Kita selalu terkenang pada seorang yang wafat muda di tengah kegelisahannya. Seperti R.A. Kartini dan Ahmad Wahib misalnya. Salah satunya, karena mereka menyisakan tanya: bagaimana jika mereka masih hidup sampai tua? Tentu bukan tentang ke-“siapa”-annya, melainkan ke-“apa”-annya. Kalau Wahib tentang apa yang ada dalam catatan hariannya, adapun Kartini tentang apa yang ditulisnya dalam surat-suratnya. Sebuah kegelisahan, gagasan menggugat yang menggugah.
Sayangnya, Kartini sering kita kenang sebagai “siapa”: kebaya, dan semacamnya. Padahal, ia menjadi “siapa” lantaran “apa” yang digelisahkan, ditulis, dan diperjuangkannya. Bahkan, seperti ditulis Dr Cora Vreede-de Stuers, sarjana Barat yang sangat fokus mengkaji Kartini, dalam salah satu esainya berjudul Kartini: Fakta dan Fiksi, Kartini kerap dibalut fiksi. Padahal, Kartini justru menggugah karena kejujurannya di tengah perempuan-perempuan lain yang memilih diam dalam ketertindasan.
Membaca Kartini bisa berarti membaca kegelisahan. Ia sangat serius dengan kegelisahannya. Energinya juga kuat. Bahkan protesnya hingga melayang pada ketidakadilan, kebekuan, dan ketidakterbukaan tafsir atas Islam saat itu. Karena kita tahu bahwa agama memang kerap dijadikan candu bagi pragmatisme kolonialis. Inilah yang akan menjadi fokus tulisan ini.
Sebelumnya, patut diketahui bahwa konteks yang melingkupi Kartini saat itu, seperti ditulis Buya Hamka, adalah masyarakat Muslim yang belum tersentuh oleh gagasan pembaharuan Islam saat itu. Beberapa tahun setelah Kartini wafat (1904), barulah pembaharuan Islam bergema di Nusantara, baik di Jawa maupun luar Jawa (khususnya Sumatera Barat): H.O.S. Tjokroaminoto dengan Sarikat Islamnya di Surabaya (1912), Jamiat Khair (1905), Sekolah Agama Adabiyah di Padang (1909), dan lainnya.
Saat masih mengaji, Kartini terus memaksa gurunya untuk memberi pemahaman tentang apa yang dibacanya. Bahkan ia sampai memprotes dengan tak mau lagi mengaji. Hingga akhirnya gurunya mengadu pada ibu Kartini, Mbah Ngasirah, dan ibunya yang merupakan Muslimah taat, keturunan kyai di Jepara itu memarahi Kartini.
Dalam salah satu suratnya pada temannya yang non-Muslim, Stella, Kartini menulis:
“Sebenarnya agamaku Islam hanya karena nenek moyangku Islam. Manakah dapat aku cinta dengan agamaku kalau aku tidak kenal, tiada boleh mengenalnya. Al-Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Orang di sini membaca Al-Qur’an tapi yang dibacanya tiada ia mengerti.”
Pada suratnya yang lain tertuju ke E.G. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902, Kartini menulis:
“Aku tak mau lagi melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa mengetahui mengapa, buat apa, dan tujuan apa. Tak mau lagi membaca Al-Qur’an, menghafal kalimat-kalimat asing yang tak kuketahui maknanya. Dan barangkali kyaiku sendiri, dari lelaki dan perempuan juga tak mengerti. Katakan kepadaku apa artinya dan aku mau mempelajarinya semuanya.”
Apa yang disampaikan Kartini sebenarnya sebuah gugatan atas posisi agama yang memang dikungkung kolonialisme sebagai ajaran hukum dalam membangun hubungan manusia dan Tuhannya saja. Bukan agama yang juga sebagai pandangan hidup, gagasan tentang keadilan, kemanusiaan, kebebasan, serta semangat gerakan bagi kemajuan.
Ibadah dipersilakan, namun gerakan berbasis Islam diharamkan. Silakan mengaji, tapi jangan mengkaji. Al-Qur’an silakan dibaca dan disakralkan, tapi jangan coba-coba dipahami atau dibawa semangatnya ke ranah profan. Sesuatu yang belakangan Mohammad Natsir sebut: “Islam beribadah, dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut sampai ke akar-akarnya”.
Dalam suratnya yang lain, kali ini kepada Nona Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899, Kartini menulis: “Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa diperbuat oleh orang atas nama agama?”
Kartini bimbang hati dalam gugatannya. Artinya, menurut saya, dalam hatinya, ia sebenarnya sangat religius, seperti ibunya. Namun, justru karena itu, dalam pikirnya, ia menggugat agamawan atau interpretasi atas agama saat itu, yang dibuat sigap dalam menjaga moral religius pemeluknya, namun dibuat tumpul dalam menjaga moral sosialnya. Ia menggugat, toh bukankah agama restu bagi bersemainya kemanusiaan? Lalu mengapa agamawan tak memanusiakan manusia, khususnya perempuan?
Dalam ketiadaan pemahaman keislaman yang diterima Kartini, meskipun ia telah menggugat bahkan memaksanya, Kartini bicara perkawinan, juga perkara poligami. Ia menggugat sistem perkawaninan zaman itu yang timpang, berpihak hanya pada lelaki. Juga poligami yang seolah menjadi keharusan. Juga hak-hak istri yang dicerabut hingga nyaris tiada tersisa.
Karenanya, saya terkenang, andai Kartini memahami Al-Qur’an, gugatannya itu tentu akan mendapatkan basis keislaman yang semakin mengokohkannya atau dalam bahasa Kartini: mengkuduskannya. Sebab, yang ia gugat memang “norma” kehidupan dan perkawinan gadis Jawa bentukan kolonialisme, yang dalam perkara lain juga diterapkan pada kaum lelaki –misalnya dalam perkara pendidikan–untuk membuat mereka tumpul dan tak sadar melihat apa yang terjadi pada bangsanya di tengah cengkeraman kolonialisme.
Akhirnya, tak lama setelah Kartini wafat, apa yang menjadi kegelisahannya terjawab. Gugatannya terwujud. Di Sumatera muncul Diniyah Putri (sekolah agama khusus putri) sejak 1 November 1923 pimpinan Ibu Rahmah el-Yunusiah. Di Jawa, pesantren-pesantren yang sebelumnya hanya menerima santri, mulai muncul pesantren yang menerima santriwati: Madrasatul Banaat di Malang, Surabaya, Solo, dan lainnya.
Bahkan, lebih jauh lagi, pada 22 April 1917, Nyai Achmad Dahlan merintis gerakan Muslimat: Aisyiah di Jogjakarta, yang salah satu gerakannya di bidang pendidikan bagi kaum perempuan.
Kemajuan perempuan Indonesia, khususnya Muslimat itu, terus berlangsung–bahkan ofensif. Organisasi-organisasi gerakan Islam nyaris semuanya mulai mengembangkan sayap khusus Muslimat: Aisyiah pada 1917 di samping Muhammadiyah, PSII di samping Sarikat Islam, Wanita Perti di samping Perti 1928, Muslimat NU di samping Nahdlatul Ulama, dan lainnya.
Maka, justru sejak kematiannya, Kartini “hidup”. Dari dalam kubur, seperti kata Tan Malaka, suaranya lebih keras.