Sejak kejatuhan Kabul di tangan Thaliban tanggal 15 Agustus 2021 yang lalu, mata dunia tertuju ke Afghanistan. Dunia mencermati setiap peristiwa dan drama yang terjadi di negeri itu. Apalagi setelah hengkangnya pesawat terakhir pasukan Amerika Serikat dari bandara Hamid Karzai pada 31 Agustus 2021 yang juga menandai kemerdekaan Afghanistan. Berbagai berita, ulasan dan komentar mengenai Thaliban dan Afghanistan dilahap orang. Masyarakat internasional terbagi dalam berbagai segmen. Ada yang sekedar ingin tahu, ada yang merasa cemas dan ada pula yang menaruh harapan. Lalu, bagaimana sikap kita sebagai bangsa Indonesia atas peristiwa ini ?
Indonesia harus menjalankan amanat para founding fathers yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sikap anti penjajahan dan mendukung kemerdekaan tidak hanya menjadi menjadi sikap dasar politik luar negeri kita, tapi juga harus menjadi prinsip hidup kita. Sebagai negara yang sudah terlepas dari penjajahan, Indonesia juga harus mendukung bangsa-bangsa lain yang masih tertindas dan sedang memperjuangkan kemerdekaannya.
Pendudukan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan selama 20 tahun sejak 2001 hingga 2021 telah menghancurkan negara yang dijuluki sebagai ‘the Heart of Asia’ oleh seorang pemikir Muslim, Muhammad Iqbal. Sebelumnya, rakyat Afghanistan juga menderita akibat invasi Uni Soviet dari tahun 1979 hingga 1989.
Derita rakyat Afghanistan juga diperparah dengan persaingan dan perang saudara antarfaksi dan antaretnis. Penguasaan asing ikut memberikan andil dalam meremukkan kohesifitas Afghanistan sebagai bangsa. Kelompok Thaliban dan Mujahidin tidak menunjukkan adanya chemistry dalam perjuangannya.
Selain itu ada pula kelompok IS-K (Islamic State of Khurasan), sebuah kelompok bergenetik ISIS di Afghanistan. Khurasan adalah sebutan wilayah ini di masa lampau. Dan, yang tidak boleh dilupakan adalah sisa-sisa pengikut organisasi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang belum terakomodasi ke faksi-faksi yang ada. Persaingan antaretnis pun sering berujung pada permusuhan dan pertikaian yang tak berkesudahan. Nyawa melayang sia-sia seakan tak terhitung jumlahnya. Seperti diketahui bahwa negeri ini dihuni oleh 4 etnis yang menonjol, yaitu Pasthun (yang menjadi suku mayoritas), Tajik, Hazara dan Uzbhek.
Perang dan pertikaian menghiasi keseharian penduduk Afghanistan. Jutaan warganya terpaksa melakukan diaspora ke berbagai negeri lain sebagai pengungsi. Mereka meninggalkan kampung halaman karena alasan kedamaian, ekonomi dan kebebasan. Meninggalkan tanah kelahiran adalah pilihan pahit yang harus mereka pilih. Sebagai negara ‘sasaran antara’, Indonesia ikut merasakan getah dari para pengungsi Afghanistan ini. Para imigran ini sebenarnya menjadikan Australia sebagai tujuan utama pengungsian. Namun karena ada berbagai faktor hambatan, sebagian dari mereka masih terdampar di Indonesia.
Episode Kukuasaan Thaliban
Sebuah peralihan kekuasaan seringkali ditandai dengan ketidakstabilan politik dalam negeri. Ketidakteraturan, keguncangan dan kegaduhan akan mewarnai hari-hari awal paska pengambilalihan pemerintahan. Ini merupakan gejala umum yang terjadi dalam proses menuju titik keseimbangan yang baru. Kita hanya berharap normalisasi keadaan ini tidak banyak menimbulkan petaka, tertutama adanya korban jiwa.
Setiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri menuju kematangan dan kemandirian. Setiap bangsa harus bisa belajar dari pengalaman yang mereka lalui berupa jalan-jalan yang terjal, berliku dan berdarah-darah. Yang juga tidak boleh diabaikan adalah mengambil pelajaran dari pengalaman bangsa-bangsa lain.
Dunia akan melihat bagaimana Thaliban mengendalikan pemerintahan baru Afghanistan. Lima tahun memegang tampuk kekuasaan dari tahun 1996 hingga 2001 adalah pengalaman yang sangat berharga. Mereka tentu tidak ingin terjerembab dalam lubang-lubang yang sama. Saat memerintah, Thaliban memberikan tempat perlindungan istimewa bagi basis Al Qaeda untuk mengoperasikan jaringannya. Thaliban juga pernah menghancurkan situs Budha di lembah Bamiyan yang berumur 1500 tahun. Itulah di antara catatan untuk Thaliban yang membuat mereka saat itu dikucilkan dalam pergaulan internasional.
Media yang selama ini dikuasai oleh Barat banyak membuat propaganda yang menyudutkan Thaliban. Berbagai stereotip negatif dilekatkan kepada Thaliban. Mereka disebut sebagai kelompok Islam radikal yang ingin menerapkan syariat Islam secara rigid seperti pada abad pertengahan. Namun, jika dilihat dari madzhab yang dianut mayoritas warga Muslim Afghanistan, yaitu madzhab Hanafi, maka asumsi yang disematkan kepada mereka selama ini belum tentu benar adanya. Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Hanafi dikenal dengan pendekatan yang lebih rasional dibanding madzhab lainnya. Madzhab ini juga banyak dianut di Turki, Irak, anak benua India dan sebagian negara-negara pecahan Uni Soviet.
Kehidupan yang diwarnai dengan perang yang terus menerus memang bisa menempa seseorang berwatak keras. Tapi, manusia adalah makhluk pembelajar dari pengalaman yang dilaluinya. Bahasa Inggris dengan tepat menyebut manusia sebagai human being, sebuah diksi yang menggambarkan adanya ‘proses yang sedang menjadi’.
Dunia akan terus mengamati langkah-langkah politik yang akan diambil oleh rezim Thaliban. Akankah rezim Thaliban dapat menjawab kecemasan sebagian warga dunia akan kembali tampilnya mereka dalam panggung kekuasaan Afghanistan. Warga diaspora Afghanistan yang sekarang mengungsi di berbagai belahan bumi juga terus mengikuti perkembangan. Mereka tentu berharap rezim Thaliban dapat membawa Afghanistan ke arah yang jauh lebih baik. Setiap orang selalu merindukan kampung halamannya sendiri, seperti pepatah leluhur kita “Setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga”.