Sudah lebih dari setengah abad kita memperingati Hari Kartini, namun kita jarang mendiskusikan potensi perempuan sebagai juru damai. Setiap kali terjadi konflik, termasuk bernuansa agama, perempuan adalah korban yang mengalami dua kali penderitaan. Mereka harus menanggung derita saat ketegangan berlangsung; mereka juga kudu mengatasi penderitaan paska perang. Alih-alih memberi tempat untuk mengambil keputusan di meja perundingan, mereka cenderung ditempatkan di belakang layar.
Kecenderungan itu muncul pertama-tama dari mitos lama bahwa perempuan hanya mempedulikan emosi ketimbang akal setiap kali mengambil keputusan. Bagaimana bisa negosiasi berhasil jika mengedepankan emosi ketimbang akal sehat? Keyakinan ini kemudian menopang kultur yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Seakan-akan laki-laki sudah pasti akan menggunakan akal, sementara perempuan tidak.
Pandangan tersebut sejatinya adalah mitos belaka. Jenis kelamin bukan penentu seseorang menggunakan akal atau emosi dalam mengambil keputusan. Pilihan emosi atau akal amat ditentukan situasi yang dihadapi, entah jenis kelaminnya apa. Lagi pula, emosi dan akal selalu berkelindan setiap kali kita menentukan pilihan. Bahkan beberapa studi menyebutkan bahwa kepandaian mengelola emosi menjadi prasyarat keberhasilan negosiasi.
Lalu, seberapa penting perempuan dalam usaha bina damai? Apa yang istimewa dari perempuan sehingga mereka layak turut ambil keputusan bina damai, entah mewakili para pihak maupun penengah?
Studi tentang perempuan dan perdamaian sebenarnya sudah cukup berkembang. Mark Tessler, Jodi Nachtwey, dan Audra Grand (1999) mengumpulkan sejumlah hipotesis mengenai hubungan perempuan dan perdamaian. Ada tiga argumen pokok kenapa perempuan berpotensi menjadi juru damai.
Pertama, perempuan secara intrinsik memiliki moral keibuan. Moral ini datang dari pengalamannya melahirkan anak. Pengalaman itu sangat khas sehingga perempuan diatribusi sebagai sosok penjaga kehidupan. Moral keibuan sebagai “penjaga” inilah yang mendorong mereka mengupayakan agar kekerasan berhenti dan membangun jembatan antar mereka.
Ruaedah, pimpinan Aisyiyah di Kayamanya, Poso, adalah contoh terbaiknya. Ia berhasil mencegah insiden kekerasan di tengah konflik komunal di Poso berkecamuk. Suatu kali, dia mendengar pemuda di kampungnya hendak menyerang kampung lain. Dia undang para pemuda itu untuk minum jus. Tanpa mereka sadari, dia bubuhi jus dengan obat tidur. Para pemuda itu pun tertidur. Hari itu perang terhindarkan. Meski hanya sekali, dia bersyukur bahwa tidak ada korban jiwa, minimal satu hari.
Perempuan juga, ini argumen kedua, berpotensi menjadi duta perdamaian, sebab dia adalah orang paling terdampak dalam peperangaan. Perang tidak saja menyengsarakan mereka karena kehilangan orang yang mereka cintai, tetapi juga harga kebutuhan pokok pasti melambung tinggi.
Mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi keluarganya. Tidak heran apabila pihak yang pertama kali membangun hubungan di tengah konflik komunal di Ambon tahun 2000-an adalah ibu-ibu. Ibu-ibu Muslim dan Kristen sudah menjalin kerja sama, bertukar makanan dan kebutuhan pokok keluarga, sebelum perjanjian Malino ditandatangani.
Terakhir, konsep feminisme seperti kesetaraan gender berorientasi pada perdamaian. Konsep kesetaraan itu pada prinsipnya hendak melawan ketidakadilan dalam wujud hirarki, dominasi, dan eksploitasi. Prinsip-prinsip dasar ini pada gilirannya juga anti-militeristik, anti-kekerasan, dan anti-penindasan akibat tak setara. Mereka yang telah menyadari pentingnya kesetaraan akan mudah menjadi juru damai. Kita saksikan banyak sekali contoh di mana aktivis feminisme yang juga sekaligus menjadi aktor perdamaian.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa perempuan berpotensi sangat besar menjadi juru damai. Pertanyannya, sediakah kita memberikan mereka tempat untuk terlibat dalam usaha bina damai?
Kita, misalnya, punya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Hampir seluruh kabupaten atau kota di Indonesia ada forum antar-iman ini. Namun, kita tahu bahwa tidak banyak perempuan menjadi anggota FKUB. Dari sedikit perempuan yang ada di dalam lembaga ini, sediakah kita menempatkan mereka pada posisi strategis? Sediakah kita mempercayakan mereka ikut serta mengambil keputusan dalam proses bina damai?
Demikian juga di lembaga kepolisian. Kita punya contoh polisi wanita terbaik. Dia berhasil mengatasi kekerasan tanpa kekerasan. Dia adalah AKBP Yoyoh Indayah, mantan Kepala Kepolisian Resort Kuningan, Jawa Barat. Tahun 2010, saat menjabat Kapolres, ia memimpin sekitar 4.000-an personil ketika massa dari berbagai wilayah mendatangi perkampungan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan.
Ia berhasil menghalau ribuan massa yang hendak menyerang pemukiman Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan. Menurutnya, konflik tersebut hanya menyengsarakan penduduk sekitar. Meski tak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, ia tetap menjalankan tugasnya menghentikan kekerasan demi keamanan bersama.
Hanya saja, sampai hari ini, baru sembilan polisi wanita yang memiliki pangkat perwira dan menempati jabatan strategis. Jumlah ini masih jauh jika kita ikut logika prosentase DPR, yakni minimal 30 persen. Sediakah kita membuka peluang lebih lebar kepada perempuan menempati jabatan strategis di lingkungan kepolisian?
Sudah saatnya kita menyatakan kesediaan. Namun, penting dicatat bahwa perempuan menempati posisi strategis dalam usaha bina damai. Meski begitu, kita harus hati-hati. Jumlah perempuan tidak lantas keluarannya baik bagi semua atau berperspektif gender. Karena itu, menempatkan sosok perempuan sebagai juru damai saja tidak cukup. Memperkuat kapasitas sebagai juru damai, temasuk prinsip dasar kesetaraan, adalah niscaya.
Lagi pula Perserikatan Bangsa Bangsa dalam reolusi tahun 2000 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan, mengamanatkan untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan di semua level terkait perdamaian dan keamanan internasional; memberi perlindungan khusus kepada perempuan saat konflik; menggunakan perspektif gender di semua proses pasca konflik, pemantauan dan semua jenis training bina damai. Ini artinya, negara-negara anggota PBB wajib melibatkan perempuan dalam proses perdamaian dan memberi mereka kemampuan yang memadai sebagai juru damai.
Karena itu, membuka selebar-lebarnya kesempatan perempuan ambil bagian dalam proses perdamaian merupakan satu di antara cita-cita Kartini di masa lalu. Menjadi juru damai tidak mudah. Bukan juru damai bila ia masih menodongkan senjata saat menjadi penengah. Kekerasan tidak bisa diatasi dengan kekerasan.
Karenanya, potensi nirkekerasan yang dimiliki perempuan perlu dimaksimalkan demi Indonesia tanpa kekerasan. Kartini mesti bangga jika semakin banyak perempuan yang terlibat sebagai juru damai dan juru sebar gagasan kesetaraan di Indonesia.