Jumat, April 26, 2024

Jokowi, Harga Pangan, dan Inflasi

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

dom-1452858007Petani menebar pupuk di areal persawahan Takeran, Magetan, Jawa Timur, Jumat (15/1). Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi pada 2016 sebanyak 76,23 juta ton gabah kering giling (GKG). ANTARA FOTO/Siswowidodo.

Tak banyak disadari, dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan inflasi di negeri ini didorong fenomena nonmoneter. Ditilik dari sumbernya, inflasi didorong oleh sektor pangan (volatile foods) dan barang-barang yang harganya diatur oleh pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil.

Pada 2014, misalnya, dari inflasi 8,36% sekitar 2,06% disumbang oleh bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Pangan berperan 40,31% pada inflasi nasional. Pada 2015, harga pangan tetap tak terkendali, yang tercermin dari andil pangan sebesar 61,19% pada inflasi nasional.

Jika dicermati dari sumbernya, seperti dirilis Badan Pusat Statistik 4 Januari 2016, komoditas pangan yang berperan besar dalam inflasi berturut-turut adalah beras, bawang merah, daging broiler, ikan segar, nasi dengan lauk, telur ayam, bawang putih, mie dan gula pasir. Dibandingkan tahun 2014, komoditasnya tak ada perbedaan signifikan. Yang berbeda hanya andilnya.

Negeri ini tergolong tertinggal dalam pengaturan pangan, terutama pengendalian harga. Saat negara lain amat rigid mengatur dan mengendalikan harga pangan, Indonesia cenderung menyerahkan harga pangan pada pasar. Hampir semua harga pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur distribusi sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal terhadap guncangan pasar.

Instrumen stabilisasi harga juga terbatas. Sejak Badan Urusan Logistik (Bulog) dikebiri, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Kini, penyangga dan pengatur harga itu diambil alih swasta. Mereka yang hanya segelintir pelaku itu menguasai distribusi komoditas pangan. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Di tangan mereka, bisnis ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking.

Ujung masalah ini inflasi sulit dikendalikan. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspose mereka pada posisi rentan. Warga miskin di pedesaan membelanjakan 74% pendapatan keluarga untuk pangan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan, menguras 32% pendapatan keluarga miskin.

Mereka mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak tinggi. Karena itu, sejumlah ekonom menyebut inflasi “perampok uang rakyat”. Jumlah warga miskin di negeri ini tidak turun signifikan selama satu dekade terakhir, karena instabilitas harga pangan hingga kini tidak kunjung diurus secara serius.

Payung hukum stabilisasi harga sudah kuat dengan adanya Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 dan Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Lewat dua UU ini pemerintah bisa mengintervensi manakala ada kegagalan pasar.

Pemerintah juga sudah menetapkan 11 kebutuhan pokok lewat Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 yang mencakup: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabe, bawang merah, gula, minyak goreng, terigu, daging sapi, daging broiler, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang). Agar operasional, Perpres ini perlu aturan turunan harga, mekanisme, dan lembaga pengawas berikut sanksi-sanksinya.

Salah satu instrumen penting stabilisasi harga adalah cadangan/stok. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Dalam PP itu cadangan pangan terbagi tiga level: pusat, daerah, dan desa. Di Pasal 3 PP No 17/2015 diatur cadangan hanya ada pada “pangan pokok tertentu”. Jenis pangan pokok tertentu ini harus ditetapkan Presiden, dan jumlah cadangan ditetapkan Kepala Lembaga Pangan.

Sayangnya, aturan turunannya belum ada. Lembaga pangan juga belum dibentuk hingga kini.
Tanpa menstabilkan harga pangan, pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia akan sia-sia. Agar instabilitas harga pangan tidak selalu jadi rutinitas tahunan dan inflasi bisa dikendalikan, perlu dua langkah sekaligus.

Pertama, Presiden segera menetapkan jenis pangan pokok tertentu yang diatur cadangannya. Kedua, segera membentuk lembaga pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan. Kemudian kepala lembaga ini menetapkan jumlah cadangan pangan pokok tertentu.

Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga. Lewat dua cara ini pengendalian harga pangan dan inflasi berpeluang bisa ditunaikan dengan lebih baik.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.