Pemerintahan Joko Widodo resmi memberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) sejak 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Payung hukumnya telah ditetapkan, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Target pendapatan negara adalah Rp 165 triliun.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU tersebut, tax amnesty adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan. Pro dan kontra bermunculan. Pihak pro bersikukuh tax amnesty positif untuk disiplin pajak ke depan sekaligus menambah pendapatan negara.
Sedangkan pihak kontra menuding tax amnesty akan menguntungkan koruptor, pengemplang pajak, dan pelaku pencucian uang. Apa pun itu, pendapatan tax amnesty mesti dioptimalkan untuk kepentingan rakyat. Aspek yang penting menjadi prioritas adalah kemiskinan. Optimisme tax amnesty mulai tumbuh sejak Sri Mulyani ditunjuk sebagai menteri ekonomi baru.
Potret Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2016 pada 18 Juli 2016. Penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta jiwa atau 10,86 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen).
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2015 sebesar 8,22 persen, turun menjadi 7,79 persen pada Maret 2016. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik dari 14,09 persen pada September 2015 menjadi 14,11 persen pada Maret 2016.
Jumlah penduduk miskin terbanyak di Maluku dan Papua, yakni 22,09 persen dan terendah di Kalimanatan 6,26 persen. Sedangkan dari sisi jumlah, penduduk miskin masih terbanyak terdapat di Pulau Jawa, yakni 14,97 juta dan terendah di Kalimantan 0,97 juta orang.
Garis kemiskinan naik 2,78 % dari Rp 344.809 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp 354.386 per kapita per bulan pada Maret 2016. Garis kemiskinan di perkotaan naik 2,29 % dari Rp 356.378 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp 364.527 per kapita per bulan pada Maret 2016. Sementara, garis kemiskinan di perdesaan secara nasional naik 3,19% dari Rp 333.034 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp 343.646 per kapita per bulan pada Maret 2016.
Faktor yang mempengaruhi penurunan penduduk miskin adalah rata-rata harga kebutuhan pokok yang turun selama periode September 2015 sampai Maret 2016. Selain itu, nilai rata-rata upah buruh petani per hari Maret 2016 dibanding September 2015 naik 1,75% dari Rp 46.793 menjadi Rp 47.559. Nilai rata-rata upah buruh bangunan per hari bulan Maret 2016 dibanding bulan September 2015 juga naik 1,23% dari Rp 79.657 menjadi Rp 81.481.
Secara umum banyak faktor penyebab kemiskinan. Indonesia termasuk 16 terbesar pemilik sumber daya alam dan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik mengakibatkan banyaknya kemiskinan. Pembangunan infrastruktur Indonesia juga belum merata.
Upaya Optimalisasi
Peraturan mulai dari UU hingga peraturan menteri sudah diterbitkan. Satu-satunya tugas pemerintah adalah optimalisasi pencapaian target dan meminimalisasi penyelewengan. Koordinasi lintas instansi dan institusi mesti diintensifkan. Kampanye penting digencarkan serta layanan dijamin mudah dan berkualitas. Upaya optimalisasi memanfaatkan tax amnesty oleh pemerintah, khususnya untuk program penanggulangan kemiskinan, penting memperhatikan beberapa hal.
Pertama, pemerintah meyakinkan kepada rakyat. Gugatan UU Pengampunan Pajak telah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah wajib mempertahankan argumen secara maksimal. Rakyat juga penting disosialisasikan guna paham dan yakin terkait kemanfaatan tax amnesty.
Kedua, pemerintah berani melawan intervensi negara lain. Singapura mengindikasikan menolak kebijakan tax amnesty Indonesia. Intervensi mesti dilawan oleh pemerintah. Kebijakan Indonesia menjadi hak dan wujud kedaulatan negara. Diplomasi penting dioptimalkan guna meyakinkan mereka dan memudahkan pelaksaan tax amnesty kepada WNI yang memarkir hartanya di sana.
Ketiga, pelaksanaannya mesti bersih dengan transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan ini menyangkut keberadaan uang yang sangat besar terkait uang tebusan. Kasus kongkalikong guna meminimalkan tebusan dengan imbalan kepada oknum mesti dihindari. Pengawasan ketat penting dilakukan guna mewujudkan zerro tolerance kepada kasus-kasus tersebut.
Keempat, perlu peta jalan memanfaatkan pendapatan tax amnesty. Fokus awal memang adalah kampanye, layanan, dan optimalisasi. Namun sejak dini penting disiapkan ke mana pendapatan akan dipergunakan. Hal ini juga menjadi salah satu stimulus agar wajib pajak bisa berpartisipasi. Selain itu guna meyakinkan rakyat terkait kemanfaatan tax amnesty.
Kelima, sinergi dengan upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Alih-alih mewujudkan disiplin pajak dan menghindari korupsi dan pencucian uang, jangan sampai justru menciptakan tindak korupsi baru. Sebaliknya, proses tax amnesty dapat memberikan data bagi upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Wajib pajak yang mendeklarasikan hartanya, namun tidak wajar dapat dimintakan penelusuran melalui PPATK dan atau KPK.
Keenam, sinergi dengan program penanggulangan kemiskinan. Optimalisasi pendapatan tax amnesty guna penanggulangan kemiskinan tidak berarti membuat program baru. Program penanggulangan yang ada tinggal didukung dengan dana tax amnesty ini.
Waktu pemberlakuaan tax amnesty cukup singkat, yaitu hanya sembilan bulan. Pemerintah mesti bergerak cepat dan tepat dalam menjalankannya. Semua komponen penting mendukung dan memberikan sarah kritik demi optimalisasinya. Jika target Rp 165 triliun tercapai, maka akan sangat berarti bagi dukungan penanggulangan kemiskinan.