Fenomena menarik kita lihat akhir-akhir ini, semakin banyak masyarakat aktif memproduksi konten melalui gerakan jurnalisme warga. Mereka memanfaatkan platform digital untuk menyuarakan pengalaman dan perspektif mereka, sekaligus menantang wacana yang selama ini dikuasai oleh elite yang cenderung mengabaikan suara rakyat
Teori komunikasi kritis, sebagaimana diungkapkan oleh Atton (2002:4), menyatakan bahwa praktik komunikasi yang dominan sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa untuk melanggengkan hegemoni mereka dan menghalangi perubahan sosial. Dalam konteks ini, media besar lebih sering meliput isu-isu yang sejalan dengan kepentingan elite, sementara cerita dan perjuangan dari masyarakat adat, buruh, serta kelompok marjinal lainnya sering kali terabaikan.
Jurnalisme warga hadir sebagai inisiatif alternatif yang memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan pengalaman mereka secara langsung melalui media sosial. Fenomena ini tampak jelas pada beberapa kasus viral, seperti pemberitaan mengenai konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat di Papua. Melalui platform jurnalisme warga, mereka bisa menyampaikan perjuangan mereka dalam mempertahankan hak atas tanah leluhur. Konten-konten ini kemudian viral, mendorong solidaritas dari netizen untuk mendesak pihak terkait agar bertanggung jawab.
Jurnalisme Warga dan Ekonomi Politik
Selain itu, jurnalisme warga juga menjadi saluran bagi kelompok pekerja untuk mengungkapkan perjuangan mereka melawan dominasi ekonomi politik. Dalam banyak kasus, eksploitasi tenaga kerja oleh korporasi besar terjadi dengan dukungan kuat dari kekuatan politik yang berusaha mempertahankan iklim investasi yang menguntungkan pemilik modal. Korporasi besar seringkali bersekongkol dengan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang melindungi kepentingan ekonomi mereka, meskipun itu berarti mengabaikan hak-hak dasar pekerja, seperti upah yang layak, jam kerja yang adil, dan kondisi kerja yang manusiawi.
Jurnalisme warga menjadi alat yang ampuh bagi buruh untuk melawan dominasi tersebut. Dengan menggunakan platform digital, para buruh dapat berbagi pengalaman tentang ketidakadilan yang mereka alami, mulai dari upah yang tidak memadai, jam kerja yang melelahkan, hingga lingkungan kerja yang tidak aman. Melalui jurnalisme warga, mereka dapat memperjuangkan hak-hak mereka dan menarik perhatian masyarakat luas terhadap ketimpangan yang terjadi. Konten-konten ini, yang sering kali menjadi viral, mendorong terciptanya solidaritas antara pekerja dan netizen, serta menekan perusahaan dan pemerintah untuk bertanggung jawab.
Dalam kerangka ekonomi politik, jurnalisme warga menjadi senjata untuk menantang struktur kekuasaan yang lebih besar, yang sering kali memperkuat eksploitasi tenaga kerja demi keuntungan. Jurnalisme ini memungkinkan kelompok-kelompok marjinal, termasuk buruh, untuk berbicara dengan suara mereka sendiri, menanggapi ketidakadilan yang mereka hadapi, dan terlibat dalam upaya untuk mengubah struktur sosial yang lebih adil dan inklusif. Ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Haryanto (2014), yang mengatakan bahwa jurnalisme warga semakin penting di tengah konsolidasi kekuatan politik, ekonomi, dan media yang cenderung oligopolistik. Gerakan ini memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan untuk menyuarakan perspektif mereka, memperjuangkan hak-hak mereka, dan memicu perubahan yang lebih besar dalam masyarakat.
Kesadaran Kolektif
Fenomena jurnalisme warga juga menciptakan ruang bagi munculnya kesadaran kolektif yang lebih kuat di masyarakat. Melalui narasi yang berasal langsung dari pengalaman individu atau kelompok, masyarakat menjadi lebih peka terhadap ketidakadilan yang selama ini disembunyikan atau direduksi oleh media arus utama. Dengan cara ini, jurnalisme warga menjadi semacam “pencahayaan” terhadap isu-isu yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari media besar. Ini adalah bentuk pemberdayaan yang membawa suara-suara yang selama ini terabaikan ke pusat wacana publik.
Namun, di balik potensi besar yang ditawarkan oleh jurnalisme warga, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Media sosial dan platform digital memang memberi ruang yang luas bagi para pekerja dan kelompok marjinal untuk berbicara, tetapi juga dapat digunakan untuk kepentingan yang sebaliknya. Dalam banyak kasus, informasi yang disebarluaskan di dunia maya bisa mudah disalahgunakan, terdistorsi, atau dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu, meskipun jurnalisme warga dapat mengungkapkan ketidakadilan dan menantang dominasi, proses verifikasi dan akurasi informasi tetap sangat penting agar gerakan ini tidak terjebak dalam ruang disinformasi.
Lebih jauh lagi, meskipun jurnalisme warga dapat memberi suara bagi mereka yang selama ini terpinggirkan, tidak bisa dipungkiri bahwa dominasi ekonomi dan politik yang mendalam di balik industri media dan perusahaan besar tetap memainkan peran penting dalam menentukan agenda publik.
Pengaruh besar yang dimiliki oleh korporasi dan elite politik sering kali masih membentuk cara media besar melaporkan isu-isu tertentu, mengarah pada pengabaian atau penyederhanaan masalah yang berkaitan dengan ketidakadilan sosial, buruh, dan kelompok marginal lainnya. Oleh karena itu, meskipun jurnalisme warga dapat memperkenalkan alternatif narasi, perubahan sejati dalam sistem yang lebih besar tetap memerlukan upaya kolektif untuk mendobrak kekuatan-kekuatan dominan yang ada.
Pendidikan kritis, seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, memainkan peran penting dalam mempersiapkan generasi mendatang untuk dapat berpikir secara kritis dan mempertanyakan struktur sosial yang ada. Pendidikan yang mengajarkan tentang ketidakadilan sosial, dominasi politik, dan ekonomi, serta pentingnya suara individu dan kelompok dalam masyarakat, dapat memperkuat gerakan jurnalisme warga. Dengan menciptakan ruang untuk dialog dan refleksi kritis, pendidikan berperan sebagai sarana untuk memperluas pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka, serta cara-cara untuk menantang ketidakadilan yang terjadi.
Pada akhirnya, jurnalisme warga bukan hanya soal mendokumentasikan dan membagikan peristiwa; ia adalah sebuah alat untuk memperjuangkan perubahan sosial. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang bertahan lama dalam sistem sosial dan politik kita. Bagi buruh, jurnalisme warga memberikan suara untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini ditekan oleh kekuatan kapitalisme dan eksploitasi. Dengan menyebarluaskan cerita mereka, jurnalisme warga dapat menciptakan aliansi solidaritas antara pekerja, masyarakat sipil, dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap keadilan sosial.
Namun, untuk jurnalisme warga ini benar-benar efektif dalam membawa perubahan yang berarti, ia harus dapat mengatasi tantangan besar yang datang dari ketidaksetaraan akses ke media dan informasi. Agar gerakan ini dapat berkembang, kita membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil terkait kebebasan berbicara dan akses terhadap informasi yang tidak terdistorsi. Sebagai elemen penting dalam demokrasi, jurnalisme warga harus diberdayakan untuk menjadi kekuatan yang tidak hanya mengungkapkan, tetapi juga menciptakan ruang bagi perubahan sosial yang lebih inklusif dan adil.
Referensi
Atton, C. (2002). Alternative Media. Sage Publications.
Haryanto, P. (2014). Jurnalisme Warga Sebagai Jurnalisme Partisipatif. Penerbit Salemba Empat.
Freire, P. (1970). Pedagogy Of The Oppressed. Continuum.