Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian kewenangan Komisi Yudisial (KY) terkait seleksi hakim mengingatkan publik pada peristiwa sepuluh tahun lalu. Sebanyak 31 Hakim Agung menguji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY agar MK membatasi kewenangan komisi khusus itu mengawasi Hakim Agung. Dengan dalil independensi kekuasaan kehakiman, MK mengabulkan permohonan tersebut dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006.
Dengan dalil yang sama tentang independensi kekuasaan kehakiman dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, MK kembali melenyapkan kewenangan KY dalam proses seleksi hakim. MK berpendapat bahwa kewenangan KY bersama Mahkamah Agung (MA) melakukan seleksi hakim pada lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama adalah kewenangan yang bertentangan konstitusi.
Lenyapnya kewenangan KY dalam seleksi hakim kian memperkuat opini tentang pelemahan organ konstitusional itu. Sejak era Bagir Manan sikap anti-KY telah dibangun. Ketua MA itu bahkan menolak panggilan KY terkait perkara suap yang menjerat para Hakim Agung. Bahkan MA membatalkan pemberlakuan beberapa pasal keputusan bersama KY dan MA terkait kode etik perilaku hakim dengan memanfaatkan kewenangan judicial review di MA.
Penolakan MA terhadap kewenangan KY ditindaklanjuti dengan upaya yang lebih besar, yaitu “menghilangkan” kelembagaan KY. Langkah itu terbaca pada pertemuan pimpinan MA dengan pimpinan MPR yang berisi rencana pembubaran KY melalui amandemen UUD 1945.
Antipati MA terhadap keberadaan KY semakin terlihat ketika menolak rekomendasi KY dalam mengawasi hakim. Ketika KY merekomendasikan agar MA memberikan hukuman terhadap pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Sarpin Rizaldi, MA dengan penuh percaya diri menolak rekomendasi tersebut. Lebih jauh, secara institusi MA terkesan mendukung upaya Hakim Sarpin “memidanakan” pimpinan KY Suparman Marzuki dan Imam Anshari Shaleh.
Puncak dari upaya “mematikan” KY adalah peran mantan Hakim MA yang berada di MK dengan membatalkan kewenangan KY menyeleksi hakim. Pertimbangan hakim MK adalah proses seleksi hakim haruslah dilakukan sendiri oleh MA agar independensi kekuasaan kehakiman dapat terjaga. MK berpendapat pelibatan KY adalah bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Logika MK itu dapat dibantah dengan kewenangan dalam pengisian hakim agung dan hakim konstitusi. UUD 1945 justru mendesain pengisian hakim agung sebagai kewenangan utama KY dan hakim MK diisi dengan melibatkan tiga lembaga: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan MA.
Peran KY dalam seleksi hakim bukanlah bentuk intervensi karena kewenangan itu berkaitan dengan kewenangan KY di dalam konstitusi. Pendapat demikian didukung Hakim Konstitisi I Gede Dewa Palguna yang berbeda pendapat dengan para hakim MK lainnya. Menurut Palguna, kewenangan KY dalam seleksi hakim adalah bentuk pelaksanaan wewenang lain dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim yang diberikan UUD 1945.
Itu sebabnya putusan MK diduga tidak mempertimbangkan aspek historis kehadiran KY dalam konstitusi. Padahal semangat dari pelaku perubahan UUD 1945 adalah memperkuat mekanisme pengawasan dan perbaikan seleksi hakim dan hakim agung. Dalam Buku VI Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 yang diterbitkan MK, seluruh fraksi di MPR sepakat menghadirkan KY untuk melakukan seleksi hakim dan melindungi kehormatan, martabat, serta perilaku hakim.
Alih-alih memperbaiki independensi sistem seleksi hakim, MA justru menyalahkan keterlibatan KY sehingga menunda proses seleksi hakim sejak 2010. Penundaan seleksi terjadi karena pertikaian MA dan KY semakin kental. Banyak pihak menduga bahwa proses seleksi hakim yang dilakukan MA sarat dengan ketertutupan, kolusi, dan nepotisme.
Jika tidak ingin terus diasumsikan sebagai lembaga yang buruk, MA harus melakukan pembenahan menyeluruh dalam proses seleksi hakim. Misalnya, MA memaparkan kepada publik tentang rancangan mekanisme seleksi hakim yang transparan dan akuntabel.
Agar sengkarut kewenangan MA dan KY tidak terus memburuk, MA harus mencoba membangun kerja sama dengan KY dalam seleksi tersebut. Misalnya, KY diberikan kewenangan mengawasi proses seleksi dan menyatakan batal atau tidaknya sebuah seleksi. Dengan demikian, kewenangan seleksi hakim tetap berada pada MA, dan di sisi lain tugas KY dalam rangka melindung keluhuran profesi hakim juga terlaksana.
MA juga dapat menggunakan mekanisme yang telah dipakai KY dalam proses seleksi hakim. Misalnya, KY telah berupaya membangun kapasitas calon hakim melalui pendekatan “jemput bola” di lapangan. Sebagai lembaga tua yang diisi para hakim yang mulia, MA harus menyudahi perseteruan dengan KY. Superioritas kelembagaan harus dihilangkan. Bagaimanapun MA tak dapat menafikan peran konstitusional KY dalam mengawasi cabang kekuasaan kehakiman. Kematian KY adalah kematian UUD 1945.