Sampai berapa jauh pers Indonesia akan memberitakan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin? Sampai kebenaran akan sangkaan atas Jessica terwujud atau sampai muncul kasus publik baru yang tidak kalah kontroversial?
Hari-hari ini, media massa, khususnya televisi dan media online, memang terus-menerus membombardir ruang publik dengan aneka rupa informasi dan gosip-gosip di seputar kasus tersebut. Namun belum tentu pers akan mengawalnya hingga tuntas.
Satu kebiasaan yang cukup menonjol dalam pers Indonesia dewasa ini adalah meninggalkan tanda tanya besar tentang kasus-kasus yang telanjur diangkat ke permukaan. Pers melempar suatu kasus ke ruang publik, mengupasnya dari berbagai sisi, memicu kontroversi dan menyedot perhatian khalayak, namun kemudian tiba-tiba berhenti memberitakannya.
Sebelum kebenaran tentang kasus tersebut benar-benar terungkap, pers telah beranjak ke kasus lain yang lebih aktual. Akibatnya, kebenaran tentang suatu masalah tetap menggantung atau simpang siur. Masyarakat tidak mendapat jawaban atas pertanyaan yang telah dilempar pers ke ruang publik. Pers yang semestinya membantu masyarakat menemukan jawaban itu justru meninggalkan tanda tanya yang tak terjawab.
Contoh terbaik barangkali adalah pemberitaan tentang bencana asap. Pada periode Agustus-Oktober 2015, begitu besar perhatian pers nasional terhadap bencana asap. Tak terhitung lagi berapa banyak berita dan editorial yang membahasnya, berapa banyak talkshow televisi yang mendiskusikannya. Namun begitu musim penghujan mulai rata menghampiri sekujur bumi Nusantara pada November 2015, mendadak sontak pemberitaan itu reda. Hanya segelintir media yang terus memberitakan kasus bencana asap. Hujan membasuh asap, sekaligus meredakan pemberitaan pers.
Padahal, jelas sekali kasus ini masih jauh dari selesai. Para terduga pembakar hutan belum diadili, proses hukum umumnya masih pada tahap permulaan. Pemberitaan media tentu tidak kalah mendesak pada fase ini, untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan proporsional dan memadai.
Demikian juga keadilan bagi jutaan rakyat korban asap yang tidak bisa sekolah, yang sakit, yang tidak bisa bekerja, dan yang meninggal dunia harus ditegakkan. Jangan sampai penegakan hukum atas kasus ini hanya hangat-hangat tahi ayam! Pers adalah kekuatan yang sangat diharapkan berkontribusi dalam konteks ini.
Namun, demikianlah kebiasaan pers kita. Bulan lalu ruang publik media dibombardir dengan berita bencana asap, bulan ini kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden menyela, bulan depan entah kasus apa lagi yang menyita perhatian pers.
Memang benar, penegakan hukum bukan porsi pers. Pers tidak perlu menjadi hakim yang mengadili pihak-pihak. Namun pers secara moral bertanggung jawab mengawasi penyelesaian kasus publik, terutama jika pers sendiri yang menstimuli perbincangan publik tentang kasus tersebut. Tentu tidak elok jika pers memulai kontroversi, menyedot perhatian khalayak, lalu meninggalkan begitu saja kontroversi itu tatkala masyarakat telanjur berharap jawaban tentang apa yang terjadi.
Bagaimana agar media dapat tuntas memberitakan suatu kasus? Bukankah pemberitaan suatu kasus publik sebenarnya dapat berjalan paralel dengan pemberitaan kasus yang lain? Bukankah pemberitaan kasus publik lebih baik dilakukan secara bertahap namun berkelanjutan daripada menggebu-gebu dalam beberapa hari kemudian hilang sama sekali?
Di sini kita berbicara tentang orientasi pemberitaan dan kemandirian redaksi. Media harus dapat merumuskan orientasi pemberitaan secara mandiri dan terprogram sehingga mampu membuat skala prioritas pemberitaan di tengah-tengah hiruk-pikuk isu-isu sosial politik yang terus berkembang sangat dinamis. Kemandirian redaksional sangat penting karena dewasa ini semua pihak semakin menyadari pentingnya publisitas media.
Semua pihak ingin mendapatkan tempat dalam ruang pemberitaan media, dan menggunakan berbagai cara untuk meraih perhatian wartawan. Memberikan pernyataan kontroversial bahkan telah menjadi modus untuk meraih pemberitaan media di kalangan pejabat publik. Tentu harus dicatat, tidak semua media terpancing oleh modus seperti ini.
Tentang kegemaran pejabat publik melontarkan pernyataan kontroversial, misalnya, ada seloroh di kalangan wartawan. Pada pemerintahan sebelumnya, para wartawan harus mengajukan pertanyaan provokatif untuk memancing para menteri dan anggota DPR agar membuat pernyataan yang sensasional. Namun pada periode pemerintahan sekarang ini, bahkan tanpa perlu dipancing-pancing wartawan sekalipun, para menteri dan politisi sudah dengan sendirinya melontarkan pernyataan yang sensasional.
Sangat mungkin pernyataan sensasional sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi opini masyarakat melalui pemberitaan media. Oleh karena itu, sekali lagi, kemandirian redaksional sangat dibutuhkan. Media harus selalu menyadari kekuatannya dalam mengarahkan pikiran masyarakat.
Teori agenda setting menyatakan, apa yang diberitakan media seringkali tidak persis mencerminkan kenyataan di lapangan. Media melakukan seleksi realitas atau dimensi-dimensi realitas. Media menonjolkan sudut pandang tertentu dan mengabaikan sudut pandang yang lain. Meski demikian, apa yang disajikan media tetap dapat mempengaruhi pikiran masyarakat. Apa yang dianggap penting media, apa yang sering diberitakan media, cenderung dipercaya masyarakat sebagai masalah publik yang paling penting saat itu. Inilah yang disebut Mc Combs dan Shaw (1972) sebagai kekuatan media untuk menentukan agenda-agenda publik.
Sebagai contoh, hari-hari ini pemberitaan tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak terkesan adem-ayem saja. Perhatian pers tidak begitu besar. Hal ini dapat menggiring masyarakat pada kesimpulan bahwa pilkada tidak begitu penting. Padahal pilkada serentak adalah urusan yang sangat menentukan: memilih ratusan bupati, wali kota dan gubernur di seantero negeri ini.
Pers nasional semestinya menempatkan masalah pilkada serentak ini pada porsi yang selayaknya. Semoga kali ini masyarakat dapat membangun persepsinya sendiri tanpa banyak dipengaruhi kecenderungan pemberitaan pers.