Saat mengampu mata kuliah Islamic Law di kampus tempat saya mengajar di Australia, saya bertanya kepada para mahasiswa: “Setujukah Anda kalau ada proposal pembangunan masjid di lingkungan Anda tinggal?” Salah satu mahasiswa menjawab: “Tidak masalah. Tapi, tolong jangan didirikan di sebelah rumah saya.” Kelas pun ramai dengan derai tawa.
Salah satu persoalan klasik dalam relasi antara agama dan negara adalah masalah izin mendirikan rumah ibadah. Minoritas sering mendapat kesulitan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti yang baru-baru ini diviralkan di media sosial. Kondisi di Australia berbalik: Muslim yang mayoritas di Indonesia bertukar tempat menjadi minoritas di Australia.
Ada beberapa kasus sukses dan gagal dalam proposal mendirikan masjid di Australia. Saya ceritakan kasus-kasus ini di dalam buku saya, yang ditulis bareng bersama Prof. Ann Black dan Prof. Hossein Esmaeili, judulnya Modern Perspectives on Islamic Law (terbit di Inggris, 2011 dan 2013). Saya ceritakan ulang di sini.
Kasus pertama: pada 2002, Abbas Aly, seorang pemeluk Syi’ah di Annangrove, New South Wales, mengajukan aplikasi kepada otoritas lokal untuk membangun masjid di tanahnya sendiri. Segera setelah itu lima ribu penduduk menulis surat keberatan kepada local council bahwa mereka menolak aplikasi pendirian masjid. Alasannya, karena proposal masjid itu tidak sesuai dengan karakter komunitas di Annangrove yang Kristiani.
Saat menunggu aplikasinya diproses, berlangsung aksi vandalisme, di mana jendela dipecahkan bahkan beberapa kepala babi diletakkan di pagar. Pemerintah setempat kemudian menolak aplikasi Abbas Aly dengan alasan yang sering terdengar di mana-mana: “kelompok Abbas hanya beberapa orang yang tinggal di area itu, dan mayoritas tinggal di tempat lain. Akan menjadi keributan di area apabila setelah masjid berdiri akan banyak komunitas Abbas Aly yang pindah ke lokasi itu. Penduduk lokal menolak mereka.”
Dengan kata lain, “It would cause social unrest and anti-social behaviour, and would not accord with the community’s shared beliefs.”
Abbas Aly tidak menyerah. Dia membawa kasus ini ke New South Wales State Land and Environment Court. Pengadilan memeriksa aplikasi Abbas Aly dan penolakan otoritas setempat. Kesimpulannya, Pengadilan mengizinkan Abbas Aly membangun masjid dan memerintahkan otoritas di Annangrove untuk mengizinkan pembangunan masjid berjalan terus, terlepas dari penduduk setempat menyetujuinya atau tidak. Ini perintah pengadilan. Semua harus taat.
Alasan Pengadilan sederhana: semua aspek pembangunan baik dari segi keamanan, kesehatan publik, dampak lingkungan, air, lahan parkir, dan aturan lainnya telah terpenuhi. Tidak ada alasan menolak proposal bangunan apa pun selama semua syarat telah terpenuhi. Kini masjid tersebut telah berdiri megah. Lima ribu penandatangan petisi penolakan patuh pada keputusan pengadilan.
Contoh aplikasi yang gagal. Pada 2011 di Elermore Vale, Newcastle, Australia, proposal membangun masjid ditolak oleh Joint Regional Planning Panel dengan alasan tidak memenuhi persyaratan lahan parkir dan jalan raya. The Newcastle Muslim Association menolak alasan tersebut karena masjid hanya membutuhkan lahan parkir saat salat Jumat saja. Di hari-hari biasa jamaah masjid tidak akan sebanyak Jumatan.
Penduduk setempat juga menolak proposal tersebut dengan alasan utama perencanaan bangunan, lokasi, dan besarnya bangunan. Mereka bukan beralasan soal sentimen agama, atau karakter dan kepercayaan setempat. Mereka bilang kalau ada proposal sejenis dari komunitas agama lain, yang tidak memenuhi persyaratan, pasti mereka tolak juga.
Sebagai respons dari penolakan itu, Asosiasi Muslim di Newcastle melakukan perubahan proposal dengan membatasi jamaah Jumatan hanya 250 dari semula 400. Tapi, tetap saja masalah lahan parkir tidak bisa terpenuhi. Karena dibutuhkan 267 tempat parkir, sementara proposal yang ada hanya mampu menyediakan 160 tempat parkir. Di Australia, mendirikan bangunan tidak bisa seenaknya. Ada syarat yang ketat dan harus dipenuhi semua pihak.
Di samping itu, perencanaan kota juga tidak mendukung proposal karena area yang hendak dibangun masjid itu bukan diperuntukkan untuk lahan pembangunan rumah ibadah baik masjid atau lainnya. Itu area perumahan biasa (residential). Akhirnya pada 15 Maret 2012, the New South Wales Land and Environment Court menolak banding dari Asosiasi Muslim ini.
Di belahan Australia lainnya, ketegangan juga menyeruak saat ada aplikasi pembangunan masjid. Kembali ke jawaban polos mahasiswa saya yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Mereka tidak mau dibilang anti-Islam saat menolak aplikasi masjid, makanya mereka bilang: “Tidak masalah!” Tapi dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: “Tapi, tolong jangan didirikan di sebelah rumah saya.”
Apa maksudnya?
Setelah saya tanya lebih jauh, itu karena harga tanah di sekitar lokasi rumah ibadah (masjid, gereja atau yang lain) biasanya jatuh di pasaran. Masalah kebisingan, parkir sembarangan, dan tingkah laku para “pemeluk surga” yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat setempat, menjadi alasan mereka. Jadi, ini alasan yang sekuler dan kapitalis untuk menolak proposal rumah ibadah. Tapi, ini nyata dan harus diperhatikan juga keberatan penduduk dengan alasan semacam ini. Bukankah Islam itu rahmatan lil alamin?
Biasanya hanya ada tiga atau empat keluarga Muslim di area sekitar lokasi proposal, lantas masjid berdiri, maka ini akan menjadi magnet untuk keluarga Muslim lainnya, yang umumnya imigran itu, pindah ke area sekitar masjid. Setelah itu, terbentuklah komunitas Muslim baru di area itu, dan mulai hadir rumah makan kebab, toko daging halal, setelah beberapa saat mereka akan membangun pula sekolah Islam.
Apalagi masjid di Australia biasanya dibangun oleh komunitas etnik tertentu. Maka, yang pindah bukan hanya sekadar Muslim, tapi juga etnik tertentu yang biasanya mereka tidak mau membaur dengan warga setempat. Hanya bergaul dan berinteraksi di komunitas mereka sendiri saja. Begitu seterusnya. Lambat laun penduduk lokal akan merasa terdesak dan jengkel melihat perubahan karakter area mereka, yang semula bersih, teratur dan tertib.
Artinya, ini bukan semata-mata soal anti-Islam atau ketakutan melihat lambang bulan sabit dan bintang di atas bangunan masjid. Masalahnya juga tidak bisa hanya didekati lewat pendekatan legal-formal semata. Harus ada pemahaman aspek sosial-budaya saat meneropong masalah ini.
Semoga kisah dari negeri Kanguru ini membawa kita lebih bijak melihat persoalan pendirian rumah ibadah di tanah air. Tidak mudah menjadi minoritas. Saya beruntung mengalami kondisi menjadi mayoritas di Indonesia dan menjalani hidup sebagai minoritas di Australia. Minimal saya punya bahan cerita yang berbeda.
Butuh kearifan menyelesaikan persoalan semacam ini. Semoga di pemerintahan Jokowi periode kedua masalah ini bisa lebih tertangani dengan baik melalui cara pandang yang lebih konstruktif dan komprehensif. Bagaimanapun juga UUD 1945 sudah menjamin hak semua warga negara untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Ini amanat para pendiri bangsa kita!
Baca juga
Darurat Kebebasan Pendirian Rumah Ibadah
Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor