Sewaktu bom meledak di Madinah, saya menunggu, seperti yang lumrah saya lakukan pada waktu-waktu kejadian genting merebak.
Jejaring sosial sudah hiruk pikuk tak karuan. Dan kepanikan, seperti sudah bisa diterka, adalah minyak yang menyulut informasi simpang siur merambat liar. Saya kira tindakan yang bijak dalam situasi ini adalah menunggu. Menunggu kabar dari media yang, saya tahu, tak akan mempertaruhkan kredibilitasnya.
Saya percaya New York Times. Surat kabar ini memenangi Pulitzer jauh lebih banyak dari media mana pun. Sebuah fitur di majalah LIFE pada tahun 1951—merayakan 100 tahun New York Times—menulis surat kabar ini sebagai media yang besar karena kekayaan dari laporan dan ulasannya.
“Surat kabar orang-orang yang ingin memperoleh informasi,” puji Meyer Berger Meyer. “Bukan ingin memperoleh hiburan atau inspirasi.”
Saya, tentu, tak mempercayai koran ini dengan naif, apalagi berniat mempromosikannya gratis. Saya hanya ingin menyampaikan, ada alasan mengapa kita bisa meyakini redaksinya tak akan melakukan keteledoran yang sama dengan media-media tertentu. Times, sebutan koran ini, jelas, punya reputasi yang telah dibangunnya lama dan mereka tak akan macam-macam dengannya.
Dan, hasilnya? Saya kecewa. Beberapa lama menunggu, saya tak kunjung mendapatkan berita sela yang mengabarkan bom Madinah.
Setiap kali ada peristiwa internasional yang menggegarkan, Times akan mengabarkan pembacanya melalui surel secepat mungkin. Times punya basis pembaca internasional yang luas—koran ini toh disirkulasikan di tak kurang dari 38 negara termasuk Indonesia. Lantas, mengapa berita tentang bom Madinah lantas tidak mencuat sampai di halaman internasional keesokan harinya?
Teori yang paling menyenangkan untuk menerangkan kesenjangan perlakuan ini, disadari atau tidak, adalah teori Islamofobia. Media Barat bias dengan belahan dunia Islam karena Barat tak bersimpati dan tak pernah punya simpati dengan agama ini.
Menyenangkan? Ya, menyenangkan, pasalnya kita mendapat pembenaran untuk mengutuk, mengecam, mengancam Barat selepas-lepasnya. Dan pelepasan emosi, kita tahu, nikmat. Namun, apa yang menyenangkan biasanya menyederhanakan. Menyederhanakan? Ya. Pertama, saya tak yakin Times punya intensi untuk bias, apalagi kalau itu bisa melucuti reputasinya sebagai koran yang paling melingkupi.
Keesokan harinya, bahkan, seakan berusaha menebus kegalatannya, Times mengulas mengapa media serta media sosial di Barat tak menganggap tragedi yang melanda umat Muslim punya derajat urgensi yang sama dengan tragedi Paris atau Brussel. Laporannya yang berjudul “After Attacks on Muslims, Many Ask: Where Is the Outpouring?” cukup ekstensif. Surat kabar ini mewawancarai disiden Suriah serta mengumpulkan pandangan-pandangan warga awam, peneliti, guru ihwal ketimpangan ini.
Saya lebih meyakini, karenanya, peristiwa ini pada awalnya tak terdeteksi radar Times. Media punya radar dan radar ini terasah tajam dari usaha berulang-ulang memastikan liputan, penempatan gambar, penulisan judulnya memikat pembacanya. Maka, pertanyaannya bukanlah apakah media punya itikad untuk memberitakannya atau tidak, melainkan, apakah bom Madinah menghenyakkan publik di Barat?
Kenyataannya, tidak.
Facebook, yang lazim mengaktifkan fitur untuk memastikan keselamatan rekan Anda kala insiden terjadi, tak melakukan hal yang sama. Para pengguna Facebook tidak ramai-ramai mengganti foto profilnya dengan pernyataan belasungkawa apa pun, sebagaimana yang terjadi sewaktu penembakan mengguncang berbagai sudut di Paris.
Pihak media sendiri bukannya tak mewartakan pemboman di Madinah ini. Persoalannya, tanggapan pembaca bisa dipastikan datar. Pembaca tak mengkliknya. Berita ini, dalam perhatian mereka, hanya menjadi bintik di antara rerimbunan informasi yang memusingkan. Dan cukup untuk satu alasan ini, media tak akan tergugah untuk menggalinya lebih jauh.
Apakah ini mencerminkan bagaimana Islamofobia bekerja? Lagi-lagi, tidak. Bila kita menuding kemanusiaan khalayak di Barat dapat dipertanyakan lantaran peristiwa ini, tiga jari kita yang menuding tertuju kepada kita sendiri. Apakah kita menyadari ledakan besar terjadi di Baghdad tempo hari? Korban jiwa yang jatuh, tercatat, adalah yang paling banyak sejak Perang Irak pada 2003. Ia adalah tragedi nasional di negaranya.
Penjelasan tanggapan kita yang dingin ini ada pada sebuah kenyataan pahit yang sudah kita ketahui namun jarang mau kita akui. Anda mau mendengarnya? Ini kenyataan pahitnya: kemanusiaan adalah gagasan yang membosankan. Membosankan dan normatif, tepatnya.
Sebagian kalangan, dalam usaha yang mungkin patut dihargai, menyerukan agar masyarakat global mendoakan Turki, Irak, Bangladesh, Saudi ketika negara-negara ini mengalami tragedi yang merenggut jiwa warga sipil. Akan tetapi, kita pun pasti insaf, imbauan ini tak pernah benar-benar diindahkan, lebih-lebih menjadi animo yang menjangkiti khalayak luas. Ini pun kalau kita tak tega mengatakan orang-orang yang menyerukannya nampak kesepian.
Dan kalau kemanusiaan pada dirinya sendiri memang ide yang menggiurkan, bukankah nyaris setiap hari seharusnya kita berduka? Dan, bukan hanya karena teror-teror bersenjata. Kasus pemerkosaan kerumunan pun, contoh lainnya, berkali-kali terjadi sebelum ia menimpa Yuyun yang malang. Media memberitakannya. Tetapi, khalayak baru berduka kala para selebritas beramai-ramai meluapkan keprihatinan mereka.
Tetap saja, tak ada yang bisa diubah dari fakta getir tidak semua manusia sama di mata kematian. Ada kematian yang mengisap perhatian kita. Ada yang, tak terhindarkan, sekadar akan menjadi data belaka.
Dan rumus untuk memilah dua kematian yang berbeda ini, boleh jadi, lebih tak menyenangkan lagi untuk didengar. Apabila kematian tersebut terjadi di tempat yang tak seharusnya, kita akan lebih mudah memuntahkan kedukaan. Atau, untuk lebih gamblangnya, ketika ia terjadi di Prancis, seluruh belahan dunia berduka. Ketika ia terjadi di Belgia, banyak pihak berbela sungkawa. Ketika ia diperbincangkan oleh wajah-wajah yang akrab di layar televisi, kita akan mengatakan ia tragedi bangsa.
Artinya? Jarang yang mau menyampaikan ini tanpa tedeng aling-aling tapi, intinya, ada tempat-tempat tidak terhormat di mana kematian massal sekalipun kita anggap sebuah kewajaran. Kita akan menerimanya sebagai fakta statistik, penghias halaman internasional berbagai surat kabar, atau berita di linimasa media sosial yang tak perlu mendapatkan waktu luang kita.
Namun, pada akhirnya, mungkin itulah watak sosial dari kematian. Selalu menandakan kelas. Selalu menandakan ketimpangan. Citra penderitaan manusia di negeri lain atau di pelosok lain Indonesia sendiri, toh, kalau kita tak enggan mengakuinya, terlalu abstrak untuk mengungkit kesedihan kita. Kita berduka untuknya apabila kita diingatkan dan diceramahi, ini kewajiban Anda sebagai sesama manusia.
Di luar itu? Jumlah korban jiwa tak lebih dari pengisi kekosongan berita-berita daring. Para redaktur meminta wartawannya untuk menulisnya dan berharap publik tergugah serta menyebarkannya di laman media sosial. Tetapi, yang mereka dapati hanyalah khalayak yang lebih menggebu-gebu dengan kabar perceraian artis.
Toh, seperti yang sudah saya bilang, kemanusiaan adalah gagasan yang membosankan. Kita hanya perlu figur seperti Donald Trump atau Rodrigo Duterte yang telah putus urat malunya untuk menyuarakan kejemuan yang kita simpan diam-diam ini.
Bukan begitu? Mirisnya, begitulah.