekerasan. Tapi apa pun itu, yang jelas agenda Hizbut Tahrir yang berpuluh-puluh tahun berencana menegakkan kembali khilafah, eh, malah didahului ISIS.
Sampai di sini, dugaan saya semakin kuat, kalau satu-satunya khilafah yang sah, menurut HTI, hanya jika didirikan oleh dan dengan cara Hizbut Tahrir. Bukan seperti cara ISIS.
Kembali ke soal Gema Pembebasan. Yang menarik ialah, aktivis organisasi ini di beberapa kampus ternyata juga turut berpartisipasi dalam suksesi Pemilu Raya (Pemira) Universitas, ikut mencalonkan diri menjadi Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Bagus, bukan?
Berkaca dari situ, HTI yang merupakan induk dari Gema Pembebasan, dan notabene adalah organisasi politik, saya berpikir kenapa tidak mengikuti langkah serupa? Misalnya, HTI mendaftarkan diri sebagai partai peserta pemilu di Indonesia atau membidani lahirnya sebuah partai politik yang baru untuk ikut pemilu.
Bagaimana jika ada kalangan yang berkata, “Bukankah pemilu adalah produk demokrasi? Demokrasi produk sekularisme Barat, ini kan diharamkan HTI?”
Terus terang saya merasa yakin, HTI pasti mampu menjawab pertanyaan semacam itu, bahkan dengan argumen canggih yang dilengkapi ayat-ayat suci. Kalau perlu cukup serahkan pada adik-adik di Gema Pembebasan yang menjawabnya.
Saya mengusulkan HTI untuk ikut pemilu. Tak ada salahnya mencoba, siapa tahu melalui jalan ini cita-cita mereka menghidupkan kembali khilafah bisa tercapai. Siapa tahu. Mumpung cara ini belum digunakan kelompok yang lain. Bagaimana ikhwan HTI?