Jumat, Maret 29, 2024

Jokowi, Kemiskinan, dan Imbauan

David K Alka
David K Alka
Pemerhati Politik Kontemporer dan Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah (2018-2022)
Seorang warga menunjukan kartu Program Keluarga Harapan (PKH) ketika akan mengambil dana tersebut, di Kantor Pos, Jalan Sudirman, Medan, Sumatera Utara. ANTARA FOTO/ Irsan Mulyadi
Seorang warga menunjukkan kartu Program Keluarga Harapan (PKH) ketika akan mengambil dana tersebut di Kantor Pos, Jalan Sudirman, Medan, Sumatera Utara. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Memasuki awal tahun ini, Senin (4/1/2016), Badan Pusat Statistik kembali melansir persentase penduduk miskin. Pada September 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,51 juta orang (11,13 persen), berkurang sebesar 0,08 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen).

Meski berkurang dari Maret 2015, jumlah penduduk miskin di negeri ini masih cukup tinggi. Kesenjangan ekonomi dan sosial masih terjadi di semua lini. Artinya, rasa menjiwai nasib rakyat miskin oleh elite negeri ini belum begitu berarti. Di tengah masih banyaknya rakyat miskin, elite kita masih ada yang menari-nari di atas kemiskinan rakyat. Ditambah lagi berbagai bencana di beberapa daerah mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi melambat, dan bisa jadi angka kemiskinan terus meningkat.

Pemerintah tentu tak sekadar memberi harapan semu bahwa ekonomi nasional akan segera tumbuh pada tahun ini. Tumbuh pun ekonomi tetap saja masih banyak penduduk miskin yang tidak dapat menikmati hasil pertumbuhan tersebut. Apalagi ketika ekonomi melambat, orang miskin dan hampir miskin terkena berlipat dampaknya, bertambah miskin.

Kebanyakan penduduk yang miskin memperoleh pencarian dalam sektor informal karena mereka tergolong unskilled labour. Mereka mendapat pekerjaan sebagai tenaga buruh, penjual makanan kecil, pemulung, dan lain sebagainya. Penghasilan mereka minim dan tidak tetap, jam kerja mereka tak terbatas. Sering mereka menghadapi masalah bagaimana besok bisa makan, anak-anak mereka ingin sekolah, dan pasti minta jajan.

Menurut Sartono Kartodirdjo (2005:156), karena tidak memiliki sumber daya, baik material maupun intelektual, ada dua kemungkinan kecenderungan mental terjadi, antara lain (1) timbul mentalitas pasif, indolen, responsif; (2) tumbuh pada dirinya sifat agresif, eksploitatif, protes.

Berdasarkan kondisi ekonomi minimal, kehidupan orang-orang miskin dikuasai oleh kompleksitas sifat-sifat yang saling mempengaruhi serta saling memperkuat, dengan dampak lingkaran setan. Ini yang disebut sindrom kemiskinan, yang mencakup antara lain (1) sifat pasif; (2) indolensi; (3) fatalisme; (4) sifat statis.

Perihal masalah kaum miskin tersebut lazimnya ditentukan oleh golongan berkedudukan (established). Melekat pada stereotipe itu ialah negasi (pengingkaran) setiap identitas. Ini berarti, kaum miskin adalah nonfaktor atau nobody. Tak mengherankan kalau golongan atas memandang rendah atau meremehkan, acapkali juga tidak mengakui sebagai sesama manusia (ora diwongake).

Semestinya, golongan atas atau elite negeri ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo diharapkan mampu menguatkan solidaritas untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Selain itu, keseriusan pemerintah juga dituntut untuk mengatasi persoalan masyarakat miskin. Membangun bangsa dan menciptakan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur dengan berbagai caranya. Meroketkan ekonomi yang melambat tentu tak banyak artinya jika struktur kemiskinan yang membelenggu banyak orang tidak segera diatasi.

Jadi, bukan sidang paripurna yang heboh di gedung wakil rakyat, bukan pula sekadar imbauan optimisme yang disuarakan, namun butuh solidaritas bergerak untuk meningkatkan ekonomi negara yang melambat. Perlu kedalaman hati dan kesungguhan tekad para elite republik ini untuk urun rembuk menguatkan ekonomi rakyat dan menyediakan lapangan kerja yang layak.

Selain itu, menyitir pandangan Soedjatmoko, yang dikutip Idi Subandy Ibrahim (2005:94), kita perlu membangun suatu kebudayaan baru yang kembali menempatkan manusia sebagai pelindung dan pemelihara alam serta segala kekayaannya, dan yang mampu untuk memayu hayuning bawono, yakni dapat menyelamatkan umat dan memupuk kesejahteraan, menuju keraharjaan, keselamatan, dan kerahayuan.

Artinya, di tengah masih banyaknya ketimpangan dan kemiskinan, yang diperlukan bukan sekadar solidaritas ucap. Tetapi perlu menguatkan kebudayaan baru, yaitu budaya bergerak, bukan sekadar budaya ucap.

Nah, jika ternyata tahun ini angka kemiskinan malah meningkat, apalagi yang hendak disampaikan. Kalau memang ternyata suara sidang wakil rakyat dan imbauan optimisme bahwa ekonomi negeri tahun ini akan bangkit hanya suaranya saja hebat, bukan gerakannya yang mantap. Semoga tidak.

David K Alka
David K Alka
Pemerhati Politik Kontemporer dan Wasekjen PP Pemuda Muhammadiyah (2018-2022)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.