Minggu, November 24, 2024

Kekhalifahan yang Khilaf: Sebuah Analisis-Reflektif

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
- Advertisement -

Tulisa ini akan dimulai dengan beberapa nash yang lazim digunakan dalam konteks kajian kekhilafahan. Kita perlu mengetahui bagian ini demi menarik satu benang merah yang merentang sepanjang zaman.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Lema khalifah yang dimaksud ayat ini merujuk Adam as selaku manusia pertama. Kekhalifahan yang sudah ia sandang, menuntutnya agar memelihara dan menghantarkan segala yang diwujudkan di dunia ini sesuai fungsi-tujuan penciptaan. Di sini makna khilafah lebih bersifat ilahiah.

Penggunaan kata khalifah yang kedua, manakala Nabi Daud as diangkat sebagai raja. Termaktub dalam ayat, “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami (Allah) jadikan khalifah di bumi, maka berikanlah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad [38]: 26)

Sejauh ini, para pejuang khilafah percaya bahwa Nabi Saw telah menjanjikan kemunculan kembali kejayaan Islam pada akhir zaman. Mereka menyebutnya dengan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Inilah dalil yang mereka pegang:

“Adalah masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian Beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad: IV/273).

Kita punya satu ayat lain yang berkaitan dengan subjek tulisan ini:

“Dan, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan, sesiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur [24]: 55)

Mendiskusikan khilafah, tak syak lagi, kita perlu menilik kehadiran Hizbut Tahrir yang didirikan Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani. Ia telah meletakkan dasar adicitanya sampai pada taraf yang cukup teknis—melalui buku-buku seperti Mafahim Hizbut Tahrir (sebagai tanggapan kegagalan modernisasi dan kapitalisme), Ajhizah Daulat al Khilafah (menjelaskan struktur kekhilafahan dan sistem pemerintahan), Ad Daulah al Islamiyah (pemaparan dasar hukum penegakan khilafah dan strukturnya), dan An Nizham al Ijtima’i fil Islam (pedoman kehidupan warga negara dan interaksi umat Muslim).

Bagaimana seandainya bila kita hidup di bawah naungan khilafah? Saya merujuk Ajhizah Daulat al Khilafah (Struktur Negara Khilafah) dan Ad Daulah al Islamiyah (Daulah Islam) agar pengandaian kita sejalan dengan pedoman yang mereka citakan. Dalam Daulah Islam, tertulis Rancangan Undang-Undang Dasar jika kekhilafahan telah tegak di muka bumi. Kelak negara-negara Islam yang bersedia mengikuti sistem khilafah akan bersatu dalam satu kepemimpinan khalifah, yang batas akhir jabatannya hanya ditentukan bila meninggal, mengundurkan diri, atau dipandang tidak mampu oleh mahkamah mazhalim—yang lucunya dilantik khalifah.

Seluruh negara yang menyetujui khilafah akan menjadi daerah setingkat provinsi, dipimpin oleh wali atau amir. Rancangan yang menyertakan 191 pasal, merentang mulai sistem negara, pemerintahan, para menteri dan gubernur, kehakiman, politik dalam-luar negeri, sampai sistem sosial-ekonomi, sayangnya tidak mencantumkan di mana pusat kekhalifahan akan dijalankan. Syarat seorang khalifah harus laki-laki, muslim, merdeka, baligh, adil, dan berkemampuan. Perihal kepantasan, konon akan diserahkan pada sistem mahkamah mazhalim dari pihak kehakiman dan pengawas pemerintahan, serta majelis umat yang mewakili rakyat di tiap-tiap wilayah. (Taqiyuddin, 2015).

- Advertisement -

Sebagaimana diterakan di atas, syarat khalifah haruslah pria. Perempuan juga tidak boleh memangku jabatan pemerintahan yang berkaitan dengan kekuasaan, seperti gubernur, atau kedudukan setara menteri yang disebut mu’awin (pasal 116). Hukum asal perempuan, menurut RUU ini, cukup gamblang: seorang perempuan adalah ibu sekaligus pengatur rumah tangga, dan merupakan kehormatan yang wajib dijaga (pasal 112).

Dalam pasal 26 disebutkan bahwa kalangan non-muslim tidak memiliki hak pilih. Lalu apa model Islam yang akan dipakai sebagai dasar negara. Kekhilafahan akan menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya. Islam model apa yang akan digunakan? Keterangan dalam buku Daulah Islam menerangkan bahwa, peran khalifah atas tegaknya syariah ialah sejalan dengan “hukum dan metode yang ia pakai untuk dirinya, sehingga ia terikat dengan hukum syariat tersebut.”

Ada beberapa hal tentang isu khilafah yang perlu ditelaah lebih lanjut. Pertama, kalau diperhatikan secara normatif, Alquran maupun Hadits, sebenarnya tidak secara terang mendorong Muslim membangun imperium khilafah. Kecuali penekanan konsep khalifah secara personal, dan peran aktif manusia sebagai perwakilan tuhan di muka bumi, yang bertanggungjawab atas kemakmuran peradaban dunia. Ada pun teknis institusional, diserahkan kepada ijtihad pribadi maupun kolektif umat di masing-masing negeri. Khilafah lebih sebagai produk pemikiran yang historis, bukan keharusan teologi-politik-normatif.

Kedua, memang pernah muncul kekhalifahan dalam lingkup terbatas seperti era Khulafa ar-Rasyidun, maupun yang lebih luas sedari Ummayyah hingga Turki Utsmani. Namun apakah konsep khilafah tersebut masih mungkin diterapkan pada era sekarang, di mana negeri-negeri muslim sedang bermetamorfosa dari sistem dinastik-tiranik-otoritarianmenuju demokratisasi dan negara berdaulat, dan konsep ummah yang bertransformasi menjadi kewarganegaraan?

Ketiga, konsep khilafah dan upaya penerapannya terasa sangat utopis-romantis. Sangat berjarak dengan realitas empirik negeri Muslim yang tengah menuju proses demokratisasi.

Keempat, sebenarnya dunia Islam telah memiliki beberapa badan internasional semacam The Organization of Islamic Conference (OIC/OKI), Rabithah Alam Islami, Liga Arab, dll, yang beranggotakan lebih dari 50-an negara. Tapi sampai hari ini, upaya menyatukan mereka saja masih kedodoran, apalagi bila digabung dalam sistem khilafah yang lebih unifikatif. Meminjam teori Muhammaad Abid Al-Jabiri, pemikir asal Maroko, konsep khilafah itu lebih bersifat bayani (tekstual-normatif) tinimbang burhani (rasional-empiris).

Secara etimologi, bayani berarti penjelas, ketetapan, dan pernyataan. Sedangkan secara terminologis dimaknai sebagai pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’ dan ijtihad. Sistem Bayani ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai macam aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana. Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula, dengan menyandarkan apa yang belum diketahui ke yang sudah diketahui, dan apa yang belum tampak ke yang sudah tampak.

Menurut Jabiri, otoritas kebenaran berada pada wahyu atau teks. Peran akal di sini sebagai perangkat pembedah kebenaran yang terkandung dalam teks tersebut. Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, sistem bayani menempuh dua jalan. Berpegang pada teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab semacam nahwu-sharaf, dan berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika atau penalaran selaku sarana analisis. (Jabiri, 2014)

Kelima, dari segi semangat persatuan dan kritik terhadap sistem kapitalisme, pemunculan ide khilafah memang benar, kendati yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana memformulasikan secara lebih realistis-empiris konsep khilafah tersebut pada level glokal. Hal yang perlu dicatat, ada syariat Islam yang bersifat universal, dan juga lokal. Masing-masing negara berpenduduk Muslim memiliki ciri khas nuansa fiqhnya, yang pasti berbeda sesuai tantangan masing-masing. Tidak bisa dipukul rata. Di Eropa malah sudah muncul konsep Western Islam sebagaimana yang dilontarkan Tariq Ramadan, cucu Hassan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.

Keenam, bila konsep khilafah terus dipaksakan, maka akan terjadi benturan adicita-politis, bahkan struktural-birokratis, antara umat Islam dengan non-muslim—mungkin pula dengan Muslim sekular. Bila itu terjadi, jelas akan berdampak kemunduran di masing-masing negara.

Perdebatan Para Mufasir

NADIRSYAH Hosen dalam bukunya Tafsir Al-Quran di Medsos: Mengaji Makna dan Rahasia Ayat Suci di Era Medsos (2017) menuliskan, bahwa para pihak yang menukil nash dengan misi menegakkan khilafah, jelas penipu publik. Beberapa golongan bahkan berani mengklaim bahwa jika tidak percaya dengan janji Allah akan kedatangan khilafah, sama saja telah murtad. Nadirsyah mengabarkan, berdasarkan kajian komparasi sejumlah kitab tafsir klasik dan kiwari, menunjukkan pemahaman seperti di atas jelas kekeliruan yang nyata.

Ada pun janji Allah dalam ayat tersebut sebenarnya sudah terpenuhi pada masa Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa Fathu (Pembebasan) Makkah, ketika Beliau dan pasukannya memasuki kota tua itu tanpa perlawanan. Sebagian kitab tafsir juga mengatakan bahwa janji tersebut sudah tuntas pada masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafa ar-Rasyidun. Hal tersebut berlandaskan pada Hadits sahih Beliau yang mengatakan kekhilafahan hanya berlangsung selama 30 tahun.

Tafsir Al-Razi justru menegaskan bahwa periode khilafah hanya dialami tiga khalifah saja, karena pada masa tersebut ekspansi Islam terus meluas, sedangkan pada era Sayyidina ‘Ali lebih disibukkan perpecahan dan perang saudara. Tafsir ini juga menyebutkan adanya pendapat yang menentang memasukkan periode Khulafa ar-Rasyidun dalam kandungan ayat tersebut. Sebab, penggalan ayat selanjutnya adalah “sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” Padahal kekuasaan sebelum Islam itu tidak datang melalui kekhilafahan.

Ada juga tafsir yang menunjukkan janji Allah pada ayat tersebut konteksnya dakwah, alih-alih soal kekhilafahan. Menariknya, dari sekian tafsir yang ada, tidak satu pun yang menyinggung kemunculan ‘ala minhajin nubuwwah seperti yang sering digelorakan kelompok pro khilafah. Para ulama tafsir bahkan tidak mengutip Riwayat Musnad Ahmad mengenai hal ini, yang amat populer di kalangan HTI, sebab sanadnya lemah dan bermasalah.

Sejarah mencatat, beberapa khalifah Bani Umayyah adalah pemabuk yang senang hura-hura, bahkan ada yang berani melecehkan mushaf Quran. Demikian pula halnya pada masa Abbasiyah, hingga ke Turki Utsmani. Kekuasaan mereka ditegakkan dengan kekerasan. Peralihan antar dinasti kerap disarati pertumpahan darah. Poin pentingnya, meski mengaku menjalankan negara berbasis Al-Quran, tapi bentuk pemerintahan tak lebih dari kerajaan. Putra mahkota otomatis menjadi raja, menutup kemungkinan terpilihnya pemimpin dari luar jalur itu. Kecuali saat terjadi kudeta berdarah.

Konsep seperti itu jelas tidak diajarkan dalam Alquran maupun Hadist. Bagaimana mungkin sebuah kekuasaan bisa disebut berdasar nash kalau pemilihan pucuk pimpinannya begitu? Konyolnya, jikalau bagian ini dibahas, para penganjur gagasan khilafah akan berdalih bahwa semua itu sah saja selama rakyat berbaiat. Padahal fakta sejarah menunjukkan baiat itu dirampas dengan kekerasan, atau dibeli dengan uang (Nadirsyah, 2017).

Lalu bagaimana dengan masa Khulafa ar-Rasyidun? Era ini sering dibahas dengan penuh pujian. Namun bagaimana pun juga situasinya tetap bisa dilihat secara kritis. Titik awalnya terletak pada klaim bahwa Islam mengatur semua hal, termasuk sistem politik. Benarkah?

Begitu Nabi Saw wafat, orang-orang Anshar langsung berunding mencari pemimpin dari kalangan mereka. ‘Umar dan Abu Bakar mendengar itu, dan kemudian mendatangi pertemuan, lantas berhasil meyakinkan hadirin bahwa Abu Bakar lebih pantas memimpin. Sementara itu, ‘Ali yang masih sibuk mengurus jenazah sahabat, mertua, sekaligus sepupunya, tidak ikut urun rembug. Ketika tahu soal itu, ‘Ali marah. Karena inilah, semula ia enggan berbaiat. Menurut catatan sejarah, ‘Ali baru berbaiat setelah Fatimah wafat, enam bulan berselang.

Setelah itu, proses peralihan kepemimpinan beragam caranya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Abu Bakar menunjuk ‘Umar—yang kemudian membentuk panitia pemilih Utsman. ‘Ali diangkat dalam keadaan genting oleh penduduk Madinah. Salah satu program yang dilakukannya selama memerintah: mengganti orang-orang yang diangkat Utsman. Alhasil ‘Ali harus bertempur dengan Muawiyah di medan perang

Di manakah sistem khilafah yang dimaksud? Apa yang terbabar justru sekadar balapan politik. Murni narasi politik biasa, yang terjadi dalam sejarah bangsa atau peradaban mana pun. Ada satu dalil lain mengenai persatuan umat Islam yang banyak dikutip para “pejuang khilafah.” Rasulullah Saw bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Mari kita tilik daftar tahun berkuasa kekhilafahan Islam yang tercatat sejarah: Ummayyah (661-750), Abbasiyah (750-1258), Umayyah II (780-1031), Buyids (945-1055), Fatimiyah (909-1171), Saljuk (1055-1194), Ayyubid (1169-1260), Mamluk (1250-1517), Ottoman (1280-1922), Safavid (1501-1722), Mughal (1526-1857).

Dari data di atas, kita mengetahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidun, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua umat Islam. Terhitung sejak 909 (semasa Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga dinasti di Mesir oleh Fatimiyyah.

Pada era Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama, terjadi kepemimpinan ganda di tubuh umat—yang toh tetap dianggap sukses. Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lain: Buyid di rentang Iran-Iraq (945-1055). Buyid hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260).

Jadi sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh? Sejumlah ulama yang datang belakangan, kemudian berusaha “menakwil” makna hadits tersebut. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam telah sedemikian meluas.

Pernyataan Nabi Saw itu tak bisa dilepaskan dari konteks negara tradisional di Madinah, di mana sumber, jumlah penduduk, dan luas wilayahnya masih sangat terbatas. Cocokkah hadits itu diterapkan pada saat ini? Apabila kita berpegang teguh pada makna lahiriahnya, maka darah pun akan tertumpah di mana-mana.

Lantaran tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, Muhammad Abu Faris, dan Wahbah al-Zuhayli: tentang berapa orang yang dibutuhkan untuk membaiat seorang khalifah? Ada yang bilang lima (karena Abu Bakr dipilih oleh lima orang), tiga (dianalogikan dengan aqad nikah dengan satu wali dan tiga saksi), bahkan satu saja cukup (Ali dibaiat oleh Abbas saja).

Jadi, cukup lima orang untuk membaiat khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah zaman dulu, namun cukup “menggelikan” pada masa sekarang. Akhir kalam, dengan adanya catatan tersebut, hadis politik di atas sudah tidak berguna lagi diterapkan dalam dunia kita.

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.