Jatuhnya Afghanistan ke tangan kelompok Taliban tidak pelak melahirkan kekacauan yang mengejutkan di ibu kota, Kabul dan Afghanistan secara keseluruhan. Di saat mata dunia tertumbuk ke negara ini, tak banyak yang menyoroti apa dan bagaimana kehidupan pengungsi Afghan di seantero dunia. Padahal ini menjadi pelajaran yang tak kalah krusialnya bagi Indoneia yang ingin menegakkan prinsip-prinsip multikulturalisme. Salah satu pusat masyarakat Afghanistan di Australia adalah Dandenong.
Dandenong, berjarak sekitar 11 km dari Clayton di mana saya tinggal, adalah sebuah daerah pinggiran yang berada di sebelah tenggara kota Melbourne. Ia dikenal sebagai salah satu daerah paling multikultural di Australia dan menjadi kediaman menyenangkan bagi masyarakat dari 150 negara yang berbeda. Semangat multikulturalisme kawasan ini pertama kali mulai menyala dengan kedatangan para pengungsi Hazara dari Afghanistan.
Pada tahun 2014, suku Hazara menciptakan replika patung Buddha Bamyan yang terkenal. Buddha Bamyan merupakan bagian penting warisan budaya mereka. Nenek moyang suku Hazara telah mengukir patung ini 14 abad yang lalu. Mereka ingin menghormati warisan budaya tersebut. Replika kecil ini sekarang berada di taman kawasan bersejarah Dandenong’s Heritage Hill. Keberadaannya merupakan bukti semangat kerja sama dan keramahtamahan luar biasa 10 suburb (semacam kelurahan) yang membentuk kota Dandenong. Daerah ini telah diyatakan sebagai zona ramah pengungsi. Kota ini juga merupakan rumah bagi Jaringan Lintas Agama (Interfaith Network) pertama di Australia.
Pada bulan Maret 2001, Taliban menghancurkan dua patung Buddha Bamyan, dua patung raksasa yang diukir di tebing-tebing daerah Afghanistan Tengah. Taliban mengaggapnya berhala dan bertentangan dengan keyakinan Islam Sunni. Afghanistan Tengah, yang dikenal sebagai Hazarajat, adalah rumah bagi warga Hazara, sebuah etnis minoritas di Afganistan di tengah-tengah mayoritas Pashtun dan minoritas yang lebih besar, Tajik.
Konflik lebih satu abad telah menyebabkan penyebaran orang-orang Hazara, mulai ke Pakistan hingga ke seluruh dunia. Ribuan pengungsi Hazara meninggalkan Afghanistan dan Pakistan menuju Australia dalam dua dan tiga dekade terakhir. Masyarakat Hazara, seperti kebanyakan masyarakat Afghanistan, beragama Islam. Namun, berbeda dengan suku Pashtun dan Tajik, sebagian besar suku Hazara adalah Syiah. Inilah salah satu alasan mengapa secara historis mereka mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Di daerah tenggara Melbourne ini, komunitas Hazara dan pengungsi Afghanistan lainnya telah mengokohkan dirinya. Di bagian pusat Dandenong, pengunjung bisa menemukan Afghan Bazaar, toko-toko yang menjual pizza dan kebab Kabul, tukang daging Bamyan hingga pelbagai toko-toko Afghanistan lainnya. Hal teranyar di komunitas ini, para pencari suaka, terutama laki-laki lajang, telah diizinkan meninggalkan pusat-pusat penahanan semisal Christmas Island untuk tinggal di daerah pinggiran kota. Mereka tidak diizinkan untuk mendapatkan pekerjaan berbayar dan mengajukan visa reuni keluarga.
Salah satu aktivitas budaya menarik dari warga Afghanistan ini adalah perayaan tahun baru di Afghanistan disebut Navroz. Hari pertama bulan Afghanistan, yakni Hamal yang jatuh pada tanggal 21 Maret, adalah hari pertama tahun baru di Afghanistan. Ia dianggap sebagai salah satu hari libur terbesar di sana. Salah satu tradisi terbesar orang Afghanistan di Nawroz adalah mengenakan pakaian hijau dan memasak penganan hijau. Ini bermaksud memberikan awal baru pada kehidupan mereka, sama seperti pertumbuhan tanaman hijau di musim semi. Mereka akan menjadi hijau, bahagia dan segar sampai akhir tahun. Kata hijau dalam bahasa Dari adalah “sabz.” Oleh karena itu, orang Afghanistan menyiapkan tujuh piring yang dimulai dengan huruf “S.”
Masyarakat Hazarat berupaya mengekspos identitas budaya dan seni mereka sebagain upaya untuk mengintegrasikan diri ke masyarakat Australia. Salah satunya adalah Omagh Celebration yang diselenggarakan oleh Multicultural Arts Victoria. Acara ini dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat Hazarat, terutama artis profesional. Mereka mengadakan workshop mengenai puisi, musik, tari dan teater untuk melestarikan dan mengenalkan kembali kaum Diaspora Hazarat dengan budaya mereka. Dalam kegiatan ini, yang tak pernah ketinggalan adalah penampilan alat musik tradisional mereka, Damboora—gitar atau kecapi dengan 2 dawai berbentuk leher yang panjang. Alat musik ini amat populer yang juga ditemukan di negara-negara Asia Tengah lainnya
Lewat sokongan pendanaan dari Dinas Pemerintahan Victoria tentang Masalah Multikultural dan Kewarganegaraan (Victorian Office of Multicultural Affairs and Citizenship), proyek pembuatan patung Buddha of Bamyan oleh warga Hazara telah membangun persahabatan dan hubungan antara orang-orang yang terisolasi. Ini juga memungkinkan mereka untuk menunjukkan warisan budaya mereka kepada masyarakat luas.Kota Dandenong berada di jantung multikultural Australia. Lebih dari separuh penduduknya berbicara bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan setidaknya 60 persen lahir di luar negeri di 150 negara yang berbeda.
Dua puluh lima tahun yang lalu, jaringan antaragama pertama Australia terbentuk di daerah ini, sebagai tanggapan terhadap ketegangan antara komunitas agama. Sejak itu, menurut beberapa anggota dewan setempat, jaringan ini telah menjadi salah satu batu karang tempat kota Dandenong berdiri. Hal ini sangat didukung oleh dewan kota melalui keberadaan seorang pekerja dewan, in-kind support (jenis manfaat jaminan sosial yang berbentuk barang atau pelayanan sosial), dan pekerjaan berbayar yang baru-baru ini diciptkan.
Jaringan Antaragama Dandenong ini telah dikenal karena aktivitas turnya di tempat-tempat ibadah keagamaan setempat. Dengan dukungan para pemimpin agama dari berbagai spektrum dan sekitar 60 relawan, ia menyelenggarakan tur reguler oleh siswa, guru, pegawai negeri, pengunjung luar negeri, klub layanan dan anggota masyarakat umum.
Aktivitas wisata ini membawa pengunjung ke dalam bangunan yang luar biasa tersebut. Di sini energi dan visi komunitas imigran disalurkan. Warga Afghanistan yang tinggal di Dandenong betul-betul menikmati kebebasan menjalankan keyakinan mereka, sebuah kebebasan yang dirayakan oleh fondasi dan bangunan keagamaan mereka.