Jumat, Maret 29, 2024

Kereta Cepat untuk Siapa?

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
Sejumlah penumpang turun dari KRL Commuter Line Jakarta-Bogor di Stasiun Besar Bogor, Jawa Barat, Senin (17/8). Dalam rangka memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) memberikan tiket gratis mulai pukul 08.00-17.00 WIB berlaku untuk 884 perjalanan dari 69 rangkaian kereta yang dilayani perseroan di seluruh wilayah Jabodetabek. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/nz/15
Sejumlah penumpang turun dari KRL Commuter Line Jakarta-Bogor di Stasiun Besar Bogor, Jawa Barat, Senin (17/8).  ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Problem utama kelas menengah tanggung yang hidup di Jakarta adalah persoalan mencari hunian. Sesuai namanya, posisi para eksponen berpenghasilan cukup, cukup hanya untuk bayar tagihan, ini memang serba tanggung. Tidak berhak dapat subsidi rumah murah, namun juga susah untuk mendapat hunian layak yang cuma selangkah ke tempat kerja.

Pelariannya adalah daerah penyangga yang terbentang di Bogor, Depok, Tangerang, sampai ujung galaksi di Bekasi. Masalah berikutnya muncul: naik apa ke tempat kerja?

Selama ini para penglaju menggantungkan nasib pada transportasi publik yang kondisinya tidak ideal kalau tak mau dibilang menyedihkan. Pada saat yang sama, kereta supercepat Jakarta-Bandung akan dibangun, meski beberapa saat kemudian kecepatannya dikoreksi menjadi kereta cepat saja.

Kereta cepat ini akan melengkapi jalur yang sebelumnya sudah terhubung melalui jalur kereta warisan Belanda yang kini masih digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia, Jalan Raya Puncak peninggalan Daendels, sampai jalan tol Cipularang yang diklaim sebagai peninggalan Megawati. Jalur ini padat pada akhir pekan dan libur panjang oleh warga ibu kota dan sekitarnya yang sudah sumpek dihajar tuntutan hidup selama hari kerja.

Sementara menurut data Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, setiap hari kerja ada lebih dari 1 juta warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menggantungkan nasib pada rel kereta Commuterline Jabodetabek serta jalan tol Jagorawi, Cikampek, sampai ruas Jakarta Tangerang untuk sampai ke tempat kerja di Jakarta.

Satu juta orang yang harus ke Jakarta demi periuk nasi tetap berisi ini hanya dilayani kereta Commuterline dengan ketepatan waktu yang hanya Tuhan yang tahu, bus antar kota yang lebih cocok jadi angkutan barang, sampai angkutan yang sebetulnya ilegal, omprengan.

Pun, yang tinggal menginjak gas mobil pribadi harus berebut tempat di jalan tol setiap hari. Sebagai penglaju rutin, catatan terbaik saya melahap 60 kilometer jarak Bogor-Jakarta, dengan berbagai moda transportasi, di hari kerja adalah satu jam.

Sementara mereka yang akan belanja baju di Factory Outlet, makan Batagor Kingsley, atau foto narsis di bibir Tebing Kraton sambil mencolek Ridwan Kamil di Twitter tinggal menunggu waktu saja untuk dilayani kereta yang akan memangkas jarak sejauh 150 kilometer dalam waktu kurang dari satu jam.

Ironis.

Lebih ironis lagi kalau kereta tadi sudah kadung beroperasi saat sistem transportasi ibu kota masih begitu saja. Gagah perkasa melewati Bandung-Jakarta hanya dalam 60 menit berganti raut wajah pasrah mendapati ruas Rasuna Said-Mampang Prapatan padat merayap nyaris tak bergerak.

Ada harapan saat Presiden Joko Widodo meresmikan proyek pembangunan light rail transit (LRT) atau kereta cepat ringan tahap pertama pada Rabu (9/9) lalu. Jika rampung, moda transportasi ini akan menghubungkan daerah penyangga, yakni Bogor, Bekasi, serta Cibubur dengan pusat aktivitas ibu kota mulai dari Cawang, Kuningan, Sudirman, Senayan, Palmerah sampai Grogol. Dalam waktu hampir bersamaan, bus Transjabodetabek juga sudah mulai beroperasi melayani penumpang.

Jika LRT terwujud, proyek prestisius mass rapid transit rampung, penambahan jumlah bus Transjakarta terlaksana, serta angkutan pendukung seperti Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway dan Transjabodetabek telah terintegrasi, kita akan melihat wajah kota yang ramah pada pengguna angkutan massal.

Harus diakui, selama ini niat menjadi warga negara yang baik dengan memilih bepergian dengan angkutan umum tidak pernah mendapat penghargaan yang wajar. Kualitas moda transportasi yang miris, koneksi antar moda yang kacau balau, sampai isu keselamatan yang masih saja menjadi momok menakutkan. Justru pengguna kendaraan pribadi yang selalu mendapat karpet merah: mulai dari pajak rendah, kemudahan kredit, sampai kebijakan pemerintah yang lebih getol membuka lahan untuk jalan raya ketimbang rel kereta.

Suka atau tidak suka, kita mesti banyak berterimakasih pada meneer-meneer kompeni Belanda. Tanpa perlu studi banding yang memalukan harga diri bangsa, mereka sudah merancang suatu sistem transportasi massal untuk cicit-cicitnya. Mulai dari Jalan Raya Pos sampai jaringan kereta yang mengintegrasikan Jawa dalam satu kesatuan. Memang, beda pemikiran pemakan keju dengan pemakan uang rakyat.

Pada akhirnya kota-kota yang baik adalah kota yang menjamin kebebasan warga untuk bergerak, memberi banyak pilihan untuk berpindah ruang tanpa harus dibatasi ketiadaan akses transportasi. Jokowi, Ahok, Bima Arya, juga para kepala daerah di area megapolitan Jabodetabek hanya perlu membangun akses transportasi yang layak untuk menjadi manusia setengah dewa.

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.