Kenapa Robertus Robet Tak Harus Jadi Tersangka?
Robertus Robet ditangkap pada Kamis (8/3) dini hari oleh Direktorat Siber Mabes Polri. Berdasarkan keterangan yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, diketahui penangkapan dilakukan berbekal Surat Perintah Penangkapan nomor: SP.Kap/25/III/2019/Dittipidsiber dengan sangkaan melanggar pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan/atau pasal 14 ayat (2) Jo pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 2017 KUHP.
Robet dianggap menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan serta menghina suatu penguasa atau badan hukum saat berorasi di aksi Kamisan pada 28 Februari 2019. Khususnya bagian menyanyikan plesetan Mars ABRI yang kerap dibawakan aktivis 98′ saat demonstrasi menuntut reformasi, 20 tahun lalu. Kira-kira liriknya begini:
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/tidak berguna/bubarkan saja/diganti Menwa/kalau perlu diganti pramuka.
Dedi menyatakan unsur pelanggaran tersebut didapatkan dari laporan polisi level A. Artinya, laporan yang dilakukan polisi sendiri karena menganggap sebuah kejadian berpotensi melanggar hukum dan/atau meresahkan publik.
Namun, Dedi menyatakan pihaknya belum menemukan barang bukti pelanggaran. Ia pun menyatakan polisi belum mengetahui motif Robet melakukan orasi tersebut.
Meskipun begitu, Robet tetap ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Sebelum akhirnya dibebaskan dengan status tersangka tetap berlanjut sampai sekarang.
Dari kronologi singkat tersebut, menurut saya terjadi kecacatan hukum. Penetapan Robet sebagai tersangka tanpa bukti kuat bertentangan dengan pasal 1 angka 14 Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di situ dikatakan, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Penjelasan status tersangka termaktub dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa:
1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti.
2) Untuk menentukan memperoleh alat bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
Andaikan polisi menggunakan video Robet saat menyanyikan plesetan Mars ABRI sebagai alat bukti, itupun riskan miskin konteks. Sebab, sangat mungkin polisi menggunakan video penggalan saat momen tersebut saja yang memang beredar luas di media sosial dan menjadi pemantik anggapan Robet menghina TNI. Yang awalnya disampaikan seorang pensiunan perwira TNI dan kemudian diamini banyak warganet lain.
Padahal, jika dicermati konteks orasi Robet dari video utuh yang diunggah JAKARTANICUS, menurut saya tidak ada sama sekali unsur penghinaan di dalamnya. Justru gagasan Robet sangat bagus. Ia mengingatkan bahaya Dwi Fungsi ABRI tercipta kembali lewat gagasan penempatan TNI aktif yang sedang non-job di pos-pos sipil sebagai eselon I, seperti yang diungkapkan Luhut Binsar Panjaitan, dan aksi Kamisan saat itu memang mengambil tema menolak usulan tersebut.
Saya setuju dengan gagasan Robet tersebut. Sudah semestinya polisi sebagai elemen penegak hukum yang bertanggung jawab menjaga senantiasanya demokrasi di negeri ini turut setuju. Mengingat pelibatan TNI dalam mengurusi lembaga sipil tidak baik untuk tatanan demokrasi dan melanggar UU TNI, selain juga bisa merusak tatanan birokrasi yang sudah tersusun dan berjalan.
Lagipula, setelah banyak desakan dari warganet yang menganggap Robet menghina TNI, Robet telah membuat klarifikasi dengan menyatakan, “lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau, bukan TNI di masa kini, apalagi dimaksudkan untuk menghina profesi dan institusi TNI.”
Semestinya penjelasan Robet tersebutlah yang dipegang polisi jika memang penangkapannya berdasarkan laporan level A. Bahkan mungkin semestinya tidak perlu ada laporan level A karena klarifikasi Robet dilontarkan sebelum penetapannya sebagai tersangka dan sudah jelas sasaran kritiknya adalah ABRI, bukan TNI. ABRI sudah tidak ada. Sehingga unsur penghinaan terhadap institusi negara seperti yang disangkakan tidak berlaku lagi.
Saya kira yang membuat pelaksanaan UU ITE dan pasal penghinaan lainnya dipermasalahkan publik, adalah karena kejadian seperti yang menimpa Robet. Ketika polisi tidak melakukan proses hukum sesuai prosedurnya dan mengkaji konteks kasus secara tepat.
Karena, sebetulnya UU ITE dan pasal penghinaan lainnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara serta menghindari terjadinya persekusi di luar jalur hukum. Sayang sekali jika maksud tersebut pada akhirnya tertutup oleh stigma masyarakat terhadap proses penindakan polisi yang cacat hukum.
Merujuk pada pengalaman saya melaporkan ujaran kebencian yang menimpa saya kepada polisi, saya yakin polisi bisa bertindak sesuai prosedur. Saat itu saya dituduh anak PKI oleh seseorang di media sosial. Polisi menerima laporan saya, lalu melakukan penyidikan. Mengumpulkan bukti-bukti video dan unggahan lainnya di internet, lalu memeriksa saksi-saksi.
Setelah semuanya terkumpul, polisi baru melakukan penangkapan terhadap terduga tersangka untuk meminta keterangannya. Setelah dua alat bukti terkumpul, barulah dia ditetapkan sebagai tersangka. Saat itupun saya akhirnya berdamai karena pelaku telah meminta maaf. Saya putuskan semuanya selesai. Makanya saya kaget dengan tindakan polisi terhadap Robet.
Terlepas dari semua itu, saya kira tahun politik ini tidak perlu ditambah kegaduhannya dengan serentetan penangkapan-penangkapan yang tidak perlu. Biarkan saja orang-orang yang mau mengekspresikan kritiknya terhadap pemerintah, seperti melalui aksi Kamisan. Anggap saja itu sebagai sebuah koreksi dan masukan dalam iklim demokrasi bagi pemerintah.
Begitupun TNI dan para pensiunannya tidak perlu menjadi institusi yang tipis kuping dengan kritik-kritik masyarakat kepada mereka dengan meresponnya sebagai penghinaan atau ujaran kebencian.
Sebaliknya, ini bisa menjadi momen bagi TNI untuk menjelaskan kepada masyarakat upaya-upaya mereka dalam merestrukturisasi dan mereformasi internalnya. Bahwa mereka sudah berusaha stay out dari politik, seperti halnya netralitas yang mereka lakukan saat pemilu. Bahwa TNI sudah terbuka dengan audit terhadap bisnis-bisnis mereka.
Karena, faktanya, masih banyak masyarakat yang masih tidak mengetahui proses-proses tersebut. Bahkan tidak memahami Dwi Fungsi ABRI dan bedanya ABRI dengan TNI.
Terakhir, saya berharap status tersangka Robet bisa digugurkan polisi dan tidak terjadi lagi kasus serupa.