Jumat, April 19, 2024

Ketika Media Sosial Menjadi Semakin Personal

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

JILLY tiba-tiba menyeletuk, ”Gus, ada titipan pertanyaan dari Ibu saya: mengapa sekarang jarang fesbukan? Ibu saya selalu mengikuti tulisan-tulisan Gus Can.” Saya tergelak. Pertama, ada seorang ibu yang menggemari, bahkan mengikuti tulisan-tulisan saya, walau bahkan cuma update status.

Kedua, ada seorang pemuda yang sedemikian berbakti pada ibunya sampai-sampai tidak malu diamanahi pertanyaan. Ketiga, media sosial ternyata memang bisa menjadi tali silaturahmi, walau tidak selalu bisa. Sebagian dari penggunanya justru menjadikan media sosial sebagai gunting, pemutus tali kekerabatan.

Malam itu, Jilly datang ke Saung Juang, deretan kedai kecil namun hangat di Jalan Perjuangan, Karyamulya, Kesambi, Kota Cirebon, dengan berjaket Banser NU. Tertulis di bagian dada kanan jaket itu namanya: J. Maulana. Bersama Subhan, Nur Rahman Kun, para rapper asuhan Tabib Qiu dari Soul ID itu menampilkan lagu-lagu hip-hop karya mereka.

Di sela-sela kegiatan kami, Jilly menyampaikan titipan pertanyaan ibunya. Juga tentang proyek album musiknya yang tertunda karena Jilly harus lebih fokus mengurus anaknya yang terkena sakit thalasemia. Namun, ia tak berhenti untuk berkarya.

Tentang pertanyaan ibunya, jawaban saya ringkas, ”Sekarang, media sosial sudah tidak seasyik dulu.” Dulu, seingat saya, Facebook dan Twittwer adalah wahana bertegur sapa dan bertukar pikiran. Ada, memang, twitwar yang bahkan ditunggu-tunggu: antara selebriti media sosial yang satu dengan yang lain; atau dengan apa yang disebut sebagai social climber. Tapi, sepertinya tak sampai menembus batas kewajaran dan menimbulkan kebencian yang mengerak dan mengeras. Saat ini, media sosial bahkan telah mengerucut menjadi media personal. Semakin hari sentimen pribadi semakin menjadi-jadi.

Dan karena media sosial seolah sudah berubah menjadi media personal, kita suka membawa-bawa masalah pribadi ke ranah sosial. Seolah-olah dunia harus tahu kegembiraan kita, sekaligus pula kesedihan kita. Ia menjelma pengeras suara bagi bisikan kita, bahkan. Sebab, kita semakin suka membisik dengan nada tinggi dan volume melampaui keharusan. Semacam mencari perhatian dari orang-orang di luar lingkaran. Ya, media sosial berhasil menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Lebih dari itu, media sosial kini justru semakin sering dipakai menyebar ghibbah dan fitnah.

Beberapa tahun ini, kita menghabiskan energi yang amat besar untuk membenci. Membalas benci dengan benci. Menegur kebencian dengan kebencian. Mencaci keburukan dengan keburukan yang pada hakikatnya sama belaka. Merasa diri paling benar, bahkan mudah membawa dialektika di media sosial ke jalur hukum. Tak suka disalahkan, tak mau disalahkan, bahkan merasa tak bisa disalahkan, oleh pengguna media sosial lainnya. Sikap jumawa menjadi jumud di media sosial. Semakin sulit mendapatkan kerendahan hati di media sosial, sesulit menerimanya ketika sebenarnya ia masih ada di sana.

Kita sama tahu bahwa kebenaran bersifat relatif karena hanya Allah-lah Pemegang kebenaran yang mutlak. Namun, kita lalu mengatasnamakan Allah untuk mengadili kebenaran relatif. Mudah sekali bagi kita menemukan keburukan dan kekurangan orang lain—semudah merias diri dengan kata-kata bijak yang quotable seolah tak ada masalah dalam kehidupan kita di luar media sosial, atau setidaknya kita seperti ingin menunjukkan kehebatan berhasil keluar dari suatu masalah. Secara umum, pengguna media sosial terbelah menjadi penyuka dan pembenci. Isu agama dan politik masih menempati papan atas.

Yang mengherankan, media sosial seperti tak memberi ruang bagi perubahan sikap penggunanya; bahkan ketika seseorang itu merasa berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kita suka mengabadikan hal-hal di dunia maya ini. Padahal, tentu Anda pun sudah tahu, kehidupan di dunia nyata saja fana, apalagi kehidupan di dunia maya. Tapi, kita suka menyimpan rekam jejak seseorang demi menelisik perubahan-perubahan pada dirinya. Kita mengungkit masa lalunya dengan foto-foto screenshot, yang entah atas dasar apa dulu kita memotret layar percakapan orang itu di akun media sosialnya.

Di dunia media sosial, jika sejak awal seseorang tidak baik di mata kita, maka sulit baginya untuk menjadi baik di mata kita. Dan itu terbawa-bawa di kehidupan sosial dalam artian yang sesungguhnya. Itu juga karena sebagian dari pengguna media sosial memunculkan karakter yang bukan dirinya yang sesungguhnya ke media sosial. Ia menjadi orang lain bagi dirinya sendiri; kemudian ia perkenalkan orang lain itu sebagai dirinya. Pada akhirnya, terasa atau tidak, ia mengalami krisis jatidiri. Ia lebih suka dikenal sebagai orang lain itu daripada sebagai dirinya sendiri. Lambat-laun ia kehilangan diri.

Namun, tidak bisa tidak diakui, media sosial membawa pengaruh-pengaruh baik bagi penggunanya. Tentu saja, teorinya mudah: jika media sosial itu digunakan untuk kebaikan, maka niscaya itulah yang kita dapatkan. Praktiknya yang susah, ya. Susah membawakan hal-hal populer tanpa berharap tepuk-tangan khalayak. Susah pula membawakan hal-hal yang tidak populer tanpa khawatir caci-maki khalayak. Apalagi bagi yang menjadikan media sosial sebagai dunia yang lebih besar dari kesehariannya sebagai makhluk sosial yang menginjak bumi, ia merasa hidup di awang-awang lini masa.

Saya masih percaya bahwa masing-masing dari kita menjadi cerminan bagi masing-masing dari kita. Yang kita sangka bodoh belum tentu tidak cerdas. Siapa tahu ia bertindak laksana cermin yang menyesuaikan diri dengan siapa pun dan apa pun yang di hadapannya. Seluas-luas media sosial memberi ruang bagi setiap penggunanya untuk memperkenalkan diri, kita takkan pernah cukup mengenalinya tanpa perjumpaan langsung. Tatap muka. Bicara sebagai sesama manusia, bukan sebagai akun media sosial. Cengkerama dalam garis waktu, bukan sekadar dalam lini masa, itu perlu untuk saling mengenal.

Namun, media sosial tampaknya semakin menunjukkan keaslian wajahnya sebagai media personal. Kita mudah menemukan pengguna Twitter, misalnya, berseru, ”Akun-akunku sendiri, suka-suka aku mau kugunakan untuk apa!” Plus, umpatan, ”Siapa suruh jadi follower-ku? Kalau tidak suka, unfollow saja.”

Di Facebook, kita semakin sering menemukan kegiatan “bersih-bersih” friend. Karena jarang menanggapi, walau sekadar pencet like, dianggap tak lagi layak dipertahankan sebagai teman. Demikianlah pergaulan hari ini. Ada panggung sandiwara yang diagungkan melebihi panggung realita.

Kolom terkait:

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian

Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.