Tajuk Rencana Kompas berjudul “Politisi Muda Teruslah Bergerak” (13/8/2019) menarik untuk diulas lebih lanjut. Pasalnya, jumlah politisi muda yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 mengalami penurunan cukup signifikan dibandingkan periode 2014-2019.
Berdasarkan kajian Litbang Kompas, hanya 72 orang dari 575 anggota DPR atau 12,5 persen tergolong muda, alias berusia 40 tahun ke bawah. Persentase ini turun dibandingkan periode 2014-2019 yang mencapai 92 orang dari 560 anggota DPR atau 16,4 persen.
Fakta itu menunjukkan bahwa ancaman regenerasi politik makin nyata. Apalagi dari 72 calon legislatif (caleg) muda terpilih pada periode 2019-2024, sebanyak 50 persen diduga merupakan bagian dari politik kekerabatan (Kompas, 12/8). Artinya, secara riil politik, dengan menihilkan faktor politik kekerabatan, maka hanya ada 36 caleg muda yang lolos ke Senayan.
Anomali Politik
Situasi tersebut sesungguhnya menunjukkan dua hal. Pertama, telah terjadi anomali dalam lanskap politik tanah air. Sebab, di tengah gelombang kepemimpinan global yang mulai menempatkan kaum muda di berbagai pos strategis pemerintahan (eksekutif dan legislatif), justru kelompok muda di Indonesia makin terpinggirkan.
Tak hanya itu, geliat ekonomi digital, Revolusi Industri 4.0 dan era Society 5.0, yang seharusnya disambut dengan hadirnya talenta-talenta muda, malah sebaliknya. Kehadiran politisi muda di parlemen kian mengecil. Ini belum soal tantangan bonus demografi, di mana tahun 2020-2030 Indonesia akan menghadapi ledakan penduduk dengan jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen.
Selain itu, mengecilnya jumlah politisi muda di Senayan juga “bertabrakan” dengan semangat Presiden Jokowi yang berencana menggaet menteri muda dalam kabinetnya mendatang.
Kemunduran Demokrasi
Kedua, demokrasi seolah berjalan mundur karena sistem alih generasi masih menuai persoalan. Fakta bahwa politisi muda yang tampil selalu dilahirkan—mengutip Robert Michels (1968)—oleh sistem oligarki, baik oligarki kekerabatan ataupun oligarki pemodal, makin sulit terbantahkan.
Dalam sistem oligarki, sebuah kebijakan atau keputusan partai selalu bertumpuk pada kekekuasaan elite partai atau segelintir ”orang kuat”. Politisi muda sehebat apa pun jika tidak mendapat sokongan dari para oligark akan terseok-seok gerak langkahnya. Celakanya, sistem oligarki tak hanya mencengkram di arena kompetisi elektoral seperti pimilihan presiden, pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah, namun juga di roda kepemimpan partai politik.
Cengkeraman sistem oligarki tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah menciderai esensi demokrasi dalam pemilu. Dalam konteks elektoral, demokrasi dapat dimaknai sebagai upaya memperoleh kekuasaan melalui perjuangan kompetitif (Schumpeter, 1987). Disebut kompetitif manakala setiap calon anggota legislatif, misalnya, punya peluang dan modal yang sama.
Persoalannya, tidak jarang para politisi muda yang maju dalam kompetisi politik bak bayi lahir yang tidak diinginkan. Meskipun secara integritas dan kompetensi mumpuni, jika tidak menjadi bagian dari politik kekerabatan dan tak punya sokongan “orang kuat”, mereka tak ubahnya hanya sebagai ornamen pemilu.
Terlihat misalnya caleg-caleg muda dalam Pemilu 2019 lalu, tidak semua partai memberikan nomor urut atas. Mengutip laman rumahpemilu.org, dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, hanya ada 7 partai yang memberikan nomor urut 1 pada caleg muda. Sementara dari 80 daerah pemilihan (dapil), hanya terdapat 22 caleg muda yang mempunyai nomor urut 1.
Selain itu, caleg muda juga banyak yang ditempatkan di dapil neraka—sebutan dapil yang diperebutkan oleh tokoh besar dan populer, sehingga wajar jika kemudian banyak caleg muda sulit lolos ke Senayan.
Kesadaran Regenerasi
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya afirmasi pada politisi muda dan pentingnya regenerasi politik belum sepenuhnya tumbuh pada diri elite politik kita. Regenerasi politik masih berjalan lambat. Para politisi muda masih susah untuk tampil karena faktor bayang-bayang generasi lama.
Padahal, regenerasi sejatinya adalah suatu keniscayaan. Bangsa yang besar harus ditopang dengan regenerasi sumber daya manusia (SDM) yang seimbang. Keberimbangan generasi penting bukan hanya untuk roda estafet kepemimpinan nasional, lebih dari itu regenerasi diperlukan guna menjawab tantangan yang kompetitif.
Sebab, di tengah dunia yang berubah begitu cepat, para pemimpin (di setiap sektor) yang mampu adaptif dengan perubahan zaman amat dibutuhkan. Tidak ada negara maju di dunia yang terus mempertahankan status quo generasi. Negara-negara maju selalu adaptif dengan perubahan yang ada, yang salah satunya dengan membuka selebar-lebarnya peluang regenerasi.
Akhirnya, sudah saatnya para elite politik punya kesadaran penuh akan pentingnya regenerasi politik. Partai politik sebagai instrumen penting demokrasi modern harus berada di garda terdepan dalam mendorong terciptanya regenerasi, bukan malah menjadi penyumbat utama regenerasi politik.
Baca juga
Pemilu 2019: Bukti Kegagalan Kaderisasi Partai Politik