Jas Merah adalah istilah yang populer di negeri ini. Semua pasti mengetahui makna singkatannya “Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah” dan juga “Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah”.
Momentum lahirnya Gerakan Koperasi yang telah dideklarasikan pada tahun 1947, bahwasanya 12 Juli 2020 ini, existing Gerakan Koperasi di bumi pertiwi ini telah menapaki usia 73 tahun. Merujuk pemikiran Bung Hatta tentang koperasi, sebagaimana mengutip tentang sejarah pemikiran Hatta mengenai koperasi berawal dari kehidupan Bung Hatta kecil.
Berdasarkan historis, ayahanda Bung Hatta dahulu mempunyai bisnis ekspedisi atau pengiriman paket dengan menggunakan kuda. Dari bisnis tersebut, ternyata disadari bahwa semua yang terlibat mulai dari kuda, orang yang mengantar paket, orang yang memberi makan kuda, yang mengatur perjalanan, dan yang lainnya memiliki tugas masing-masing.
Tapi, bagaimana mereka membangun kolektivitas untuk ekonomi yang baik,”. Demikian juga dengan budaya, Bung Hatta yang berasal dari Minangkabau, memiliki budaya kekeluargaan yang kuat untuk saling menolong. Bung Hatta sebagai figur pemimpin dengan anak buahnya saling kerja sama dan musyawarah mufakat.
“Bung Hatta membuat suatu konklusi bahwa bangsa Indonesia harus berdasarkan kebersamaan atau gotong royong,”. Kebersamaan atau kegotongroyongan pada sistem ekonomi dimanifestasikan dalam bentuk koperasi.
Dalam pemikiran Bung Hatta, koperasi adalah usaha bersama atau gotong royong untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Jadi, orang yang menjadi anggota koperasi harus mempunyai kepentingan yang sama. Contohnya fakta saat ini, para karyawan yang bekerja di gedung perkantoran dan kesulitan mencari makan siang bisa mendirikan Koperasi Katering.
Melalui koperasi Katering ini, bisa diatur segala sesuatunya, mulai dari membeli alat makan, sendok, menyiapkan menu, dan segala macam lainnya yang dikelola secara bersama. Koperasi dapat memecahkan persoalan karyawan yang kesulitan mencari makan siang.
Kebersamaan atau gotong royong inilah dari arti penting koperasi. Pengelolaan koperasi ini harus seutuhnya untuk kepentingan bersama, koperasi bukanlah entitas bisnis yang semata-mata tujuannya mencari keuntungan. Apabila entitas bisnis lain mencari laba yang dipungut dari para pelanggannya, maka koperasi tidak sekadar mencari laba. Koperasi berdasarkan pada prinsip keanggotaan tidak memungut laba, karena pelanggan (customer) adalah anggota koperasi yang sekaligus juga pemilik saham di koperasi.
Tugas koperasi adalah memfasilitasi anggota supaya anggota mampu mencari laba sendiri dari usahanya. Satu hal yang ditekankan adalah koperasi hanya didirikan apabila sekelompok orang yang ingin mendirikan koperasi itu memilki kepentingan bersama. Ada sistem kerja yang di dalamnya terkandung prinsip 3A, yaitu: Asah, Asih, dan Asuh (Mendidik, Memahami, dan Membina). “Apabila di antara calon-calon anggota tidak memiliki kepentingan bersama, kiranya jangan mendirikan koperasi, karena hanya sekadar bersimpati kepada ide koperasi.
Sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama itu haruslah orang-orang yang sering bertemu, baik yang berdasar alasan se-rukun tempat tinggal, se-RT se-RW, setempat kerja, seprofesi, atau pun sejenis mata pencaharian. Sukma dan roh dasar dari koperasi adalah “menolong diri sendiri secara bersama-sama atau bergotong royong”.
Secara bergotong royong tersebut akan membentuk sinergi, merupakan kemampuan yang berlipat-ganda untuk menyelesaikan kepentingan bersama. “Misalnya, para petani buah yang habis panen lalu berjajar dipinggir jalan menunggu pembeli supaya dagangannya laku. Karena kepentingannya sama, maka dirikanlah koperasi. Koperasi tersebut bisa menyalurkan hasil panen ke grosir atau pedagang besar. Jadi, para petani penghasil buah tidak harus menunggu pembeli hingga dagangannya busuk,”.
Menekankan, pada dasarnya kata kunci dalam prinsip koperasi merupakan tindakan secara bersama-sama atau bergotong royong yang akan membentuk sinergi, yaitu kemampuan melipatgandakan untuk penyelesaian kepentingan bersama. “Di sini diperlukan kecerdasan. Bahwasanya, anggota koperasi tidak harus sejahtera dulu, namun cerdas dulu baru kemudian bisa sejahtera secara bersama-sama,”. Bahwasanya, untuk membangun koperasi menjadi satu kekuatan ekonomi, perlu dibentuk jejaring koperasi, dimana satu koperasi dengan koperasi lain bisa membangun sinergitas berdasarkan prinsip simbiosis mutualisme.
Sebagai ilustrasi, koperasi batik pernah berjaya beberapa waktu lalu yang mampu menguasai industri hulu sampai hilir di bidang batik. Dahulu pernah mencuat ada GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan bahkan sampai memiliki Gedung bergengsi di Semanggi. Namun, karena kebersamaan dan jejaring itu tidak dijaga, maka lama-kelamaan juga tenggelam,”. Di luar negeri, kita melihat ada banyak negara dengan koperasi maju karena dibangun atas dasar kebersamaan. Contohnya di Kolombia, Amerika Selatan.
Realitasnya, sebagaimana diketahui bersama akhir tahun 2019 atau awal tahun 2020, masyarakat Indonesia dan dunia internasional dihadapkan pada eskalasi ekonomi, disebabkan pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Begitu juga, tentunya masyarakat gerakan koperasi dihadapkan pada dinamika lingkungan eksternal bisnis yang sangat turbulens, sehingga menuntut organisasi melakukan proses konsolidasi untuk dinamisasi dengan pembaharuan secara berkelanjutan (sustanaibility).
Corona Virus Disease (Covid-19) akan tetap bersama kita di masa kenormalan baru. Risiko kematian tetap harus kita hadapi sambil melanjutkan hidup yang tidak boleh berhenti. Tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan kebersamaan dan gotong royong yang telah terbentuk saat pandemi, bahkan harus melembagakannya agar semakin kuat menjadi pranata (norma) di masyarakat.
Nilai gotong royong merefleksikan solidaritas dan kohesi sosial suatu komunitas. Dalam tatanan praktis, kegiatan gotong royong merupakan prakondisi terbentuknya pranata sosial. Dalam konteks penguatan kelembagaan sosial, nilai gotong royong merupakan fondasi yang harus melandasi berbagai aktivitas yang akan dilaksanakan suatu komunitas. Pembahasan tentang pranata sosial akan difokuskan pada berbagai pranata sosial yang terbentuk dalam menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat setempat serta fungsi dan peran sosial apa yang kemudian dimainkan oleh pranata tersebut di tengah dinamika kemasyarakatan yang terjadi.
Secara terminologi, belum ada kesepahaman di antara para ahli tentang pengertian kelembagaan. Dalam banyak literatur teori, istilah “pelembagaan” (social institutionalization) selalu disilangkan dengan “organisasi” (social organization). Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan di antara para ahli. “What contstitutes an ‘institutionalization’ is a subject of continuing debate among social scientist…. The term institution and organization are commonly used interchangeably and this contributes to ambiguity and confusion”. Belum ada istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan sarjana sosiologi untuk menerjemahkan istilah Bahasa Inggris ‘social institutionalization’’.
Pasca pelantikan para menteri Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo menyatakan keinginan membangun demokrasi gotong royong. Ia menyampaikan di Indonesia tidak ada oposisi seperti di negara lainnya. Demokrasi kita adalah demokrasi gotong royong. Istilah demokrasi di Indonesia memang suka ditambah-tambahi. Presiden Soekarno menambahkan kata ”terpimpin”, jadilah demokrasi terpimpin. Presiden Soeharto menambahkan kata ”Pancasila”, jadilah demokrasi Pancasila. Di negara lain demokrasi ditambahi kata ”rakyat” yang sebenarnya secara harfiah berlebih-lebihan karena di dalam demokrasi itu sendiri sudah mengandung arti rakyat.
“Bahwa demokrasi Indonesia yang berdasar atas hikmat dari musyawarah (konsensus), buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!, “kata Soekarno. Gotong royong bukan saja merupakan kekayaan sosial budaya (social cultural), melainkan juga ”modal sosial (social capital)” yang hampir secara merata dijumpai pada setiap sub-kultur masyarakat Indonesia.
Dalam pelembagaan gotong royong terkandung unsur visi nilai kehidupan sosial (”ideologi”), spirit perjuangan kolektif, semangat saling menghargai (mutual collective trust), dan keorganisasian kerjasama yang kompatibel terhadap kemajuan masyarakat (bangsa). Tanpa kekuatan pelembagaan gotong royong, mustahil masyarakat Indonesia dapat melepaskan diri dari keterpurukan ekonomi kebutuhan dasar, dominasi bangsa asing, serta penjajahan politik dari bangsa lain.
Revitalisasi pelembagan adat gotong royong dapat dijadikan wahana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh (deep participation) dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance). Aspek hulu dari kekuatan gotong royong adalah tata nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat adat.
Jika terhadap tata-nilai adat-istiadat dapat dilakukan pengembangan melalui rekayasa sosio-politik yang terarah, maka melalui kelembagaan gotong royong dapat dibangun kompetensi SDM lebih baik, perubahan struktur masyarakat (ke arah yang lebih egaliter; tidak polaristik), manajemen sosial yang lebih sehat, serta kepemimpinan sosio-politik yang merepresentasikan kemajuan Bersama dalam tingkat komunitas lokal maupun nasional.
Gerakan kolektif dalam penguatan kelembagaan gotong royong secara terarah akan memudahkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan kemandirian (masyarakat) bangsa yang dilandaskan pada keadilan sosial. Berkaitan dengan itu dibutuhkan dukungan kemauan politik (political will) yang kuat dari kalangan elit kepemimpinan pemerintahan, partai politik, masyarakat adat, serta masyarakat bisnis di tingkat daerah dan pusat.
Gotong royong bisa dianalogikan contohnya tradisi masyarakat pedesaan tatkala membangun rumah, semua terlibat, tetapi tiap-tiap bagian menyelesaikan tugasnya yang berbeda-beda. Ada yang buat jendela, pintu, dinding, lantai, bikin sumur, tapi semua konvergen dengan output tunggal, yaitu rumah ditegakkan agar para penghuninya bisa terlindung.
Pelembagaan gotong royong dipilih karena mampu mengakomodasi kepentingan bersama dari masyarakat yang sangat heterogen. Fakta empiris, banyak riset memberikan simpulan bahwa semakin beragam kelompok, justru semakin kreatif, inovatif, tahan banting, dan semakin tinggi peluang keberlanjutan suatu kelompok atau komunitas tersebut. Pelembagaan gotong royong akan menguatkan penegakkan etika otonom dan moralitas di komunitas.