Jumat, Maret 29, 2024

Kapolri Baru dan PR Pemberantasan Terorisme

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah

kapolda-metro-jaya-titoSetelah teroris bom Thamrin berhasil dilumpuhkan, tak lama kemudian muncul di layar kaca seorang perwira polisi berbicara di depan pers menyampaikan kronologi detail kejadian. Dia menyatakan aksi teror itu terkait dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Gaya bicaranya tenang, seperti memberi kuliah. Dia adalah Tito Karnavian yang ketika itu menjabat Kapolda Metro Jaya.

Bagi pemerhati gerakan terorisme di Tanah Air, nama Tito Karnavian bukanlah sosok yang asing. Sebelum menjadi Kapolda Metro Jaya, Tito pernah menjabat Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada tahun 2009-2010. Tito sebelumnya memang sudah malang melintang di Densus 88 dan meringkus teroris kakap Dr. Azhari hingga Noordin M. Top.

Tito menyandang gelar doktor bidang terorisme dengan disertasi Terrorism and Islamist Radicalization dengan predikat magna cum loude di Nanyang Technological University, Singapura. Makanya Tito fasih sekali jika berbicara sepak terjang jaringan teroris di Indonesia.
Tito sangat menguasai masalah terorisme, tidak sekadar paham teori, tetapi juga lapangan. Itu kesan saya. Lebih tepat lagi ketika Tito kemudian diangkat menjadi kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Maret 2016.

Terorisme Gelombang Ketiga
Dipimpin Tito, BNPT mulai terlihat aktif di media sosial Twitter dengan akun @BNPTRI, bahkan akun tersebut telah diverifikasi oleh pihak Twitter. Kehadiran BNPT di Twitter patut diapresiasi.
Sebagai gambaran, pada pertengahan tahun 2015 saja jumlah pengguna Twitter di Indonesia sudah mencapai 50 juta. Indonesia adalah salah satu basis pengguna Twitter terbesar di dunia.

Berdasarkan data dari pihak Twitter, paling tidak ada 4,1 juta kicauan yang berasal dari Indonesia. 77 persen pengguna Twitter di Indonesia aktif setiap harinya.

Bicara soal teorisme, simpatisan militan ISIS lebih gemar menggunakan Twitter untuk menyebarkan propagandanya. Hal ini terungkap lewat penelitian dari Program Studi Ekstremisme di Universitas George Washington, AS, seperti dilansir The Guardian (2/12/2015).

Sebenarnya suburnya faham terorisme ISIS di media sosial juga disadari Tito. Tito mengatakan dinamika terorisme dan paham radikal saat ini masuki era gelombang ketiga, terjadi pergeseran tren, yakni ke dunia IT atau internet, pergerakannya di media sosial susah terdeteksi (Lensa Indonesia, 14/6/2016)

Sayangnya akun @BNPTRI ini hanya sekadar berbagi informasi kegiatan seremonial BNPT, sehingga manfaatnya terasa kurang jika melihat peran dan fungsi institusi BNPT itu sendiri. Saya berharap akun BNPT ini bisa menjadi media komunikasi yang efektif “memprovokasi” warga dunia maya (netizen) untuk sama-sama ikut andil membendung propaganda terorisme di dunia maya, khususnya di media sosial Twitter.

Fenomena Baru Ekstremisme
Sebelum kejadian penembakan massal di Orlando Florida (13/6/2016), Amerika Serikat pernah diguncang kejadian serupa di San Bernardino pada Desember 2015. Ketika itu 14 jiwa melayang dan puluhan lainnya luka-luka. ISIS mengklaim bertanggung jawab bahwa pelaku serangan adalah pengikutnya.

Dalam perkembangannya tidak diketemukan bukti keterkaitan langsung pelaku penembakan dengan organisasi teror ISIS. Aparat keamanan AS hanya menemukan postingan akun Facebook pelaku yang menyatakan berikrar setia kepada pemimpin ISIS sebelum melakukan serangan teror.

Berkaca dari kejadian tersebut kemudian muncul dugaan kuat bahwa seseorang bisa menjadi ekstremis lalu menjadi pelaku aksi teror hanya melalui proses yang disebut self radicalization atau menjadi radikal tanpa “guru”.  Kemudian juga muncul fenomena lone wolf, yaitu pelaku teror melancarkan aksi secara independen alias tanpa garis komando organisasi teror.

Dalam kacamata ISIS, tak ada bedanya dan dibenarkan apakah seseorang bisa menjadi radikal tanpa guru atau karena direkrut, merancang teror sendiri ataupun perintah organisasi.
Namun banyak kalangan masih menyangsikan kemungkinan terjadinya proses self radicalization dan adanya fenomena lone wolf dalam dunia terorisme. Tapi tidak bagi Tito.

Tito menyebut fenomena tersebut dengan istilah gerakan leaderless atau “jihad” tanpa pemimpin. Dan ideologi ISIS yang keras di Internet bisa memunculkan self radicalization. (Antara, 31/3/2016).

Jika tak ada ral melintang, Tito akan diangkat menjadi Kapolri, bahkan menjadi calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Jokowi. Saya termasuk yang “menyayangkan” Tito harus cepat-cepat meninggalkan BNPT. Namun mengingat kewenangan Tito yang lebih besar sebagai Kapolri, saya berharap Tito bisa berbuat lebih banyak memberantas terorisme yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar di Republik ini.

Terkait

Tantangan Tito Karnavian

Saya dan Bang Tito

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.