Lucu sekali gagasan Jokowi-Ma’ruf Amin ingin mengeluarkan tiga kartu sakti, Kartu Kuliah, Kartu Sembako Murah dan Kartu Pra Kerja untuk membantu masyarakat. Bukan perkara niat dan manfaatnya bagi masyarakat, tapi mengeluarkan banyak kartu di era digital seperti sekarang ketika segalanya bisa terintegrasi dalam satu kartu saja adalah lucu. Apalagi mereka sendiri yang bicara soal revolusi industri 4.0, infrastruktur langit, unicorn, dan hal-hal lain berbau digital.
Seandainya mereka benar-benar mengerti pengembangan dan manfaat era digital, sudah semestinya mempunyai pikiran sama seperti Sandiaga Uno, yakni menggunakan E-KTP saja untuk menyalurkan seluruh bantuan kepada masyarakat. Saya semakin yakin sebenarnya Jokowi dan Ma’ruf Amin sebenarnya tidak mengerti dan memahami perkembangan digital, alih-alih mengambil manfaat dari hal itu.
Tidak perlu diragukan lagi ide Sandiaga tersebut. Saat ini perkembangan digital telah mampu melakukannya dengan sistem big data. Aplikasi-aplikasi big data sudah banyak dibuat untuk berbagai keperluan, termasuk untuk kartu identitas multifungsi seperti yang diterapkan Malaysia. KTP Malaysia memiliki tujuh fungsi kegunaan.
Pertanyaannya kemudian, kenapa pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke belakang tidak mencoba merealisasikan hal yang sama? Kenapa Jokowi justru merencanakan memperbanyak kartu? Ada dua dugaan jawaban. Yang pertama sudah saya katakan sebelumnya. Kedua, mereka memang sengaja mendongeng soal kartu-kartu tersebut semata agar terlihat populis di mata masyarakat.
Namun, yang tidak disadari Jokowi-Ma’ruf adalah masyarakat saat ini sudah cerdas dan melek digital. Mereka sudah mengetahui manfaat-manfaat dari mengintegrasikan seluruh data di E-KTP. Tidak seperti Jokowi yang membedakan upload dan download saja tidak bisa. Sehingga mereka jelas lebih percaya kepada Sandiaga.
Mengintegrasikan seluruh instrumen bantuan sosial untuk masyarakat dalam E-KTP memiliki tiga manfaat. Pertama, efisien bagi penerima bantuan. Mereka tidak perlu menyimpan terlalu banyak kartu seperti saat ini. Sehingga, mereka tidak perlu khawatir juga kehilangan kartu-kartu tersebut dan pada akhirnya tidak bisa menerima bantuan yang semestinya didapatkan.
Kejadian semacam itu kerap terjadi. Banyak warga yang mengeluhkan repot menyimpan banyak kartu dan tidak bisa mengambil bantuan karena kartu tersebut rusak atau hilang. Sementara, mengurusnya lagi cukup rumit prosesnya.
Kedua, lebih efektif dalam pendataan, pengawasan dan penyaluran. Selama ini penyaluran bantuan kepada masyarakat dengan kartu terpisah membuat pendataan penduduk penerima manfaat Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan ragam lainnya terpencar di banyak lembaga penanggung jawabnya.
Hal itu membuat pemutakhiran data sering telat karena proses yang rumit. Bahkan banyak warga yang semestinya masuk ke dalam kategori penerima bantuan luput dari pendataan. Akibatnya, mereka yang luput tidak mendapat bantuan. Jelas merugikan masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, rentan bermasalah pula dalam pengawasan penyalurannya. Dalam hal ini adalah rentan korupsi dan nepotisme.
Pada 2017, 200 ribu orang penerima KIS tidak mendapat penyaluran bantuan. Pada 2018 sebanyak 58 ribu tidak mendapat penyaluran bantuan akibat tidak terdata. Padahal kesehatan bukanlah persoalan yang sepele. Erat kaitannya dengan nyawa manusia. Apakah kita mau terus menerus melihat warga yang tidak mampu berobat karena luput dari manfaat bantuan kesehatan lantaran tidak terdata? Tentu tidak.
Masalah-masalah itu akan hilang dengan pengintegrasian data di E-KTP. Karena setiap lembaga yang bertanggung jawab akan melaporkan secara berkala kepada dinas pencatatan sipil (Dukcapil) setempat untuk dikelola dalam satu sistem di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketika seorang penduduk yang semestinya masuk kategori penerima manfaat luput dari pendataan, mereka cukup langsung ke Dukcapil setempat untuk melaporkan dirinya dengan membawa serta bukti yang dibutuhkan. Secara otomatis data mereka akan diperbarui dan E-KTP-nya sudah berfungsi untuk menjadi instrumen menerima bantuan.
Ketiga, memangkas pengeluaran APBN. Membuat kartu-kartu baru jelas membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan itu menggunakan APBN. Sementara, dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti sekarang mengencangkan sabuk pengeluaran mestinya dilakukan.
Jika hanya menggunakan E-KTP, maka pengeluaran APBN untuk kartu-kartu lainnya tidak perlu lagi. Anggaran yang semestinya digunakan untuk keperluan itu bisa dialihkan ke hal lain, seperti peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Atau bahkan untuk meningkatkan jumlah bantuan yang diberikan kepada masyarakat.
Jadi, Anda mau memilih yang tidak paham era digital dan tidak bekerja secara efektif untuk masyarakat atau memilih yang memang sudah punya visi ke depan dalam menolong masyarakat? Saya sih pilih Prabowo-Sandiaga.