Usai salat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta, pekan lalu, belasan ribu massa umat Islam yang didominasi Front Pembela Islam (FPI) berpawai di jalan-jalan ibukota. Demonstran meluruk sejumlah instansi pemerintahan, dari Balai Kota DKI hingga Mabes Polri. Orator aksi sampai meneriakkan seruan pembunuhan terhadap Ahok, Sang Gubernur DKI. Satu penggal cerita kemudian menjadi viral di media sosial, ketika sejumlah tanaman di taman depan Balai Kota rusak terinjak-injak oleh massa demonstran.
Sejumlah pihak memang mengapresiasi para demonstran yang bertindak tertib, tidak melakukan tindakan apa pun yang memancing reaksi aparat keamanan. Lebih-lebih selama ini citra FPI sering diidentikkan dengan aksi-aksi vandalisme yang menimbulkan sentimen negatif di mata publik.
Tapi citra positif yang coba dibangun tersebut seolah runtuh seketika, hanya gara-gara tindakan segelintir peserta aksi yang merusak taman. Pembenaran dan saling tuding sempat mencuat tentang siapa tertuduh perusak taman tersebut.
Mereka yang mendukung aksi demonstrasi itu berusaha mengecilkan dampak kerusakan taman. Menurut mereka, hampir setiap kehadiran massa dalam jumlah besar pasti berpotensi merusak sejumlah fasilitas umum. Misalnya, pesta rakyat pada saat pelantikan Jokowi-Ahok sebagai Gubernur DKI pada 2012 lalu ataupun malam perayaan Tahun Baru yang menghasilkan berton-ton sampah.
Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Taman kota telanjur rusak. Kerusakan itu mungkin kecil saja, ibaratnya nila setitik rusak susu sebelanga. Tapi soal taman rusak tidak bisa lagi dianggap hanya setitik nila. Di tengah kerinduan warga kota akan ruang-ruang publik yang lebih baik, aksi merusak seperti itu memberikan pukulan balik yang serius.
Kita tentu masih ingat, ketika publik ibukota sangat mengapresiasi kebijakan Dinas Kebersihan DKI dalam menyulap sungai-sungai yang semula dipenuhi sampah menjadi bersih. Foto-foto sungai bersih Jakarta mengundang decak kagum, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan pernah hadir di kota yang serba semrawut ini.
Taman dan sungai kini memasuki dimensi politik, terutama diawali oleh Tri Rismaharini di Surabaya. Risma yang berlatar belakang birokrat di Dinas Kebersihan dan Pertamanan berhasil memenangkan pertarungan politik sebagai wali kota bermodalkan kebijakan memperbaiki taman-taman kota.
Lebih dekat lagi dengan Jakarta, Ridwan Kamil yang berlatarbelakang akademisi di bidang arsitektur berhasil memikat hati warga kota Bandung dengan membuat taman-taman tematik. Anak-anak muda dari latar belakang kelas menengah yang hobi ber-selfie menemukan tempat untuk berkumpul dan memviralkannya.
Jika Ahok di Jakarta berhasil membersihkan sungai-sungai, di sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sukses dengan “hanya” membangun waduk. Pemikiran Nurdin sederhana saja, Kabupaten Bantaeng sebagai daerah pertanian menghadapi dua masalah menahun: banjir dan kekeringan.
Dua permasalahan tersebut diselesaikan dengan satu kebijakan, membuat waduk untuk menampung air saat musim hujan dan menyalurkannya saat musim kemarau.
Kembali ke Jakarta, Ahok bersikeras menggusur lokalisasi Kalijodo demi mengembalikan ruang terbuka hijau (RTH) yang masih belum mencapai target. Undang-undang tentang tata ruang mengamanatkan ketersediaan RTH minimal 30 persen, di antaranya 20 persen berupa RTH publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah kota.
Meskipun akurasi data masih diragukan, berpegang pada data dari Dinas Pertamanan dan Permakaman DKI, luas RTH di Jakarta baru mencapai 9,98 persen pada 2015 lalu. Artinya, pemerintah masih harus bekerja keras untuk mencapai target ideal di tengah belantara hutan beton ibukota.
Taman kota adalah salah satu elemen dari RTH. Tidak heran, rusaknya taman akibat ulah segelintir massa demonstran yang ingin menggusur Ahok dari pentas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI mendapat respons negatif dari publik. Di satu sisi, kelompok-kelompok Islam sangat mempersoalkan ucapan Ahok yang dinilai menistakan agama Islam. Di sisi lain, bukankah gambaran surga sebagai impian tertinggi setiap pemeluk Islam dideskripsikan dalam al-Qur’an laksana taman yang mengalir di bawahnya sungai-sungai?
Ketika taman itu rusak, sesungguhnya kita sedang merusak imaji tentang surga.