Jumat, Maret 29, 2024

Kebebasan Berekspresi, Potret Kemalasan Berpikir?

Merry Magdalena
Merry Magdalena
Founder & CEO PoliTwika.Com

sosmed

Waspada, kelak merundung alias mem-bully di internet akan bisa berakhir di bui hingga 12 tahun. Lebay? Itulah draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang sedang digodok pemerintah dan Komisi I DPR. Waduh, padahal aktivis internet Indonesia sejak lama berharap UU ITE Pasal 27 yang membahas “pencemaran nama baik di internet” bisa dihapus.

Sejak UU ITE ditetapkan pada 2008, ada 118 orang terjerat hukum hingga akhir 2015. Sebanyak 90 persen adalah kasus pencemaran nama baik, demikian menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Damar Juniarto, Koordinator Safenet, sangat ingin pasal karet UU ITE direvisi. Apa daya, kabar terakhir justru terbetik bahwa pelaku cyber bully bisa meringkuk 12 tahun di penjara.

Detail itu masuk ke Pasal 29 draf RUU ITE tentang pengiriman pesan elektronik berisi “ancaman” atau upaya “menakut-nakuti”. Yang dapat terjerat pasal ini adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Sebelumnya, di UU ITE Pasal 27, pelanggar “hanya” dikenai 6 tahun penjara saja.

Ingat kasus Y Paonganan yang ditahan akibat kicauannya di Twitter? Atau sedikit kilas balik ke belakang, kasus Prita Mulyasari yang dibui karena curhat di email? Dua kasus yang berbeda, namun sama-sama berawal dari tindakan di dunia maya yang berakhir di bui.

Netizen yang kalap kerap menyamakan UU ITE sebagai UU Subversi-nya Orde Baru. Mengecam sedikit, ditahan. Kritik pedas sedikit, dipenjara. Kini, tiap ada netizen ditahan akibat tulisan di internet, langsung mencaci rezim Jokowi tak bedanya dengan rezim Orde Baru. Banyak yang lupa, UU ITE sudah berlaku di era Susilo Bambang Yudhoyono, dan sejak itu pula korban sudah berjatuhan.

Kebebasan berekspresi sering dijadikan alasan netizen, baik itu blogger, buzzer, atau pengguna dari kalangan awam. Mereka mengira, internet memberikan kebebasan seluas-luasnya tanpa batas. Orang bisa mengaku sebagai siapa saja, tanpa diketahui identitas aslinya.

Idiom “On the Internet, nobody knows you’re a dog” ciptaan kartunis Peter Stenier masih banyak mengendap di benak mereka. Padahal, itu idiom tahun 1993, yang sudah sangat usang. Identitas pengguna internet secara teknis dapat dengan mudah dilacak melalui nomor Internet Protocol (IP). Entah dari laptop atau telepon cerdas, pelakunya bisa dikejar.

Riuh rendah kampanye pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah selalu direcoki dengan caci maki, meme menghina, hingga fitnah sana sini di media sosial. Pelakunya bisa buzzer, baik dengan identitas asli maupun anonim, atau sekadar netizen yang terprovokasi. Semua keriuhan ini sampai dikutip media massa, menjadi berita heboh. Kebo, kecebong, sapi, kodok, dan entah hewan apa lagi menjadi kiasan yang dianggap biasa di kalangan netizen untuk menyebut obyek bully-nya.

Ditambah lagi menyebarnya aneka screen shoot pesan-pesan pribadi seperti Whats App, BlackBerry Messenger (BBM), Direct Message (DM) yang dipakai untuk menyerang lawan. Semua dianggap biasa saja, wajar saja, demi kepentingan politik atau bisnis.

Di era kebangkitannya dulu, para blogger menuntut agar kedudukannya disamakan dengan jurnalis resmi dari perusahaan media massa. Kalau dilihat dari sini, idealnya mereka juga dikenai Kode Etik Jurnalistik dong, ya? Setelah sukses dengan konsep citizen journalism alias jurnalisme warga, sebagian blogger merangkap menjadi buzzer atau influencer di media sosial. Kelamaan ada yang bertransformasi menjadi buzzer dan influencer sepenuhnya, tanpa menulis blog.

Lebih jauh lagi, makin cair antara mana buzzer atau influencer, sebab semua sama-sama aktif menggiring opini di media massa. Jangankan sekadar kode etik, UU ITE saja sudah tak dianggap lagi. Barangkali mereka yakin, kalau terjerat UU ITE akan mendapat pembelaan dari para aktivis kebebasan berekspresi.

Netizen mayoritas menganggap media sosial adalah ranah berlaga opini tanpa batasan sama sekali. Bebas mencaci, memaki, menghina. Mereka lupa ada yang namanya netiquette alias netiket, etika berinternet. Ini sama dengan etika bergaul di dunia nyata, yang membuat sesama manusia bisa saling menghargai dan paham batas-batas kebebasan. Bedanya, netiket berlaku di internet.

Apa boleh buat, sebagian besar netizen Indonesia mengenal internet secara instan. Tanpa diawali dengan pelatihan, pengantar, atau pengenalan. Para netizen terjun begitu saja ke Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, tanpa tahu apa itu netiket. Ibarat orang langsung nyebur berenang tanpa paham aturan-aturan memakai kolam renang yang benar. Mereka saling tabrak, sikut, meludahi, bahkan menenggelamkan satu sama lain. Ketika tindakan hukum diambil, mereka berteriak “Hei, ini kolam renang bersama, jangan semena-mena dong!” Tapi ketika ada kasus di mana pihaknya yang dirugikan, baru membawa-bawa hukum dan polisi.

Selalu saja ada pihak yang membenarkan segala cara demi bisa mengejar target tertentu di media sosial. Membuat bot, akun-akun anonim, meme penuh joke fitnahan, penyebaran screen shoot pesan pribadi, dan sejenisnya. Entah dari pihak pro maupun kontra pada kubu politik tertentu.

Menjadi pertanyaan, apa iya mereka tidak paham etika berinternet? Dan kalau etika saja tak paham, bagaimana dengan hukum? Atau mereka sengaja berpura-pura bodoh, sehingga ketika hukum bicara, mereka playing victim atas nama kebebasan berekspresi?

Secara pribadi, saya tidak suka dengan ancaman hukuman penjara bagi pelaku cyber bully. Sama dengan dunia nyata, semestinya polisi atau aparat hukum tak perlu dihadirkan selama kita sama-sama paham etika. Pasalnya, etika itu saja sudah dianggap tidak pernah ada.

Kebebasan berpendapat memang dilindungi, tapi juga punya aturan-aturan tersendiri. Free Speech Debate, sebuah proyek yang dirilis Dahrendorf Programme for the Study of Freedom di St Antony’s College, University of Oxford, telah merumuskan “10 Prinsip Kebebasan Berpendapat”. Poin ke-4 prinsip itu, “Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia.” Baru sampai di poin ini saja, netizen sudah banyak yang melanggar.

Seringkali kita berteriak-teriak soal kebebasan berpendapat tanpa sadar kita pun sudah menerobos kebebasan pihak lain. Kita sok memperjuangkan kebebasan, sementara kebebasan kita membelenggu orang lain. Ada yang harus dibenahi di sini. Bukan sekadar revisi UU ITE, menambah ancaman hukuman, atau mengkampanyekan netiket. Mungkin peradaban manusianya yang perlu lebih dipacu.

“Orang menuntut kebebasan berbicara sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan,” demikian kata Soren Kierkegaard, filsuf asal Denmark. Apakah kita memang bangsa yang sedemikian jarang sekali berpikir?

Merry Magdalena
Merry Magdalena
Founder & CEO PoliTwika.Com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.