Kamis, Maret 28, 2024

Khalifah Sentris atau Ummah Sentris? [Bagian 3]

Akhmad Sahal
Akhmad Sahal
Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.

Di tulisan saya sebelumnya, saya menguraikan tentang realisme fikih siyasah yang lentur dan fleksibel. Dari perspektif fikih siyasah, kewajiban mendirikan khilafah tidaklah bersifat mutlak, tapi kondisional. Ketika keberadaan khilafah masih dimungkinkan, maka hukumnya wajib. Tapi bila perubahan realitas sosial politik tak memungkinkannya lagi, ia bisa diganti dengan tatanan politik lain, asalkan tujuan utama khilafah, yakni hirasah al- din wa siyasah al-dunya (memelihara agama dan mengatur dunia), tetap tercapai.

Apakah dengan demikian khilafah merupakan tujuan pada dirinya sendiri, atau lebih sebagai instrumen/sarana? Perlu dicatat, pandangan yang menempatkan khilafah sebagai tujuan bertolak dari asumsi bahwa sistem politik Islam berpusat pada khalifah atau negara. Dalam gambaran ini, tatanan politik umat bergantung dan berporos sepenuhnya pada sosok sang khalifah atau sultan, yang kedaulatannya dipersepsikan bersumber dari Tuhan.

Namun, dalam tradisi pemikiran politik Sunni, kekuasaan kepala negara pada dasarnya berwatak kontraktual: ia baru bisa dianggap absah secara fikih apabila sudah mendapatkan persetujuan dari umat. Berbeda dengan pandangan Syiah mengenai imamah yang dasarnya adalah nash berupa wasiat langsung dari Nabi, tradisi Sunni justru menampik sama sekali adanya wasiat semacam itu.

Dalam pemikiran Sunni, keabsahan seorang khalifah ditentukan melalui pemilihan yang dilakukan oleh komite penyeleksi, disebut ahlul halli wal ’aqdi, terhadap sejumlah kandidat yang dianggap memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, untuk kemudian mendapatkan persetujuan umat melalui bai’at.

Selain itu, tradisi politik Islam juga menekankan pentingnya konsep syura dan musyawarah di kalangan umat dalam pengambilan keputusan bersama, terutama sepeninggal Nabi. Kalau kepemimpinan Nabi Muhammad bersumber pada otoritas beliau sebagai Nabi dan sepenuhnya bertanggung jawab pada Tuhan, maka tidak demikian halnya dengan para khalifah. Relasi mereka berhadapan dengan umat adalah bahwa masing-masing pihak terlibat dalam suatu kesepakatan atau semacam “kontrak sosial.”

Memang, bentuk kontrak sosialnya sifatnya terbatas dan elitis, yakni hanya melibatkan ulama dan tokoh-tokoh umat yang tergabung dalam lembaga ahlul halli wal ‘aqdi. Ia tak bisa disejajarkan dengan “kontrak sosial” ala demokrasi modern. Tapi, setidaknya, itu mengindikasikan bahwa legitimasi politik dalam Islam tak sepenuhnya bersumber pada kekuasaan sang khalifah, melainkan juga umat. Karena dalam batas tertentu, ahlul halli wal ‘aqdi bisa juga dilihat sebagai komite yang terdiri dari wakil/delegasi umat.

Pendek kata, ia bukan bagian dari khalifah. Gambaran yang muncul di sini bukanlah sistem politik yang berporos pada khalifah/negara, melainkan pada ummah atau masyarakat.

Menariknya, pergeseran model tatatan politik Islam dari yang khalifah sentris ke ummah sentris sebenarnya bisa ditemukan jejaknya dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah, ulama mazhab Hanbali kelahiran Damaskus yang hidup pada masa ketika khilafah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad jatuh oleh invasi Mongol pada 656/1258.

Sebagaimana saya uraikan di tulisan sebelumnya, Ibnu Taimiyah berbeda dengan Al-Mawardi yang begitu menekankan sentralitas peran khalifah demi menegakkan kembali legitimasi Daulah Abbasiyah yang melemah. Ibnu Taimiyah yang hidup di era pasca-khilafah Abbasiyah sama sekali tidak menuntut agar khilafah kembali ditegakkan. Baginya yang paling penting adalah tegaknya wilayah (otoritas politik).

Esensi lembaga kekhilafahan dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah kekuasaan yang efektif. Khalifah yang kekuasaannya hanya simbolik saja bukanlah penguasa yang sesungguhnya. Sebaliknya, kekuasaan non-khilafah yang punya kekuasaan efektif adalah penguasa yang sesungguhnya.

Dengan kata lain, bagi Ibnu Taimiyyah, khilafah adalah instrumen belaka. Yang justru wajib adalah siyasah syar’iyyah, pemerintahan yang sesuai dengan syariah, entah itu dengan khilafah atau tanpa khilafah.

Ibnu Taimiyyah memberikan sejumlah alasan tentang kenapa siyasah syar’iyyah harus ditegakkan. Pertama, kehidupan bermasyarakat meniscayakan adanya pemerintah yang mengatur kehidupan mereka. Ia mendasarkan diri pada hadits: “Jika kalian bepergian bertiga, salah satu harus ditunjuk jadi pemimpin.” Kalau hanya untuk urusan yang sederhana seperti bepergian saja memerlukan adanya pemimpin, demikian Ibnu Taimiyyah, apalagai urusan yang jauh lebih kompleks seperti hidup bermasyarakat.

Kedua, syariah sebagai tatanan hukum dan agama tak bisa ditegakkan tanpa adanya coercive power (kekuasaan pemaksa). Dengan kata lain, kekuasaan politik adalah instrumen yang niscaya bagi tegaknya tatanan agama dalam masyarakat. Negara sebagai coercive power berperan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi hisbah, yakni amar ma’ruf nahy munkar, karena fungsi tersebut tak bisa ditegakkan tanpa kekuasaan (quwwah) dan wewenang (imarah).

Pertanyaannya, bagaimana siyasah syar’iyyah mesti kita pahami? Konsepsi politik Ibnu Taimiyyah ini sering dipahami sebagai seruan Ibnu Taimiyyah untuk mendirikan negara Islam, dengan alasan bahwa din (agama) tak mungkin ditegakkan tanpa daulah (negara). Ini karena, bagi Ibnu Taimiyyah, tujuan utama pendirian negara adalah penegakan institusi hisbah yang memerankan fungsi amar ma’ruf nahy munkar.

Maka, tidak heran kalau kemudian ide siyasah syar’iyyah dari Ibnu Taimiyyah dianggap sebagai sumber inspirasi negara Islam ala kaum Salafi-Wahhabi. Kalau demikian adanya, siyasah syar’iyyah ala Ibnu Taimiyyah pada akhirnya tak kalah absolutisnya dibandingkan dengan negara khilafah.

Namun sejumlah ahli pemikiran politik Islam klasik menganggap pandangan semacam itu terlalu simplistis dan reduksionis. Ovarim Anjum, misalnya, dalam Politics, Law and Community in Islamic Thought: The Taymiyyah Moment (2012) menegaskan bahwa pemikiran politik Ibnu Taimiyyah sesungguhnya menandakan pergeseran paradigma yang signifikan dalam tradisi politik Sunni, dari yang tadinya berporos khilafah menjadi berporos kepada komunitas/masyarakat.

Kenapa? Karena, bagi Anjum, konsep siyasah syar’iyah Ibnu Taimiyyah memberi titik tekan pada syariah sebagai lokus utama politik Islam. Dan syariah merupakan domain wewenang umat/masyarakat, khususnya ulama, bukan domain negara. Perlu diingat, para ahli fikih yang punya otoritas untuk memformulasikan syariah dalam kitab-kitab fikih pada umumnya adalah ulama “partikelir” (private jurists), dalam arti mereka mendapatkan legitimasi keulamaannya bukan dari negara. Mereka juga umumnya berada di luar struktur pemerintahan. Dengan kata lain, para ulama tersebut bukan termasuk bagian dari state, melainkan society.

Selanjutnya, Anjum juga menyoroti tentang relasi antara negara dan fungsi hisbah (amar ma’ruf nahi munkar). Bagi Ibnu Taimiyyah, rasion de’tre keberadaan negara adalah amar ma’ruf nahi munkar. Tapi perlu diingat, amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang yang dibebankan juga kepada individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan begitu, negara justru merupakan representasi dari komunitas, bukan sebaliknya. Masyarakat tidak dalam posisi berhutang komitmen dan kepatuhan tanpa batas terhadap negara, melainkan negara yang berperan sebagai pengemban amanat masyarakat. Hubungan antara keduanya bersifat saling menyatakan baiat, bekerjasama dan menasihati.

Walhasil, tidak seperti Al-Mawardi yang menempatkan khilafah sebagai pusat legitimasi bagi tatanan politik umat, Ibnu Taimiyyah, menurut Anjum, sejatinya menempatkan masyarakat/komunitas sebagai pusatnya, dengan khilafah atau wilayah (otoritas politik) sebagai instrumennya.

Tesis Anjum tentang Ibnu Taimiyyah tersebut menarik kalau dikaitkan dengan pandangan Rasyid Ridla (1865-1935), perintis reformasi Islam yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyyah, mengenai khilafah dan pemerintahan berdasar syariah. Menurut Ridla, legitimasi kekuasaan khalifah sejatinya bersumber dari umat, melalui pendelegasian mereka kepada semacam dewan perwakilan yang terdiri dari ulama, ilmuwan, dan kaum profesional, yang pada masa klasik disebut ahlul halli wal ’aqdi.

Mereka inilah yang bertugas memilih khalifah dan memecatnya bila terbukti melanggar aturan syariah yang, bagi Ridla, mesti berporos pada maslahah (kepentingan umum). Bahkan menurutnya, mereka yang disebut sebagai ahlul halli wal ’aqdi tadi sejatinya termasuk kelompok yang disebut oleh al-Qur’an sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati oleh umat.

Untuk mencegah kemungkinan munculnya tirani (istibdad) dan otoritarianisme dalam diri khalifah, Ridla menekankan pentingnya penguatan deliberasi publik (syura) dan dewan ahlul halli wal ’aqdi, yang oleh Ridla cenderung diidentikkan dengan parlemen modern [baca: Demokrasi Mengembalikan Politik Islam ke Jalur yang Benar]

Menurut Ridla, umatlah yang mengangkat khalifah melalui pemilihan oleh suatu komite yang dikenal dengan sebutan ahlul halli wal aqdi. Konsekuensinya, umat sejatinya punya hak untuk menarik kembali bai’atnya terhadap khalifah, dengan catatan, sang khalifah tak memerintahkan maksiat, dan aturan-aturannya tak melanggar ketentuan syariah. Di sini Ridla menyitir hadits ”tak ada ketaatan terhadap makhluk Allah dalam kemaksiatan.”

Pergeseran titik tekan dari model tatanan politik yang khalifah sentris menuju ummah sentris ini sekaligus menggambarkan karakter pemerintahan syariah/siyasah syar’iyah pada masa pra-nation-state yang berbeda secara diametral dengan negara Islam/negara syariah di abada ke-20.

Ciri utama negara Islam/negara syariah adalah bahwa syariah berperan sebagai hukum positif. Ia menjadi hukum yang diundangkan dan dipaksakan berlakunya oleh negara. Ini berbeda dengan posisi syariah di masa pra-modern state, yang posisinya justru berada di atas negara, bahkan berperan sebagai rule of law yang mengontrol khalifah/sultan. Noah Feldman, sarjana hukum Islam dari Harvard University, menyebutnya sebagai Islamic constitutionalism.

Dalam The Fall and Rise of the Islamic State (2012), Feldman berargumen bahwa sepanjang sejarah Islam, syariah berfungsi sebagai hukum yang membawahi seluruh Muslim, tidak terkecuali khalifah atau sultan. Mereka semua harus tunduk kepada syariah. Yang berperan sebagai perumus dan penafsir syariah bukanlah khalifah, melainkan fuqaha’, khalifah/negara di sini hanya berperan sebagai eksekutor saja. Ulama berperan sebagai kekuatan di luar pemerintahan yang sewaktu-waktu bisa mengingatkan pemerintah agar tidak melanggar hukum. Dengan kata lain, keberadaan kelas ulama berfungsi sebagai check and balance terhadap khalifah atau sultan.

Dengan menempatkan syariah sebagai rule of law, maka sang penguasa tidak berada di atas hukum, melainkan harus tunduk terhadapnya. Dan karena syariah dirumuskan oleh para ulama yang nota bene merepresentasikan umat, dan ulama berperan sebagai pengontrol dan pengawas terhadap khalifah, maka tatanan politik Islam sejatinya bukanlah khalifah sentris , melainkan ummah sentris. Bukan berporos pada institusi khilafah melainkan justru pada ummah.

(Arsip 2017 yang ditayangkan ulang-red)

Baca juga: 

Demokrasi Mengembalikan Politik Islam ke Jalur yang Benar

Khilafah itu Institusi Politik, Bukan Agama!

Pemisahan Khilafah dan Otoritas Agama

Akhmad Sahal
Akhmad Sahal
Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.