Kamis, Maret 28, 2024

Kolom: Jokowi, El Nino, dan Impor Beras

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Seorang petani menunjukkan padinya yang mengalami kekeringan di Batipuhpanjang, Padang, Sumbar. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Seorang petani menunjukkan padinya yang mengalami kekeringan di Batipuhpanjang, Padang, Sumbar. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

El Nino dengan tingkat moderat diperkirakan akan terjadi tahun ini. Ditilik dari indikator indeks El Nino, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tahun ini kondisinya sama dengan tahun 1997. Jika perkiraan ini benar-benar terjadi, kita semua patut khawatir.

Menurut Pusat Perkiraan Iklim Amerika Serikat, sejak 1950 terjadi 22 kali El Nino, enam di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat. Terakhir El Nino intensitas kuat terjadi pada 1997/1998.

Apa yang terjadi? Pada 1997/1998 Indonesia dilanda kekeringan panjang dan parah. Di berbagai daerah, pembangkit listrik tenaga air kritis, sawah puso, air sungai menipis, krisis air minum, dan kebakaran hutan dan lahan marak. Episode ini disusul paceklik, rawan pangan, dan busung lapar. Luas tanam dan panen menurun, juga kualitas hasil dan produktivitas. Saat itu 88.467 hektare, dari 504.021 hektare lahan, yang kekeringan puso.

Karena produksi menurun, impor pelbagai pangan seperti beras, kedelai, jagung, dan daging ayam meledak. Tahun 1998 impor beras mencapai 7,1 juta ton, impor terbesar sepanjang sejarah. Dampak El Nino makin menyiksa karena berimpitan dengan krisis moneter akut. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan inflasi meledak.

Berpilin dengan faktor sosial-ekonomi-politik, kekeringan akut yang disulut oleh El Nino turut menyumbang kecepatan jatuhnya rezim dan penguasa saat itu: Presiden Soeharto.

Tahun ini jelas berbeda dengan tahun 1997/1998. Namun, bukan berarti kita boleh lengah dan memandang enteng dampak El Nino. Sebab, periode El Nino tahun ini diperkirakan berlagsung cukup panjang: hingga Desember. Periode kekeringan yang panjang membuat produksi pangan menurun, dan petani akan jatuh miskin karena sawah satu-satunya harta dan sandaran hidup.

Jumlah pengangguran meningkat dan arus urbanisasi tak terbendung. Ini akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Politik akan terguncang jika hal-hal di atas tidak terkendalikan dan dicermati Presiden Joko Widodo.

Presiden Joko Widodo berbincang-bincang dengan petani di sawah. ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo berbincang-bincang dengan petani di sawah. ANTARA FOTO

Bagi pertanian, El Nino setidaknya berpengaruh pada tiga hal: memperluas lahan puso, menurunkan produktivitas, dan memundurkan masa tanam. Ujung dari semua ini produksi pangan menurun. Sesuai hukum pasokan-permintaan, apabila pasokan menurun akibat produksi yang menurun harga-harga pangan akan terkerek naik. Inflasi juga akan meledak dan membuat daya beli masyarakat, terutama warga miskin, tertekan olehnya.

Agar ini tidak terjadi, jauh-jauh hari sejumlah pihak meminta agar pemerintah membuka opsi impor pangan, salah satunya beras. Beras jadi penting bukan hanya karena semua perut warga negeri ini bergantung pada beras, tapi juga penyumbang inflasi.

Dari sisi produsen, usaha tani padi di Indonesia melibatkan 14,4 juta rumah tangga. Seperti di sebagian besar negara Asia, di Indonesia beras tidak saja sebagai komoditas upah (wage goods) tetapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis jadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi, dan nasional.

Tepatkah membuka opsi impor beras saat ini? Tidak. Saat ini Badan Urusan Logistik (Bulog) tengah giat-giatnya menyerap gabah/beras produksi petani domestik. Bulog berpeluang memperbesar serapan beras dari panen gadu yang masih berlangsung. Apalagi pemerintah menyiapkan dana Rp 3,5 triliun: Rp1,5 triliun untuk cadangan beras pemerintah dan Rp 2 triliun untuk cadangan stabilisasi harga.

Masalahnya, kondisi lapangan tak mudah bagi Bulog menyerap gabah/beras besar-besaran. Di Instruksi Presiden Perberasan No. 5/2015, harga pembelian pemerintah (HPP) beras kualitas medium di gudang Bulog dipatok Rp 7.300/kg. Di sisi lain, harga beras serupa di pasaran masih tinggi: Rp 10.050/kg (www.kemendag.go.id, 8 Agustus 2015). Tanpa exit policy, penyerapan gabah/beras Bulog tidak akan membaik.

Akankah tahun 2015 Indonesia impor beras? Tahun ini diperkirakan kebutuhan beras untuk penyaluran rutin, yakni beras miskin (raskin) maupun bantuan bencana dan operasi pasar, sebesar 3 juta ton. Agar stok aman, cadangan beras akhir tahun 2015 minimal harus 2 juta ton. Pada awal 2015, stok cadangan beras di Bulog mencapai 1,4 juta ton. Jadi, perlu tambahan 3,6 juta ton.

Sampai 3 Agustus 2015, penyerapan beras Bulog baru mencapai 1,7 juta ton. Jika penyerapan tidak membaik, tak ada jalan lain harus impor.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.