Bulan Juni adalah bulan bercerita Sukarno. Kita mengingat tanggal-tanggal penting: 6 Juni 1901 (hari kelahiran Sukarno), 1 Juni 1945 (hari bersejarah saat Sukarno berpidato Pancasila), 21 Juni 1970 (Sukarno wafat). Detik-detik hidup dan embusan napasnya menghendaki semaian ide-imajinasi Indonesia. Sukarno pun menjelma arsitek negara-bangsa Indonesia.
Bob Hearing (2012) mengakui Sukarno memicu emosi dan kontroversi. Jalan politiknya memang terjal dan keras, tapo ia tak putus asa. Penjara dan pembuangan oleh pemerintah kolonial tak bisa membungkan seruan nasionalisme. Sukarno justru lantang dan garang. Kita mengingat kebandelan Sukarno dalam pledoi bersejarah: “Indonesia Menggugat” (1930).
Meski mendapat represi colonial, Sukarno tampil sebagai pembawa suluh bermisi pembebasan. Sukarno mengusung misi perubahan di Indonesia. Kita bisa mengutip pengakuan Sukarno saat mengingat pesan sang ibu: “Jangan, jangan pernah kau lupakan bahwa dirimu anak fajar. Kau akan menjadi pemimpin besar bangsa karena ibumu melahirkan dirimu pada waktu fajar.”
Sukarno mengantarkan Indonesia, dari gelap menghampiri terang. Indonesia bergerak. Sukarno ibarat “penggugah” saat Indonesia terluka dan terbisukan selama ratusan tahun akibat kolonialisme.
Gairah politik Sukarno mengeras saat menjalani studi di HBS Surabaya. Sukarno turut menumpang hidup di rumah HOS Tjokroaminoto, sang tokoh pergerakan Sarekat Islam. Rumah itu menjelma “sekolah politik”, ruang untuk mengolah sengatan politik di tubuh kolonial. Sukarno bergairah membaca referensi-referensi besar untuk mengerti gagasan Islam, nasionalisme, demokrasi, marxisme, sosialisme. Buku Sun Yat Sen berjudul San Min Chui diakuinya sebagai resep manjur bagi agenda melawan kolonial. Sukarno mendapati
percikan permenungan itu saat berusia 18 tahun. Seruan politik Sukarno mulai menentukan arah sejarah Indonesia, menggerakkan agenda-agenda politik dan intelektual.
Peter Kasenda (2014) mencatat bahwa gairah buku terbentuk melalui gemblengan HOS Tjokroaminoto. Sukarno mengenang: “Pak Tjokro adalah pudjaanku. Aku muridnja. Setjara sadar atau tidak sadar, ia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinja dan diberikannja kepadaku buku-bukunja. Diberikan kepadaku, miliknja jang berharga.” Sukarno mulai mempelajari pemikiran-pemikiran dari para tokoh besar dunia melalui buku-buku: Thomas Jefferson, George Washington, Karl Marx, Frederich Engels, Lenin, JJ Rousseau. Buku menjadi referensi untuk menanggapi zaman, mengejawantahkan Indonesia.
Sukarno sebagai manusia politik memang menimbulkan gentar di mata kolonial. Geliat Sukarno menebar benih-benih cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pidato dan tulisan menjadi modal Sukarno dalam mengikat diri ke kalbu rakyat. Bahasa Sukarno menggugah dan meledak. Politik memerlukan bahasa perlawanan. Bara bahasa mengabarkan keberanian mengubah nasib Indonesia. Sukarno sengaja menjadikan Indonesia bergerak oleh bahasa. Sukarno adalah pembentuk bahasa politik, bahasa memuliakan Indonesia.
Sukarno semakin menebar aura perlawanan. Gairah berpolitik bersama Partai Nasional Indonesia (1927) mengawali pencanggihan politik. Partai politik adalah rujukan mendedah dan merealisasikan ide-ide politik. Sukarno menganggap ikhtiar Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat melalui pendirian Indische Partij (1912) memicu rasionalitas politik modern di Hindia Belanda. Mereka mengajarkan politik radikal, tak jera menanggung hukuman kolonial. Sukarno mengafirmasi sekian gagasan para penggerak bangsa, mengejawantahkan gerakan politik bercap nasionalisme.
Biografi politik Sukarno menggerakkan Indonesia. Rakyat menaruh pengharapan pada Sukarno sebagai suluh dan lokomotif. Situasi politik 1930-an membuat Sukarno mengalami represi. Tindakan kolonial untuk menepikan dan membuang para nasionalis-radikal menjadi pemicu frustrasi politik. Sukarno, Hatta, Sjahrir mengalami represi. Para tokoh penggerak bangsa pun mendapati kontrol ketat. Sukarno tak mau selesai. Penjara dan pembuangan mengantarkan Sukarno ke refleksi politik: Indonesia mesti merdeka! Optimisme terus bertumbuh melalui pergaulan dengan rakyat.
Sukarno ibarat “penggembala” untuk menapaki Indonesia merdeka. Perjalanan Sukarno, perjalanan Indonesia. Perlawanan terhadap kolonialisme telah menguatkan kehendak memartabatkan Indonesia.
Sukarno di masa 1940-an mesti lihai berpolitik saat meladeni Jepang. Godaan dan siksa Jepang menimbulkan derita di kalangan rakyat. Kondisi akut merangkum narasi kolonialisme. Sukarno tak berputus asa, kukuh dan tegak mengarsiteki politik demi kemerdekaan. Janji suci untuk negeri adalah keharusan.
Sukarno mengumumkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia pada 1 Juni 1945. Kita mewarisi Pancasila sampai masa sekarang. 17 Agustus 1945 menjadi momentum proklamasi Indonesia.
Sukarno sebagai penguasa justru rawan perseteruan. Situasi politik di masa Orde Lama mengandung konflik sengit antara pelbagai tokoh dan partai politik. Sukarno kadang mengalami dilema. Indonesia mirip “teater tragedi”. Ideologi-ideologi disajikan para aktor politik secara dramatis. Semaian demokrasi melalui partai politik memang menggerakkan Indonesia ke selebrasi kebebasan dan kekuasaan. Pemilu 1955 menjadi pijakan demokrasi dengan konsekuensi sengketa ideologis. Sukarno mafhum bahwa afirmasi demokrasi itu kehendak zaman, tapi Indonesia memerlukan persatuan-kesatuan. Konflik dan perpecahan atas nama demokrasi-parlementer memicu Sukarno mengumumkan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan kontroversial memunculkan kritik dan gugatan. Sukarno terus bergerak tanpa jera.
Biografi politik Sukarno memang dramatik. Situasi politik 1960-an adalah latar keberakhiran kekuasaan Sukarno. Kecemburuan dan perseteruan politik menimbulkan prahara. Sukarno ada dalam dilema kekuasaan. Malapetaka 1965 memicu resistansi atas agenda-agenda politik Sukarno. Detik-detik keruntuhan Orde Lama semakin kentara. Sukarno pun merana, menjelang senjakala.
Sukarno pernah memberi julukan kepada dirinya sendiri: “Sukarno adalah nama besar bagaikan dewa tapi juga dikutuk bagaikan bandit”. (Cindy Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat, 1966).
Misi sebagai “putra sang fajar” telah terpenuhi meski mengandung tragedi. Sukarno belum selesai mengisahkan Indonesia tapi maut menghampiri, 21 Juni 1970.
Sukarno adalah ingatan tak paripurna untuk Indonesia. Juni, kita mengingat Sukarno dan Indonesia.