Jumat, Maret 29, 2024

Kartini dan Politik (Partai) Wanita!

Salah satu bolong besar dalam pergerakan dan perjuangan politik perempuan, terutama dalam alam politik demokrasi liberal, barangkali adalah tidak adanya partai politik perempuan. Secara historis, sebenarnya bisa dibilang bahwa pergerakan kebangsaan-kemerdekaan Indonesia bersifat feminin, bukan maskulin seperti yang kemudian terjadi. Sejarawan George McTurnan Kahin (1952) mengatakan bahwa pelopor pembaruan pendidikan bukan Budi Utomo yang menjadi penanda Hari Kebangkitan Nasional, tapi R.A. Kartini melalui surat-suratnya dan (esai) “Nota Kartini” (yang kedua beredar di media massa pada April 1903) tentang pendidikan yang banyak dibaca pejuang kemerdekaan-kebangsaan.

Pemikiran Kartini yang sampai kepada kita memang hampir tak menyebut partai politik, tapi rasanya tak mungkin Kartini tak tahu pengaruh dan pentingnya partai politik. Beberapa sahabat pena RA Kartini berasal dari Partai Liberal dan khususnya Partai Sosialis yang tampil sebagai pendekar antikolonialisme yang dipemimpin Domela Nieuwenhuys dan Ir. H. H. van Kol (Sartono Kartodirdjo, 1999). Tokoh yang terakhir ini pernah datang ke Jepara dan bertemu langsung dengan Kartini. Kartini juga membaca Een Eereschuld (Hutang Budi) karya tokoh etis utama Mr. C. th. Van Deventer. Kartini berkirim surat dengan Estella Zeehandelaar, seorang pejuang anggota Social Democratische Arbeiderspartij yang banyak memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme (Pramoedya Ananta Toer, 2010). Apakah Kartini tak menyadari dan menghendaki berdirinya partai politik untuk Hindia Belanda?  

Yang menarik adalah Kartini juga sangat terpengaruh oleh gagasan “pemerintahan sendiri” dari pemikiran pamannya, Pengeran Ario Hadiningrat yang menulis Nota Hadiningrat: “Hindia Belanda untuk orang pribumi”. Nota ini diterbitkan oleh golongan etis, pendukung arus politik baru kolonial. Dalam komentarnya tentang kata keramat “pemerintahan sendiri”, Pramoedya (2010: 114) memberikan catatan: “Mr. J.H. Abendanon tidaklah begitu bodohnya  untuk membiarkan istilah ini terlepas dari saringannya, apalagi mengingat Nota tersebut pun harus dibekukan selama seperempat abad! Dan bukan suatu kebetulan, bila Abendanon membiarkan surat-surat Kartini kepada Hadiningrat hancur tidak terjamah, tanpa sedikit pun keinginan untuk mencarinya.”

Konsep “pemerintahan sendiri” pada tahun 1912 menjadi tujuan gerakan politik radikal dalam partai pertama di Hindia Belanda, Indische Partij, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker, R.M. Suwardi Surjaningrat Dr. Tjipta Mangunkusuma (tokoh yang terakhir ini pernah membuat Kartini Club di Malang). Dan hampir semua partai yang berdiri setelah Indische Partij, memiliki cita-cita politik pemerintahan sendiri atau Indonesia merdeka sebagai negara berdaulat.

Tapi, sayangnya, tidak seperti gerakan politik kaum lelaki yang beranjak dari hanya berbentuk perkumpulan/organisasi diskusi ke organisasi politik kepartaian. Padahal, perubahan ini menandakan awal mula politik radikal yang sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan pergerakan wanita berhenti pada perkumpulan atau organisasi dan tak sampai pada pergerakan radikal dalam bentuk partai politik.

Sejarah pergerakan perempuan pasca meninggalnya Kartini (1904) dan pasca-Kongres Perempoean Indonesia yang pertama pada 22  Desember 1928, secara politis, memang tak begitu radikal dibandingkan dengan pergerakan kaum lelaki dalam ranah partai politik atau media massa. Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi masalah ini, terutama masalah pendidikan perempuan sebagai modal sosial politik, kesempatan berkarir dalam dunia politik yang masih diperdebatkan bahkan sampai reformasi, psikologi-politis rakyat Indonesia tentang kepemimpinan perempuan, kegamangan untuk membentuk partai  politik, dan sebagainya. Tapi, yang perlu mendapatkan catatan besar, bukan berarti politik perempuan tidak mengarah pada partai politik.

Pada zaman demokrasi liberal, setelah Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, berdirilah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) pada 17 Desember 1945. Dalam tubuh organisasional Perwari timbul perpecahan dan perselihan paham yang disebabkan oleh perpecahan politik negara Pemerintahan Sjahrir yang sosialis dan Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Perwari merasa hanya diperebutkan untuk kepentingan pihak yang di luar kepentingan perkumpulan perempuan. Bukankah ini hal yang sama dalam beberapa pemilihan kepala daerah seperti saat ini saat mereka memasang perempuan sebagai calon? Atau, dalam beberapa kasus dewasa ini, perempuan hanya sebagai ikon pendongkrat-pemanis dalam pemilihan partai, kepala daerah, dan sebagainya.

Maka, pada 6 September 1946 atas inisiatif Nji Sri Mangoensarkoro (kemudian menjadi ketua I), M.D. Hadiprabowo (ketua II), N. Sri Umyati, “Terdorong oleh kejakinan kebenaran siasat perdjuangannja kearah 100% kemerdekaan dan kearah keadilan sosial”, berdirilah Partai Wanita Rakjat di Yogyakarta. Dalam daftar pimpinan pusatnya, berdiri Nji Hadjardewantoro yang menjadi penasehat (Kepartaian di Indonesia, 1951: 195-205). Barangkali inilah partai politik perempuan yang paling politis, aktif, solid, dan vokal dalam sejarah Indonesia.        

Kemudian juga terbentuk partai Wanita Demokrat Indonesia (W.D.I.) yang memperjuangkan NKRI dan kedaulatan rakyat dan negara yang sosialistis yang berazas sosio-nasional marhaenis. Salah satu usaha perjuangannya  adalah “Memperdjuangkan dan membela kepentingan wanita”, “Mempeladjari” dan “mengikuti “, “memperdjuangkan”, dan “mempertahankan” hak-hak demokrasi politik, sosial, dan ekonomi. Dalam jajaran pengurus pusatnya berdiri Nji Soetarman sebagai ketua, Nji S. Koempoel sebagai wakil, Nji Armijn Pane dan Nji Winoto sebagai penulis, dan Nji Manai Sophian sebagai bendahara (Kepartaian di Indonesia, 1951: 274-277).

Mungkin sebagian besar kita sudah tidak ingat lagi bahkan tidak pernah mendengar nama partai politik perempuan itu. Ini bisa dimaklumi karena dalam sejarah kita, mereka tak pernah disebutkan dan sejauh penelusuran saya, belum ada penelitian akademik yang khusus membahas perjuangan partai politik perempuan pada era demokrasi liberal itu. Yang jelas, nasib mereka mulai hancur sejak partai politik hanya demi kepentingan golongan dan individu, lalu mulai dipikirkan bagaimana mengurangi partai politik secara drastis, yang sudah mulai dilakukan oleh Ir. Sukarno dan semakin dalam saat pemerintah Orde Baru berkuasa. Penghancuran partai politik (termasuk partai politik wanita!) mulai mencapai puncaknya dalam kebijakan Soeharto pada 1973 yang menginginkan pengelompokan partai politik hanya dalam Golongan Spiritual, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.

Dan, setelah semua itu, pergerakan politik perempuan bisa dibilang tak  bergaung lagi. Bahkan pada saat reformasi 1998 yang kembali lagi pada demokrasi liberal, partai politik perempuan tidak bangkit lagi di antara seratus lebih partai politik. Tampak bercukup diri dengan hadirnya Megawati sebagai ikon politikus perempuan dan pribadi bukan sebagai organisasi partai politik! Yang perlu dicatat, Megawati adalah sang ketua umum partai politik terlama dalam sejarah politik Indonesia: dari 1993 sampai 2020, alias selama 27 tahun (satu rekor nasional dan internasional!), dan sangat mungkin akan terpilih lagi untuk periode berikutnya.  

Padahal, dalam struktur kekuasaan masyarakat demokrasi (liberal), kehadiran partai politik adalah suatu yang sangat penting untuk menyuarakan, menyusun, menyalurkan, dan mengeksekusi kepentingan, termasuk tentu saja kepentingan perempuan, meski bukan satu-satunya. Lalu kenapa perempuan, khususnya setelah Soeharto lengser, tidak membangkitkan, memiliki, dan membangun gerakan partai perempuan sebagai kendaraan politik perempuan?          

Gerakan politik perempuan sejak tak punya partai khususnya pada masa Orde Baru lebih banyak dalam lembaga swadaya masyarakat bahkan sampai hari ini. Tapi, secara politis, kalau boleh agak sedikit kasar, lebih sebagai sebuah gerakan merengek, bukan gerakan perjuangan dengan kekuatan dan kemampuan politis, termasuk di sini adalah permohonan kuota 30% tanpa pertarungan politis melalui partai politik (yang sangat bisa saja kalah seperti pada 1950-an). Atau, semua itu sebenarnya bisa diakui sebagai kekalahan politik  yang meminta belas kasih, bukan politik pembebasan, bahkan cuma sebagai prasyarat pelengkap.

Tentu saja, dalam dua arena politik (daerah dan nasional), sekarang perempuan cukup bisa mengartikulasikan gagasannya, dengan menjadi ketua partai politik non khusus perempuan di tingkat daerah sampai nasional, bisa menjadi kepala daerah yang bisa mengeksekusi program yang memajukan perempuan, dan seterusnya. Apakah butuh partai khusus wanita atau cukup para politikus wanita meski belum tentu memperjuangkan nasib wanita?

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.